Wabah Korupsi di Daerah

Prof Dr Soemitro Djojohadikusumo (Alm) pernah menyebutkan bahwa kebocoran dana APBN karena dikorupsi mencapai kisaran 30%. Pernyataan ini dikemukakan guru besar ekonomi itu di zaman Orde Baru, namun sampai sekarang belum ada rujukan baru yang mengevaluasi tingkat kebocoran sudah menunjukkan penurunan atau belum.

Sebaliknya, ada indikasi malah perbuatan tindak pidana itu kian meningkat. Karena, pelaku korupsi diyakini kian meluas. Jika dulu pelaku korupsi disebut-sebut dilakukan oleh kroni Soeharto, maka sekarang pelakunya meluas ke partai partai politik dan pimpinan daerah. Ini terlihat dari banyaknya pejabat negara di Jakarta dan daerah yang ditangkap KPK. Menurut data Kemendagri tahun 2016, sebanyak 343 bupati/walikota dan 18 gubernur menjadi tersangka korupsi.

Jika jumlah seluruh kepala daerah di Indonesia mencapai 588 terdiri dari 34 gubernur dan 524  bupati dan walikota. Ini berarti lebih setengah dari seluruh kepala daerah adalah  koruptor.

Nah, kalau angka kebocoran itu tetap 30%. Maka uang negara yang berpotensi dikorupsi di daerah tahun 2018 sekitar Rp 288 triliun. Angka ini dihitung berdasarkan angka dana transfer ke daerah dalam APBN 2018, yang menunjukkan transfer daerah dan dana desa tercatat Rp 766,16 triliun, termasuk termasuk dana desa Rp 60 triliun. Apabila anggaran negara bocor 30%, total potensi dana yang bocor karena dikorupsi daerah pada 2018 mencapai Rp288 triliun.

Itu baru korupsi terhadap dana APBD, belum termasuk korupsi dari transaksi aset berupa lahan milik daerah, baik dalam bentuk tukar guling, hibah dan lainnya. Karena korupsi dari transaksi aset daerah ini tidak bisa dipandang enteng. Menurut data Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri tahun 2013 saja, cukup banyak kepala daerah yang bermain-main dengan aset daerah dan kemudian bermasalah dengan hukum.

Korupsi di daerah sesungguhnya mudah terlihat secara transparan. Artinya, objek-objek yang dikorupsi sudah teridentifikasi. Modusnya juga sudah diketahui. Dari ratusan kasus korupsi kepala daerah yang ditangani KPK, diketahui sedikitnya 8 objek yang dikorupsi oleh kepala daerah. Yakni pengadaan barang/jasa yang dibiayai APBN/D, penyalahgunaan anggaran, perizinan sumber daya alam yang tidak sesuai ketentuan, penggelapan dalam jabatan, pemerasan dalam jabatan, penerimaan suap, gratifikasi, dan penerimaan uang dan barang yang berhubungan dengan jabatan.

Selain itu, KPK juga sudah mengidentifikasi 18 modus korupsi antara lain pengusaha menggunakan pengaruh pejabat pusat untuk “membujuk” Kepala Daerah/Pejabat Daerah mengintervensi proses pengadaan dalam rangka memenangkan pengusaha, meninggikan harga atau nilai kontrak, dan pengusaha tersebut memberikan sejumlah uang kepada pejabat pusat maupun daerah

Ada juga modus pengusaha mempengaruhi Kepala Daerah/Pejabat Daerah untuk mengintervensi proses pengadaan agar rekanan tertentu dimenangkan dalam tender atau ditunjuk langsung, dan harga barang/jasa dinaikkan (mark-up), kemudian selisihnya dibagi-bagikan

Kepala Daerah/Pejabat Daerah dapat juga memerintahkan bawahannya menggunakan dana/uang daerah untuk kepentingan pribadi koleganya, atau untuk kepentingan pribadi kepala/pejabat daerah, kemudian mempertanggungjawabkan pengeluaran-pengeluaran dimaksud dengan menggunakan bukti-bukti yang tidak benar, bahkan dengan menggunakan bukti-bukti yang kegiatannya fiktif.

Itu baru sebatas korupsi yang dilakukan kepala daerah. Sementara korupsi di tingkat kepala dinas dan bawahannya juga terjadi secara masif. Salah satu yang memprihatinkan adalah jual beli jabatan, mulai dari jabatan kepala dinas, sekretaris daerah, kepala bagian, kepala seksi, jabatan kepala sekolah, jabatan kepala rumah sakit, jabatan direktur BUMD, dan lain sebagainya. Mungkin saja tidak semua pemerintah daerah memperjualbelikan jabatan. Tetapi kasusnya sudah banyak muncul ke permukaan.

Akibatnya, ketika terjadi korupsi di level yang lebih bawah, misalnya memperjualbelikan rekomendasi masuk PNS, maka kepala dinas cenderung memilih pura-pura tidak tahu. Demikian juga kepala dinas yang melakukan korupsi, kepala daerah lebih memlih tutup mata. Dari sebagian besar OTT KPK, ternyata juga ada inspektorat. Ini membuktikan bahwa korupsi di daerah sudah terjadi secara berjamaah, alias berlangsung secara masif.  Karena itu, KPK sudah seharusnya melaksanakan seluruh kewajiban dan kewenangan yang diberikan oleh UU KPK, dan saatnya mununtut terdakwa dengan hukuman lebih berat. Semoga!

BERITA TERKAIT

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…