Optimis Namun Realistis

Oleh: Ambara Purusottama

School of Business and Economic

Universitas Prasetiya Mulya

Pemerintah dengan DPR akhirnya menyetujui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar Rp2.220,7 triliun. Dalam APBN tersebut penerimaan negara dipatok Rp1.894,7 triliun dengan penerimaan dari pajak sebesar Rp1.618,09 triliun dan defisit APBN 2,67% terhadap PDB. Optimisme yang dikedepankan pemerintah tidak realistis melihat kecenderungan dinamika ekonomi yang sedang terjadi dan yang akan terjadi baik secara domestik maupun internasional.

APBN 2018 mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya dari Rp 2.133 triliun (APBN-P 2017). Penerimaan masih sangat dititik beratkan pada penerimaan yang berasal dari pajak yang sebelumnya Rp1.472,7 triliun menjadi Rp1.618,09 triliun. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pun ikut mengalami peningkatan dari Rp260,2 triliun menjadi Rp275,4 triliun. Sebaliknya, hibah ditargetkan mengalami penurunan yang cukup signifikan dari Rp3,1 triliun menjadi hanya Rp1,2 triliun.

Kenaikan tersebut dirasakan sedikit janggal ditengah turbulensi ekonomi yang masih terjadi. Asumsi-asumsi yang digunakan cenderung berlawanan dengan keadaan pasar. Sebagai contoh, nilai tukar dan harga minyak yang cenderung mengalami peningkatan. Data menunjukkan nilai tukar rupiah terus tertekan terhadap US$ dalam beberapa waktu belakangan dan belum ada tanda-tanda adanya relaksasi. Sedangkan asumsi harga minyak sudah tidak lagi relevan karena sudah bergerak naik menjadi $52 per barel.

Besarnya dan struktur APBN 2018 berpotensi menimbulkan polemik. Banyak yang mendukung namun tidak sedikit yang mengkritisi APBN yang baru saja disahkan. Dari sisi persediaan, tidak tercapainya penerimaan negara nampaknya belum menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk menurunkan agresivitas dalam pembuatan anggaran. Jurang defisit bisa jadi kian lebar jika sisi penerimaan belum dibenahi. Sedangkan dari sisi belanja negara dengan berbagai kasus yang menjerat aparat pemerintah fungsi anggaran menjadi tidak efektif.

Penerimaan negara dalam sejarahnya sering tidak bisa mencapai target yang diharapkan. Dilansir dari DJP bahwa hingga 30 September penerimaan negara dari pajak baru mengantongi 60% dari yang ditargetkan atau Rp770,7 triliun dari Rp1.283,6 triliun. Situasi ini seharusnya bisa menjadi patokan bagi pemerintah agar dalam menyusun APBN menjadi lebih realistis. Agresifnya pemerintah dalam mematok penerimaan dari pajak bisa berlawanan dengan kebijakan ekonomi lainnya.

Keinginan untuk terus bertumbuh memang tidak ada salahnya. Pemerintah memang sedang giat-giatnya memacu pertumbuhan ekonomi dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan. Namun harus diingat bahwa pemerintah tidak berdiri sendiri dalam menjalankan perekonomian. Banyak kepentingan lain yang harus diakomodir sehingga kemajuan ekonomi dapat tercapai dengan optimal. Jangan sampai target yang tidak realistis justru berbalik mengancam perekonomian nasional.

BERITA TERKAIT

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…

BERITA LAINNYA DI

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…