RASIO KREDIT BERMASALAH TINGGI - Bank Diminta Turunkan Biaya Operasional

Jakarta-Bank Indonesia mendesak perbankan untuk segera menurunkan beban biaya operasional agar suku bunga kredit juga bisa menurun seiring dengan penurunan suku bunga acuan BI dua kali berturut-turut menjadi 4,25%. BI juga meminta perbankan lebih meningkatkan lagi fungsi intermediasinya.

NERACA

Menurut Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara, biaya operasi perbankan di Indonesia masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perbankan di luar negeri. Lebih rinci, bila rata-rata biaya operasi perbankan Indonesia bisa mencapai 3-3,5% terhadap total aset, maka perbankan di kawasan Asia Tenggara hanya berkisar 1-2% terhadap total aset. "Artinya perbankan di Indonesia tidak efisien, sekitar 100 basis poin sampai 150 basis poin. Jadi yang harus bisa diturunkan itu biaya operasinya," ujarnya di Jakarta, akhir pekan lalu.

Atau dengan kata lain, perbankan tidak dilarang untuk menjadikan tingginya beban biaya operasional sebagai alasan suku bunga kredit sulit untuk diturunkan. Terlebih lagi, andai biaya dana (cost of fund) sudah diturunkan. "Jadi jangan cost of fund sudah turun, suku bunga kredit tidak turun. Pakai teknologi dan sebagainya," tutur dia.

Mirza mengatakan, BI sendiri telah menurunkan suku bunga sebanyak delapan kali sejak Januari 2016 dengan jumlah 200 basis poin atau 200%. Penurunan tersebut berdampak pada turunnya suku bunga deposito hingga 160 basis poin. "Nah, memang suku bunga kredit penurunannya belum sejalan ya angkanya," ujarnya.

Sebelumnya, baik BI maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berpendapat suku bunga kredit baru bisa turun pada awal tahun depan. Penurunan suku bunga kredit perlu menunggu turunnya suku bunga simpanan berjangka (deposito).

Risiko Kredit Bermasalah

BI juga mencatat, rasio kredit bermasalah (non performing loan-NPL) gross perbankan berada di level  3,0% sampai Agustus lalu. Sementara, NPL net sebesar 1,4%. Menurut Asisten Gubernur yang juga Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo, NPL memang masih di bawah batas BI sebesar 5,0%. Hal ini menunjukkan bahwa risiko kredit bermasalah masih tinggi dan intermediasi yang dijalankan perbankan belum maksimal. "Sistem keuangan tetap stabil tetapi fungsi intermediasi perbanka​​n masih berjalan lambat," ujarnya.

Indikator lain yang menunjukkan intermediasi perbankan masih lambat, menurut dia, terlihat dari pertumbuhan kredit yang hanya tumbuh tipis. Tercatat, pertumbuhan kredit sebesar 8,3% pada Agustus 2017 secara tahunan (yoy) dari sebelumnya 8,2% pada Juli lalu.

Kemudian, dana pihak ketiga (DPK) yang dihimpun perbankan justru menurun, terutama DPK valas. Pada Juli 2017, DPK sebesar 9,7% secara tahunan, namun kemudian turun menjadi 9,6% per Agustus lalu. Rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio-CAR) perbankan cukup tinggi pada level 23,1% dan rasio likuiditas (AL/DPK) pada level 23,4% pada Agustus 2017.

Untuk itu, Dody berharap perbankan bisa mulai menguatkan fungsi intermediasi. Sebab, dari sisi moneter, BI telah menurunkan suku bunga acuan (7 Days Reverse Repo Rate-7DRRR) dan pelonggaran makro prudensial.

Menurut data BI, suku bunga acuan 7DRRR telah diturunkan sebanyak 50 basis poin (bps) menjadi 4,25% pada Agustus dan September. Sementara pada Oktober ini, BI kembali menahan suku bunga sebagai bentuk antisipasi terhadap risiko ekonomi global. Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, NPL gross perbankan sebesar 3,05% per Agustus lalu. Sedangkan NPL net sebesar 1,29%.

Selain itu, Mirza mengatakan, di sisi lain BI memang tidak secara langsung diamanatkan untuk mengatasi kesenjangan sosial-ekonomi. "Namun, kebijakan-kebijakan BI di bidang moneter, makroprudensial, sistem pembayaran, dan pengedaran uang memiliki dampak langsung maupun tidak langsung pada pengentasan kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi,” ujarnya.

Dia mengatakan, kebijakan yang utama dalam bidang moneter adalah menjaga stabilitas nilai Rupiah, khususnya pengendalian laju inflasi. Karena, kenaikan harga barang dan jasa dengan laju yang tinggi, dapat secara langsung meningkatkan kesenjangan ekonomi.

“Ketika harga-harga terus bergerak naik dengan laju yang tinggi, maka pendapatan riil kelompok penduduk miskin dan hampir miskin akan dengan cepat tergerus. Kelompok penduduk ini pada umumnya berada di sektor informal dan tidak memiliki aset yang cukup untuk melakukan consumption smoothing,” ujarnya.

Menurut dia, BI telah melakukan sejumlah terobosan penting dengan melakukan serangkaian reformasi di bidang implementasi kebijakan moneter untuk memperkuat transmisi sinyal kebijakan moneter dan membangun pasar uang yang likuid dan berfungsi dengan baik.

“Langkah-langkah yang telah BI tempuh dalam kaitan ini adalah implementasi 7-day reverse repo rate yang diikuti dengan normalisasi koridor suku bunga pasar uang antar bank (PUAB) overnight, pembangunan benchmark yield curve di pasar uang, dan implementasi giro wajib minimum (GWM) averaging,” ujarnya.

Selain itu, BI juga melaksanakan program pengendalian inflasi melalui pengembangan klaster ketahanan pangan, dalam rangka menjaga stabilitas harga pangan (volatile foods) dan sekaligus pemberdayaan UMKM.

Kerja Sama Kependudukan

Sementara itu, Sepuluh lembaga keuangan bekerja sama dengan Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri terkait pemanfaatan Nomor Induk Kependudukan (NIK), data kependudukan, dan e-KTP.

Ke-10 perusahaan jasa keuangan tersebut yakni, PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero), PT Bahana TCW Investment Management, PT Bank Ganesha Tbk, PT Bank Maspion Indonesia Tbk, PT Federal International Finance, Koperasi Simpan Pinjam Sahabat Mitra Sejati, PT MNC Finance, PT Olympindo Multi Finance, dan PT Sahabat Finansial Keluarga, dan PT Toyota Astra Financial Service.

Menurut Dirut MNC Finance Suhendra Lee, perjanjian kerja sama ini berdampak positif bagi lembaga jasa keuangan. Pasalnya, karakteristik bisnis jasa keuangan mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan usaha.  Kerja sama ini dilakukan untuk mendukung program pemerintah terkait penerapan identitas tunggal di masa mendatang.

"Selaku pengguna, kerja sama ini sangat berdampak positif bagi pelaku jasa keuangan karena dapat melakukan verifikasi data calon konsumen atau nasabah atau pihak ketiga lainnya secara cepat dan akurat didasari ketunggalan data," ujarnya di Jakarta, Jumat (20/10).

Selain itu, menurut dia, langkah ini juga sesuai dengan instruksi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menggunakan data Dukcapil dalam memverifikasi data nasabah.

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri dengan Ketua Dewan Komisioner OJK telah meneken Nota Kesepahaman Nomor 471.12/963/SJ dan Nomor PRJ-21/D.01/2014 tanggal 20 Februari 2014 tentang Kerja Sama Pemanfaatan Nomor Induk Kependudukan, Data Kependudukan, dan KTP Elektronik dalam layanan lingkup tugas OJK.

Di tempat yang sama, Direktur Jenderal Dukcapil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh menyatakan, dengan ditandatanganinya kerja sama ini, maka pemerintah telah bekerja sama dengan 262 lembaga dan perusahaan terkait akses data kependudukan.

Hal itu sesuai dengan amanat UU No 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan di mana sejak 2014 seluruh data yang terkait kependudukan demi kepentingan alokasi anggaran, pelayanan publik, perencanaan pembangunan, pembangunan demokrasi, penegakan hukum, dan pencegahan kriminal menggunakan data dari Ditjen Dukcapil.

Zuldan mengungkapkan Ditjen Dukcapil membuka pintu selebar-lebarnya bagi lembaga layanan publik untuk menggunakan data kependudukan Dukcapil. Hal itu sebagai bagian dari ekosistem identitas tunggal penduduk. Saat ini, proses rekam data kependudukan telah mencapai 96 persen dari total jumlah penduduk Indonesia.

Zuldan memastikan e-KTP tidak memungkinkan seseorang memiliki identitas ganda. Jika seseorang merekam data kependudukan lebih dari satu kali, sistem Ditjen Dukcapil akan mendeteksi. Bagi orang tersebut, NIK dan e-KTP yang berlaku adalah yang pertama.

Selain sepuluh perusahaan jasa keuangan yang bekerja sama hari ini, Ditjen Dukcapil tengah memproses izin akses data kependudukan untuk 904 perusahaan, 300 diantaranya merupakan Bank Pembangunan Rakyat (BPR) yang penandatanganan kerja samanya akan dilakukan dalam waktu dekat ini. bari/mohar/fba

 

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…