Pengaruh e-Faktur Terhadap Kepatuhan WP

Oleh: Hepi Cahyadi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak *)

Jika dalam pemungutan terdapat asas convenience of payment dimana pajak dipungut pada saat yang tepat. Pada saat wajib pajak mempunyai uang atau kondisi nyaman bagi wajib pajak. Begitupun dengan saat pelaporan, bahwa pelaporan SPT secara nyaman akan secara linier meningkatkan kepatuhan. Convenience of tax reports identik dengan praktis, mudah, dan murah. Kepraktisan dalam pelaporan meliputi prosedur yang sederhana, cepat dan ringkas. Kemudahan berarti semua kalangan dapat mengakses dengan mudah atau user friendly. Murah dapat diartikan bahwa pelaporan pajak secara ekonomis tidak boleh membebani pemerintah maupun wajib pajak. Dengan beralih dari pelaporan manual menuju pelaporan elektronik maka biaya pemungutan (cost collection), dapat ditekan serendah mungkin.

Kepatuhan pajak merupakan fenomena yang sangat komplek yang dilihat dari banyak perspektif. Luigi Alberto Franzoni (2012) menyebutkan kepatuhan atas pajak (tax complience) adalah melaporkan penghasilan atau tambahan kemampuan ekonomis baik jenis pajak PPh maupun PPN sesuai dengan peraturan perpajakan, melaporkan SPT dengan tepat waktu dan membayar pajaknya dengan tepat waktu.

Penelitian dari Sandford, Goodwin dan Hardwick (2009); Pit dan Slemrod (2009) menyimpulkan bahwa cara yang efektif untuk mengurangi tindakan manipulasi pajak adalah dengan melakukan penyederhanaan peraturan perpajakan. Penyederhanaan dapat berupa kemudahan pelaporan SPT melalui media elektronik. Dengan peraturan perpajakan yang komplek maka wajib pajak akan cenderung menggunakan jasa konsultan pajak, sedangkan konsultan pajak biasanya dapat mempengaruhi wajib pajak untuk memanipulasi pajak.

Sistem PPN yang berlaku di Indonesia adalah multi level stage, dimana setiap tingkatan kegiatan transaksi dapat mengkreditkan pajak masukan terhadap pajak keluaran. Jika pajak masukan lebih besar dari pajak keluaran maka status SPT nya menjadi lebih bayar, bisa dikompensasi ke masa berikutnya atau di restitusi. Sebalinya jika pajak keluaran lebih besar dibandingkan pajak masukan maka status SPT adalah kurang bayar, wajib pajak berkewajiban menyetor selisihnya ke kas negara. Prinsip pemajakan PPN menganut destination principle yaitu dikenai PPN apabila Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) di konsumsi di daerah pabean atau wilayah NKRI. Karena berdasarkan destinasi atau tujuan maka terhadap BKP/JKP ekspor pemerintah tidak mengenakan PPN atau dikenai PPN dengan tarif 0%.

Faktur pajak merupakan dokumen utama dalam proses pemungutan PPN. Dalam sejarahnya, faktur pajak pertama kali diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 432/KMK.04/1984. Faktur pada tahun 1984 hanya terdapat satu jenis dan diisi secara manual. Pada tahun 1985 diterbitkan juga faktur pajak sederhana untuk Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan secara eceran dan berupa barang yang sudah jadi. Faktur pajak sederhana digunakan sampai tahun 2012 lalu peraturannya dicabut. Sehingga sekarang hanya ada faktur pajak standar rupiah dan faktur pajak mata uang asing.

Kebocoran penerimaan pajak jenis PPN biasanya dikarenakan penggunaan faktur pajak fiktif. Menurut data Direktorat Jenderal Pajak sepanjang tahun 2008-2013 terdapat 100 kasus faktur pajak bodong yang merugikan negara sekitar Rp 1,5 triliun. Dari jumlah keseluruhan faktur pajak yang dibuat selama tahun 2009 terdapat 58% kasus penyalahgunaan faktur pajak, tahun 2010 sebanyak 51%, tahun 2011 menempati rangking tertinggi yakni sebesar 65,30%, tahun 2012 sebesar 32% dan 2013 penggelapan faktur sebesar 42,60%. Bisa dikatakan, sebanyak 50 persen kasus pengemplangan pajak bermodus laporan faktur pajak fiktif. Sehingga DJP membuat Satuan Tugas Khusus untuk memberantas para pelaku faktur pajak fiktif. Padahal PPN selama ini menjadi penyumbang terbesar kedua dalam struktur penerimaan pajak setelah PPh. Karena kebocoran PPN yang makin masif, ada usulan kembali menggunakan rezim Pajak Penjualan yang dikenakan sekali pada saat penjualan atau di singkat PPn (dengan akronim huruf kecil).

Untuk menanggulangi terjadinya praktek faktur pajak fiktif, pada tahun 2013 Direktur Jenderal Pajak membuat E-tax Invoice (e-faktur) yaitu sebuah aplikasi elektronik yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktur Jenderal Pajak yang digunakan untuk membuat faktur pajak. Penggunaan aplikasi e-faktur dilakukan secara bertahap oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). Proses pemberlakuan e-faktur dimulai dengan kegiatan registrasi ulang (regul) yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak seluruh Indonesia terhadap semua PKP terdaftar.

Kegiatan registrasi ulang ini diatur dalam PER-05/PJ/2012. Regul bertujuan untuk meningkatkan pelayanan dan penertiban administrasi pengawasan terhadap PKP. Berdasarkan data DJP tahun 2011 terdapat 870.000 PKP terdaftar. Dalam kegiatan regul PKP diberi kesempatan dalam batas waktu yang telah ditentukan untuk segara melakukan registrasi ulang, apabila dalam batas waktu tersebut tidak dipenuhi maka status PKP dicabut secara jabatan.

E-faktur mulai berlaku tanggal 1 Juli 2014, diberlakukan kepada 45 Pengusaha Kena Pajak. Mulai tanggal 1 Juli 2015, diberlakukan kepada PKP yang terdaftar di lingkungan Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar, Jakarta Khusus, Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta dan Bali. Sedangkan secara nasional baru dimulai tanggal 1 Juli 2016.
Salah satu tujuan diberlakukannya e-faktur adalah untuk mengurangi penggunaan kertas (paperless). Dengan menggunakan aplikasi e-faktur maka proses administrasi pelaporan SPT masa PPN tersimpan secara elektronik sehingga tidak membutuhkan ruang penyimpanan berkas fisik yang besar.

Pada tahun 2015 dimana telah berlaku e-faktur, Menteri Keuangan kala itu juga menyebutkan bahwa sebesar 80,76% dari total 499 wajib pajak dari lima Kanwil Pajak Besar terbukti menggunakan faktur pajak fiktif. Penerapan faktur pajak elektronik (e-Faktur) dan penerapan pengampunan pajak (tax amnesty) sejak Juli 2016 nyatanya tak memberikan dampak terhadap penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) secara nasional. Realisasi penerimaan PPN tahun lalu justru mencatatkan kontraksi. Berdasarkan data Kementerian Keuangan mencatat, realisasi PPN hingga 31 Desember 2016 sebesar Rp 410,5 triliun. Jumlah tersebut mencapai 86,6% dari target yang dipatok dalam anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan (APBN-P) 2016 dan mencapai 98,6% dari outlook pemerintah.

Dengan realisasi tersebut, maka kepatuhan WP PPN tahun 2016 terkontraksi 3,12% dibanding kepatuhan WP tahun 2015. Realisasi penerimaan PPN tahun 2015 sebesar Rp 423,7 triliun. Penurunan penerimaan PPN tahun 2016 tersebut bahkan menjadi penurunan pertama kali dibandingkan realisasi penerimaan PPN empat tahun ke belakang. Padahal data penerimaan PPN tahun 2012 hingga 2015, realisasi penerimaan PPN selalu meningkat. Jadi kesimpulannya adalah, aplikasi e-faktur belum sepenuhnya powerful meningkatkan kepatuhan wajib pajak utamanya kepatuhan penyetoran PPN.

Saran dan Solusi

1. Bahwa dengan berlakunya e-faktur kepatuhan pelaporan meningkat karena ada syarat yang mewajibkan harus lapor tiga bulan terakhir jika hendak meminta Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP), sehingga secara sistemik kepatuhan pelaporan otomatis terkerek. Analogi yang sama seharusnya berlaku juga, jika PKP tidak melaporkan faktur pajak yang telah diterbitkan di SPT lampiran PK maka sertifikat elektronik otomatis menjadi Non Efektif atau sisa faktur pajak yang belum digunakan menjadi hangus.

2. Pengukuhan PKP harus lebih prudent. Hal yang perlu diwaspadai adalah PKP yang lokasi usahanya sewa, WP yang track record-nya sering pindah lokasi, dan perlu dipertimbangkan juga untuk mengkaji WP yang baru terdaftar tidak diperbolehkan untuk langsung menjadi PKP. Sebaiknya ada semisal time test selama 6 sd 12 bulan dari saat mendaftar hingga diperbolehkan menjadi PKP, masa time test berguna untuk menganalisa apakah WP benar benar usahanya melakukan penyerahan BKP/JKP dan bukan WP fiktif atau abal abal.

3. Aplikasi e-faktur masih banyak terdapat lubang yang perlu mendapat perhatian serius, semisal e-faktur tidak dapat mendeteksi secara simultan masa ke masa jumlah LB kompensasi yang benar, dari bulan sebelumnya jika dikompensasikan ke bulan berikutnya atau masa tertentu. Pihak terkait atau developer dari e-faktur harus senantiasa dinamis dalam menangkal dan merekonstruksi sistem agar semakin tangguh dan digdaya. (www`pajak.go.id) *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi 

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…