Pabrik Kembang Api Harus Beroperasi di Kawasan Industri

NERACA

Jakarta – Kementerian Perindustrian berpandangan bahwa perizinan untuk industri kembang api seharusnya diberikan oleh Pemerintah Pusat dengan pertimbangan aspek pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (B3). Di samping itu, industri kembang api harus berada di dalam kawasan industri, walaupun tergolong skala industri kecil.

“Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri, ditegaskan bahwa industri harus berada di dalam kawasan industri,” kata Dirjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Kemenperin, Achmad Sigit Dwiwahjono di Jakarta, disalin dari siaran resmi, kemarin.

Pengecualian untuk industri boleh di luar kawasan industri, apabila suatu daerah kabupaten belum mempunyai kawasan industri, namun tetap harus di dalam kawasan peruntukan industri. “Pengecualian lain di PP tersebut, industri yang boleh di luar kawasan industri adalah industri kecil yang tidak menghasilkan B3, tetapi kalau mengeluarkan B3 tetap harus di dalam kawasan industri,” tegas Sigit.

“Kemenperin sedang menyiapkan regulasi tentang produksi, penanganan dan distribusi bahan kimia serta regulasi tentang tanggap darurat penanganan kecelakaan yang diakibatkan oleh tumpahan bahan kimia,” imbuhnya.

Sigit menjelaskan, industri kembang api saat ini masih diklasifikasikan sebagai industri yang menggunakan bahan peledak berkekuatan rendah (low explosive), sehingga perizinannya didelegasikan kepada Gubernur atau Pemerintah Kabupaten/Kota.

“Perizinannya mengikuti Keputusan Presiden Nomor 125 Tahun 1999 tentang Bahan Peledak yang mengatur tentang produksi, pengadaan, penyimpanan dan pedistribusian bahan peledak setelah mendapat izin dari Menteri Pertahanan (Menhan),” tuturnya.

Di dalam Peraturan Menhan No. 5 Tahun 2016 tentang Pembinaan dan Pengembangan Industri Bahan Peledak, Menhan mendelegasikan kewenangan kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk izin terkait penanaman modal terhadap badan usaha bahan peledak.

Sementara itu, Sigit menambahkan, melalui Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No. 71 Tahun 2009 tentang Jenis Industri yang Mengolah dan Menghasilkan B3 dan Jenis Industri Teknologi Tinggi yang Strategis, ditegaskan bahwa jenis industri selain industri amonium nitrat, industri barang peledak (bubuk propelan dan bahan peledak olahan), industri dinamit, industri detonator serta industri pendorong roket, perizinannya berada pada Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai ketentuan Perundang-undangan.

“Dalam rangka memberikan petunjuk pelaksanaannya, Kemenperin juga mengeluarkan Permenperin No. 23 Tahun 2013 tentang Sistem Harmonisasi Global Klasifikasi dan Label pada Bahan Kimia,” ujarnya. Regulasi ini menyebutkan, kembang api sebagai salah bentuk bahan kimia campuran dapat diklasifikasikan dengan Sistem Harmonisasi Global atau Global Harmonize System (GHS).

“Peraturan ini memberikan panduan kepada aparat di daerah maupun industri untuk melaksanakan pelabelan dan penanganan atas bahan-bahan kimia sehingga tidak berakibat kepada keamanan, keselamatan, kesehatan dan lingkungan (K3L),” paparnya.

Sebelumnya, sebagaimana dilansir Antara, Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri menegaskan bahwa perusahaan kembang api PT Panca Buana Cahaya Sukses di Tangerang, Banten, harus bertanggung jawab kepada seluruh korban kebakaran, termasuk bagi yang tidak didaftarkan menjadi anggota BPJS Ketenagakerjaan. "Perusahaan harus bertanggung jawab, baik kepada pekerja yang sudah memiliki BPJS Ketenagakerjaan maupun belum," ujar Hanif.

Menaker menyebut pemerintah pusat dan daerah akan mengawal pertanggungjawaban perusahaan kepada pekerja yang tewas maupun luka-luka. Pada Minggu (29/10), Menaker memeriksa lokasi pabrik yang terbakar pada Jumat (27/10) dan mengakibatkan 48 orang tewas dan 46 orang luka-luka yang sebagian dalam kondisi kritis.

Berdasarkan data, Menaker menyatakan pabrik tersebut hanya mengikutsertakan 27 pekerjanya dalam program BPJS Ketenagakerjaan padahal jumlah peserta mencapai 103 orang. Hal itu patut menjadi perhatian serius.

Pekerja yang terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan akan mendapat jaminan penuh misalnya bagi pekerja yang meninggal dunia maka ahli warisnya akan mendapatkan santunan kecelakaan kerja dan kematian senilai Rp170-180 juta. Sedangkan korban luka-luka yang menjalani perawatan di rumah sakit akan ditanggung seluruh biaya oleh BPJS Ketenagakerjaan hingga sembuh.

BERITA TERKAIT

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

BERITA LAINNYA DI Industri

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…