Perpres No 191/2014 Tentang BBM Minta Direvisi

 

NERACA

Jakarta - Pengamat Energi yang juga Direktur Puskepi, Sofyano Zakaria mendesak Perpres No. 191/2014 tentang Penyedian, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM direvisi agar penyaluran solar subsidi tepat sasaran. "Subsidi solar bisa dikurangi secara bertahap, yakni dengan cara merevisi Perpres No.191/2014, sehingga bisa menetapkan jenis kendaraan yang masih perlu disubsidi atau tidak," kata Sofyano Zakaria saat dihubungi di Jakarta, Jumat (13/10).

Ia menjelaskan, solar subsidi harusnya direvisi dan ditetapkan hanya untuk kendaraan maksimal beroda enam dan khusus untuk kendaraan yang menggunakan plat kuning saja. "Selain itu, subsidi solar harusnya bisa dilaksanakan dengan sistim kartu kendali. Kartu kendali bisa menetapkan volume BBM solar yang bisa dibeli, hal itu mudah diwujudkan karena data tentang jumlah dan jenis kendaraan tersedia secara akurat pada pihak kepolisian dan Kementerian Perhubungan," ungkapnya.

Dalam kesempatan itu, Sofyano juga menyarankan agar pemerintah menetapkan pula besaran subsidi tetap terhadap produk solar subsidi tersebut. "Pemerintah sebaiknya menetapkan besaran maksimal subsidi solar, yakni Rp1.000 per liter. Pemerintah tidak lagi menetapkan harga jual secara tetap namun ini mengikuti besaran harga keekonomian yang selalu berubah pada setiap tanggal 1 dan tanggal 15 pada setiap bulannya," ujarnya.

Terkait adanya kekhawatiran terhadap terkoreksinya besaran inflasi jika besaran subsidi solar dikoreksi, Sofyano menyatakan, dari pengalaman yang ada ketika pemerintah mengkoreksi harga BBM, ternyata inflasi hanya terkoreksi pada waktu yang tidak lama dan akhirnya kembali normal seperti sebelumnya. Ia menambahkan, sejak pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, masyarakat sudah terbiasa dengan harga BBM keekonomian.

Konsumen BBM sudah terbiasa membeli BBM dengan harga keekonomian. Pengusaha angkutan yang dominan sebagai konsumen pengguna solar subsidi bisa mengerti tentang makna subsidi dan ini sudah terjadi pada pengusaha angkutan perkebunan dan pertambangan yang sudah dilarang menggunakan solar subsidi, katanya.

Sebagaimana diketahui, terhadap subsidi BBM solar tahun 2017, pemerintah terpaksa "merogoh kantong" APBN sekitar Rp7 triliun, dan BUMN Pertamina menanggung pula beban untuk ikut "mensubsidi" sekitar Rp21 triliun dengan kuota BBM solar subsidi sekitar 14,82 miliar liter, kata Sofyano.

Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan, PT Pertamina (Persero) berpotensi kehilangan pendapatan sebesar Rp2,19 triliun karena berjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium pada 2015. Seperti diketahui, BBM Premium digolongkan sebagai Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan (JBKP). BBM Premium juga merupakan salah satu beban subsidi anggaran negara.

Angka temuan BPK tersebut didapat dari Ihtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I 2017. BPK mengaudit penyaluran Premium di wilayah di luar Jawa, Madura, dan Bali. Dari pemeriksaan tersebut, ditemukan bahwa potensi kehilangan pendapatan Pertamina disebabkan beberapa hal. Yang pertama, Standar Operasional Prosedur (SOP) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam menyusun formula harga dasar JBKP tahun 2015 belum mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 191. 

Dalam aturan itu, formulasi harga jual eceran BBM mencakup biaya perolehan, biaya distribusi, dan biaya penyimpanan serta margin. Kemudian, harga itu juga mencakup Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB). Yang kedua, volume penyaluran yang diperhitungkan Pertamina didasarkan pada penyaluran kepada lembaga penyalur. Namun seharusnya, volume yang disalurkan harus didasarkan kepada konsumen pengguna.

Akibatnya, perhitungan volume Pertamina belum memperhitungkan stok akhir yang belum tersalurkan dan adanya penyusutan volume minyak atas distribusi yang terjadi. Terakhir, penetapan formula biaya perolehan, biaya distribusi, dan penyimpanan serta formula margin Tahun 2015 tidak sesuai dengan Surat Keputusan Menteri ESDM No.2856K/12/MEM/2015. 

BERITA TERKAIT

Pemeran Bangkok RHVAC dan Bangkok E&E 2024 akan Tampilkan Inovasi dan Teknologi Terkini

Pemeran Bangkok RHVAC dan Bangkok E&E 2024 akan Tampilkan Inovasi dan Teknologi Terkini NERACA Jakarta - Bangkok RHVAC 2024 dan…

Defisit Fiskal Berpotensi Melebar

    NERACA Jakarta - Ekonom Josua Pardede mengatakan defisit fiskal Indonesia berpotensi melebar demi meredam guncangan imbas dari konflik Iran…

Presiden Minta Waspadai Pola Baru Pencucian Uang Lewat Kripto

  NERACA Jakarta – Presiden RI Joko Widodo meminta agar tim Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan kementerian…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Pemeran Bangkok RHVAC dan Bangkok E&E 2024 akan Tampilkan Inovasi dan Teknologi Terkini

Pemeran Bangkok RHVAC dan Bangkok E&E 2024 akan Tampilkan Inovasi dan Teknologi Terkini NERACA Jakarta - Bangkok RHVAC 2024 dan…

Defisit Fiskal Berpotensi Melebar

    NERACA Jakarta - Ekonom Josua Pardede mengatakan defisit fiskal Indonesia berpotensi melebar demi meredam guncangan imbas dari konflik Iran…

Presiden Minta Waspadai Pola Baru Pencucian Uang Lewat Kripto

  NERACA Jakarta – Presiden RI Joko Widodo meminta agar tim Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan kementerian…