Belum Seutuhnya Merdeka

Oleh: Dhenny Yuartha Junifta

Peneliti INDEF

Sudah 72 tahun Republik ini memproklamasikan diri sebagai negara merdeka. Namun, seiring nafas perubahan yang diagendakan, realitas anti kemandirian mengancam pencapaian cita-cita ini. Semakin tua, negeri ini semakin mantap dalam cengkraman ketergantungan. Celakanya,. Tingkat pengangguran terbuka hanya turun 0,33%, dari 5,94% pada 2014 menjadi 5,61% pada 2016. Kemiskinan masih stagnan atau hanya turun 0,26% dari 2014 hingga 2016. Sedangkan penyakit ketimpangan berkurang hanya 0,02 dari tahun 2014 ke 2016.

Patut disadari, bahwa kemandirian adalah ongkos yang harus dibayar untuk mencapai kemerdekaan. Namun, tiga penyakit ketergantungan menyebabkan ongkos tersebut menjadi lebih mahal. Ada tiga penyebab penyakit ketergantungan ini semakin akut. Pertama, deindustrialisasi yang disebabkan oleh kealpaan untuk mengembangkan sektor tradable sebagai tumpuan. Transformasi ekonomi Indonesia masih mengandaikan sektor non-tradable sebagai pijakannya. Padahal, sektor non-tradable adalah penopang setelah sektor tradable lebih dulu kokoh. Industri pengolahan menyusut secara drastis selama kurun waktu satu dekade terakhir. Tahun 2005 Industri mencatatkan sumbangsih terhadap PDB sebesar 27,41% menjadi hanya 20,51% di 2016. Sedangkan kontribusi pertanian terhadap PDB naik sangat lambat dalam satu dekade, dari 13,13% terhadap PDB pada 2005 menjadi 13,45% pada 2016.

Kedua, rezim angaran defisit tanpa kontrol dengan utang sebagai jalan pintas. Penerimaan negara yang tak pernah beres adalah ekornya. Sedangkan kepalanya adalah perencanaan yang buruk. Tahun 2016 ekonomi hanya tumbuh 5,02% atau jauh di bawah target 5,2%. Di tahun ini, diprediksi ekonomi tumbuh di bawah prediksi setelah pada kuartal II hanya tumbuh 5,01%. Shortfall atau melesetnya realisasi penerimaan pajak dari target tak pernah tuntas. Penyerapan anggaran dengan tren memburuk di sisi lainnya semakin menekan kondisi fiskal. Akibatnya, utang yang terlanjur di terbitkan menjadi sia-sia. Padahal timbunan utang pemerintah semakin meningkat.

Kepercayaan pemerintah bahwa utang digunakan untuk membiayai kegiatan yang produktif bisa diragukan. Pasalnya, defisit keseimbangan primer semakin membengkak sejak tahun 2012, yang awalnya Rp52,8 triliun menjadi Rp178,1 triliun. Artinya, Pemerintah menarik utang baru hanya untuk membayar bunga utang lama. Ketergantungan yang akut terhadap utang semakin menekan efektifitas anggaran dalam membiayai kegiatan produktif. Celakanya, potensi internal tak mampu diupayakan. Masyarakat menengah bawah yang taat pajak masih giat di tarik pajaknya. Namun tumpul dalam mengupayakan basis pajak korporasi besar

Ketiga, ketidakberdayaan ditengah gempuran gurita asing dalam perekonomian. Pada 2016, demi mengejar target investasi, Pemerintah mengeluarkan revisi daftar negatif investasi pada sekitar 141 lini bisnis. Artinya, batas kepemilikian asing pada 141 lini bisnis tersebut semakin diperlebar dari 67% hingga 100%. Paling besar adalah industri e-commerce dari yang sebelumnya 0%,  menjadi 100% kepemilikan asing. Kemudian crumb rubber atau getah karet yang sebelumnya 33% menjadi 100%. Terbaru, untuk mencapai target realisasi investasi 2017sebesar Rp670 triliun dan Rp840 triliun untuk tahun depan, pemerintah kembali mengkaji untuk melakukan revisi DNI.

Dengan fakta sumber daya alam yang melimpah, ketiga fakta diatas semakin menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam mengupayakan kemandirian. Jangan ada lagi kebijakan-kebijakan yang mencederai amanat kemerdekaan. bangsa ini butuh kemerdekaan seutuhnya. Bukan ketergantungan dalam kemerdekaan.

 

BERITA TERKAIT

Produk Keuangan Syariah

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah   Selain bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh keberkahan dan ampunan, bulan yang suci…

Gejolak Harga Beras

  Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta   Ada pemandangan aneh ketika kemarin rakyat rela…

Risiko Fiskal dalam Pembangunan Nasional

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Risiko dapat dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya suatu kejadian yang…

BERITA LAINNYA DI

Produk Keuangan Syariah

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah   Selain bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh keberkahan dan ampunan, bulan yang suci…

Gejolak Harga Beras

  Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta   Ada pemandangan aneh ketika kemarin rakyat rela…

Risiko Fiskal dalam Pembangunan Nasional

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Risiko dapat dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya suatu kejadian yang…