Merangkul CPNS Generasi Millenial

Oleh: Henny Galla Pradana, SH.,MM., Staf di Sekretariat Kabinet *)

Beberapa pekan terakhir ini Pemerintah Pusat tengah sibuk mempersiapkan penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Ada 62 kementerian/lembaga di pusat pemerintahan dan satu pemerintah provinsi (Pemprov) membuka lowongan. Yang menakjubkan adalah, merujuk Merdeka.com, total pelamar posisi CPNS pada kementerian/lembaga dan Pemprov yang terdiri dari dua gelombang tersebut mencapai 2,4 juta pelamar.

Sebagai contoh penerimaan CPNS di Kementerian Sekretariat Negara. Tercatat sebanyak 8.760 orang pelamar dari total 12.239 orang pendaftar. Apabila di salah satu formasi seperti Petugas Protokol Kepresidenan hanya menerima 10 orang, maka satu orang memiliki 88 kompetitor. Hal ini dikarenakan total pelamar pada posisi Petugas Protokol Kepresidenan jumlahnya mencapai 888 orang pelamar! 

Di lain pihak, jumlah pelamar CPNS di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) juga tak kalah jumlah. Yang dapat dilihat dari portal resmi Kementerian PUPR, sebanyak 32.976 pelamar menyerbu 1.000 formasi. Formasi yang paling banyak diserbu adalah Teknik Tata Bangunan dan Perumahan Ahli Pertama yang mencapai 6.271 pelamar, sementara jumlah yang bakal diterima hanya untuk 149 formasi jabatan. Artinya dari statistik tersebut, satu orang harus mampu mengalahkan paling tidak 40-an orang.

Persaingan untuk merebut posisi sebagai abdi Negara ini makin sengit, mengingat saat ini Pemerintah hanya mengizinkan pelamar memilih satu posisi di satu lembaga dalam satu gelombang penerimaan. Sehingga, jika pada akhirnya seseorang mampu terpilih menjadi CPNS, maka sepertinya tidak diragukan lagi kemampuan intelektualnya.

Namun demikian, apakah CPNS dengan intelektual tinggi tersebut capable dalam menunaikan tugas-tugas pemerintahan yang tentunya membutuhkan kemampuan yang multi sekaligus integritas tinggi? Bagaimana proyeksi kinerja CPNS tersebut di masa depan dalam upaya menakhodai laut birokrasi Indonesia?

Hal tersebut, nampaknya, bukan hanya wacana yang menyeruak pada tataran pengelolaan sumber daya manusia-atau meminjam terminologi yang tengah tren saat ini: talenta-di pemerintahan tanah air, namun juga merupakan isu global. Generasi millenial yang terlahir di tengah pasar teknologi yang sedang berkembang tidak dipungkiri memiliki tingkat kecerdasan tinggi. Namun menjadi kekhawatiran banyak pihak bahwa tingkat kecerdasan tinggi tersebut urung diselaraskan dengan pemahaman terhadap norma-norma yang telah terbangun. Di satu sisi sistem dalam organisasi juga masih mempunyai pekerjaan rumah untuk mengoptimalkan mesin penggerak potensi-potensi muda yang luar biasa, inovatif, dan kreatif tersebut.

Pendekatan Teknologi yang Humanis

Generasi millennial, mengutip Lyons, Schweitzer, dan Ng dalam tulisannya New Generation, Great Expectations: A Field Study of the Millennial Generation, adalah generasi yang lahir pada tahun 1980-an atau sesudahnya. Hal ini diperkuat oleh Economic Co-operation and Development atau OECD (2017) dimana generasi millennial merupakan segmen penduduk yang memasuki fase dewasanya setelah tahun 2000. Lembaga Survei Nielsen, Amerika Serikat memerinci bahwa generasi millenial salah satunya memiliki karakter mengutamakan penggunaan teknologi, pop culture, liberal/toleran, dan eksis di media sosial. Secara kontras, para pendahulunya baik generasi Baby Boomers atau generasi X lebih mengutamakan “work ethic” atau etika kerja untuk mendefinisikan karakteristik pada generasi tersebut.

Pada sebuah konferensi internasional, Asian Regional Training and Development Organization (ARTDO) 44th yang digelar 12-14 Oktober 2017 di Penang, generasi millennial menjadi salah satu sorotan utama. Berbagai teori dan upaya digali secara komprehensif guna mendapatkan cara terbaik untuk menjembatani alias bridging the gap adanya perbedaan generasi khususnya di dalam dunia kerja. Serely Geraldine Alcaraz, Country Head Institute of Training and Development (ITD) World Filipina menekankan pada keterikatan para pegawai atau employee engagement pada tempat kerja dengan berbasis digital. Menurut Serely, pada dasarnya employee engagement akan memunculkan komitmen dari pekerja yang nantinya berhilir pada tercapainya goal dari organisasi dan rasa memiliki terhadap tempat kerja. Sayangnya, berbanding terbalik, hasil survei menunjukkan bahwa 71 persen pegawai tidak memiliki keterikatan pada tempat kerjanya. Kondisi tersebut memunculkan rendahnya tanggung jawab pribadi terhadap keberlangsungan pekerjaan. Padahal, pegawai yang memiliki engagement yang kuat akan merasa puas dengan pekerjaan mereka dan cenderung lebih produktif.

Melihat kondisi tersebut, untuk mengantisipasi risiko yang terjadi pada dunia kerja terhadap gelombang generasi millenial adalah mempersiapkan organisasi untuk lebih aware dengan pendekatan teknologi di segala lini. ”Misalnya mulai dari kesempatan pengembangan skill dan profesionalitas, program benefit dan kesehatan serta traveling, budaya,  dan kesempatan untuk menjadi ahli. Berikan sentuhan teknologi. Banyak aplikasi dan gadget yang mendukung upaya tersebut,” ungkapnya.

Berbicara tentang teknologi, tidak dipungkiri bahwa saat ini Indonesia telah masuk dalam komunitas era digital. Data yang dihimpun dari situs Republika.co.id tercatat penetrasi internet di Indonesia mencapai 104 juta orang. Penetrasi internet tersebut diproyeksi naik 30 persen mencapai 136 juta orang pada 2020. Padahal, pada 2016 menurut data World Bank atau Bank Dunia, jumlah penduduk Indonesia sebesar 261,1 juta orang. Artinya, invasi internet sudah sampai 39,8 persen dari total jumlah penduduk saat ini.

Capture atau protret perilaku pengguna internet di Indonesia pun menggambarkan perkembangan yang positif setiap tahunnya. Dari data We Are Social Singapore, pertumbuhan pengguna internet aktif meningkat 15 persen pada 2016 dibandingkan tahun sebelumnya (year on year/yoy). Begitu pula pertumbuhan pengguna media sosial aktif naik 10 persen yoy.

Penggunaan internet yang masif tersebut apabila dihubungkan dengan employee engagement terjadi di PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero). Perusahaan pelat merah yang digawangi oleh  Sofyan Basir, seorang yang berlatar belakang bankir tersebut, menggunakan media yang berbasis internet untuk mengikat komitmen para pegawainya terhadap visi misi perusahaan. Goal-nya satu, minimal mereka mengetahui visi dan misi perusahaan, terlebih lagi mampu menginternalisasikannya.  ”Pengetahuan mereka (para pegawai) terhadap visi dan misi organisasi jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya yang bahkan tidak mengetahui,” tutur Budi Aprianda, assistant officer Pengendalian Keseharan dan Keselamatan Kerja PLN dalam gelaran ARTDO.

            Dalam hal ini pihak Human Resource PLN memiliki aplikasi Code of Conduct (CoC) Online untuk memonitor aktivitas CoC. Dalam esai singkatnya, Aprianda menerangkan bahwa Aktivitas CoC merupakan kegiatan yang digunakan oleh para pemimpin di PLN untuk men-deliver visi, misi, dan nilai-nilai perusahaan kepada semua pegawainya. CoC tersebut juga untuk memastikan bahwa key performance indicator (KPI) unit dapat dicapai, dan juga apabila terdapat hambatan dapat diselesaikan dengan komunikasi antar departemen. ”Dengan CoC, pegawai mengetahui bagaimana berperilaku sesuai nilai-nilai perusahaan, dan memberikan kontribusi untuk mencapai KPI dan nilai tambah tehadap kostumer,” jelasnya.

Belajar dari Negeri Tetangga

Di sisi lain, invasi teknologi tersebut harus pula diimbangi dengan “humanisasi” agar mesin tak mengambil alih peran manusia. Dalam hal ini, menyiapkan talenta yang tidak hanya depend on teknologi dalam memajukan kinerjanya bukan perkara mudah. Oleh karena itu, apabila belajar dari Malaysia maka blueprint atau cetak biru pendidikan menjadi penting. Titik berat cetak biru itu adalah-meminjam istilah Guru Besar Universitas Sains Malaysia Prof. Datuk Dr. Asma Bt Ismail: humanizing the student atau memanusiakan para pelajar. ”Apakah lulusan dengan indeks prestasi 4,0 menjamin akan berkinerja baik? Belum tentu. Indeks prestasi 4,0 harus balance antara pengetahuan dan hal lain seperti management skill, entrepreneur skill, dan problem solving,” terang Asma yang menjadi salah satu pembicara panel ARTDO tersebut.

 Professor yang ahli dalam bidang Medical Microbiology tersebut menerangkan bahwa organisasi saat ini perlu menyiapkan generasi yang tak hanya smart namun juga mampu berpikir secara fleksibel dan memiliki kemampuan untuk beradaptasi. Di Malaysia sendiri melalui cetak biru pendidikan 2015-2025 menargetkan setiap lulusan yang nantinya akan menjadi bagian dari masyarakat internasional siap dan mampu menjadi lulusan yang tak hanya berilmu namun juga berakhlak dan beradab. Misalnya melalui penegasan dalam hal perilaku yang baik, etika, moralitas, budaya, dan pola pikir.

Dalam laporan terbaru World Economic Forum tahun 2017, Indonesia masuk peringkat 65 dari 130 negara dalam hal Global Human Capital Index 2017. Indonesia bahkan berada di bawah Vietnam, Filiphina, dan Malaysia yang masing-masing pada posisi 64, 50, dan 33. Laporan tersebut pada intinya menggambarkan profil potensi dari sumber daya manusia setiap Negara. Saat ini Norwegia masih menjadi Negara dengan performa pengembangan kualitas manusia terbaik di dunia, dibuktikan salah satunya dengan tingkat pengangguran yang rendah.

            Fenomena generasi millennial ini tentunya bakal menjadi pekerjaan rumah bagi para pembina kepegawaian di instansi pemerintahan. Yakni bagaimana Pemerintah mampu menyeleraskan langkah dengan “darah-darah” baru yang nantinya diproyeksi menjadi suksesor para petinggi di kemudian hari. Jika belajar dari lembaga-lembaga yang cukup fokus pada pengembangan pegawainya, maka visi dan misi institusi tak dibiarkan menjadi prasasti, namun menjadi nafas pada setiap talenta yang hidup di dalam organisasi. Tentu saja hal tersebut tak mampu diraih apabila tak dibarengi dengan peningkatan kapasitas dan kualitas sumber daya manusia, yang nantinya berfungsi sebagai katalis internalisasi visi misi tersebut. (www.setkab.go.id) *) Tulisan ini adalah pendapat pribadi

 

 

 

BERITA TERKAIT

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…

BERITA LAINNYA DI Opini

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…