Seberapa Penting Opini WTP dari BPK?

 

 

 

NERACA

 

Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menekankan pentingnya meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) bagi entitas baik kementerian atau lembaga maupun pemerintah daerah dan badan lainnya. Kepala Biro Humas dan Kerja Sama Internasional BPK R Yudi Ramdan Budiman mengatakan, opini WTP adalah penilaian tertinggi atas kualitas pengelolaan keuangan negara yang menjamin bahwa informasi keuangan telah wajar disajikan sesuai standar akuntansi pemerintahan.

"Ini upaya yang harus terus dijaga entitas dalam proses pertanggungjwban anggaran negara dan memastikan sudah transparan dan akuntabel," ujar Yudi seperti dikutip Antara, kemarin. BPK baru saja menyerahkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2017 kepada Presiden, DPR, dan DPD, beberapa waktu lalu. IHPS I merupakan ringkasan dari 687 Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang terdiri atas 645 LHP keuangan, 9 LHP kinerja, dan 33 LHP dengan tujuan tertentu.

Terkait dengan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2016, telah memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Sebanyak 74 Laporan Keuangan Kementerian Lembaga (LKKL) memperoleh opini WTP (84 persen), capaian ini mulai mendekati target Sasaran Pokok Pembangunan Tata Kelola dan Reformasi Birokrasi sampai dengan tahun 2019 sebesar 95 persen.

Sementara itu, delapan LKKL memperoleh opini Wajar Dengan Pengecualian (9 persen), dan enam LKKL memperoleh opini Tidak Menyatakan Pendapat (7 persen). Indeks opini atas capaian tingkat perolehan opini WTP pada pemeriksaan tahun 2017 adalah 3,70, masih di bawah target bidang Reformasi Keuangan Negara yang ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019 sebesar 3,88.

Berbeda halnya dengan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), capaian opini pada LKPD telah melampaui target kinerja keuangan daerah bidang penguatan tata kelola pemerintah daerah/program peningkatan kapasitas keuangan pemerintah daerah yang ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019.

Pemerintah provinsi dengan opini WTP sejumlah 91 persen dari target 85 persen, pemerintah kabupaten sejumlah 66 persen dari target 60 persen, dan pemerintah kota sejumlah 77 persen dari target 65 persen. "Instansi sebagai pengguna anggaran, wajib mempertanggungjawabkannnya dalam bentuk laporan keuangan dan harus diaudit oleh BPK untuk memastikannya," ujar Yudi.

Tak Bebas Korupsi

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat bukan berarti bebas dari korupsi.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut menjelaskan, penyelewengan dalam penganggaran bisa saja terjadi apabila dalam laporan tersebut masih ada mark up. Sementara, asal dilakukan sesuai kaidah akuntansi yang benar, penyelewengan tersebut tak akan tampak dalam audit rutin BPK. Aneka bentuk kecurangan yang menimbulkan kerugian negara itu, menurut Sri, baru akan tampak jika BPK mengadakan audit dengan tujuan tertentu atau audit khusus. "Jadi opini WTP belum berarti bebas korupsi," kata Sri.

Dirinya menyebut, hingga saat ini 84% dari 88 entitas pelaporan pemerintah pusat telah berstatus WTP. Lalu 91 persen dari 34 provinsi juga telah mencapai opini yang sama. Di tingkat lebih rendah, opini WTP juga diraih oleh 66% pemerintah kabupaten dan 77% pemerintah kota. Dari sisi Pemerintah, Sri mengaku akan terus memperbaiki proses perencanaan anggaran serta menjaga akurasi penggunaan anggaran. Namun, ia juga menekankan perlunya partisipasi masyarakat dalam pengawasannya.

"Karena kalau WTP (hanya) dilihat apakah sudah mengikuti perencanaan, penganggaran, serta eksekusi dengan azas akuntansi," kata Sri. Ia menyebut, pada 2015-2017 banyak pos belanja yang mengalami peningkatan signifikan dibanding 2011 hingga 2014. Di antaranya adalah belanja pendidikan yang naik 27,4% dan kesehatan yang juga naik 83,2%. "Sedangkan belanja infrastruktur naiknya mencapai 123,4 persen," ujar Sri. 

Sedangkan dari sisi penyerapan anggaran, Sri mengatakan, dalam 5 tahun terakhir penyerapan belanja pegawai masih menjadi yang paling besar yakni 93,4%. Sedangkan untuk belanja modal realisasinya hanya sekitar 84,8%. Namun secara total, penyerapan belanja Pemerintah pusat mencapai 90,3 persen.

 

BERITA TERKAIT

Jadilah Individu Beretika di Dunia Nyata Maupun Digital

Jadilah Individu Beretika di Dunia Nyata Maupun Digital NERACA Banyuwangi - Dalam rangka mewujudkan Indonesia Makin Cakap Digital, Kementerian Komunikasi…

Bijak Bermedia Sosial, Bebas Berekspresi Secara Bertanggung Jawab

Bijak Bermedia Sosial, Bebas Berekspresi Secara Bertanggung Jawab  NERACA Probolinggo - Dalam rangka mewujudkan Indonesia Makin Cakap Digital, Kementerian Komunikasi…

Perhatikan Batasan dalam Berkonten di Media Sosial

  NERACA Jember - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo RI) berkomitmen meningkatkan literasi digital masyarakat menuju Indonesia #MakinCakapDigital2024. Dalam rangka…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Jadilah Individu Beretika di Dunia Nyata Maupun Digital

Jadilah Individu Beretika di Dunia Nyata Maupun Digital NERACA Banyuwangi - Dalam rangka mewujudkan Indonesia Makin Cakap Digital, Kementerian Komunikasi…

Bijak Bermedia Sosial, Bebas Berekspresi Secara Bertanggung Jawab

Bijak Bermedia Sosial, Bebas Berekspresi Secara Bertanggung Jawab  NERACA Probolinggo - Dalam rangka mewujudkan Indonesia Makin Cakap Digital, Kementerian Komunikasi…

Perhatikan Batasan dalam Berkonten di Media Sosial

  NERACA Jember - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo RI) berkomitmen meningkatkan literasi digital masyarakat menuju Indonesia #MakinCakapDigital2024. Dalam rangka…