Micro Banking atau Koperasi ?

Oleh : Agus Yuliawan

Pemerhati Ekonomi Syariah

Micro banking atau koperasi? Itulah sebuah pertanyaan yang sering kita pertanyakan, ketika diri kita berada dilingkungan sebuah lembaga keuangan mikro bernama Baitul Maal Waa Tamwil (BMT), pasalnya tak semua BMT yang ada selama ini benar–benar menjalankan sebuah bisnis sesuai dengan kaidah-kaidah dalam perkoperasian. Dimana dalam perkoperasian menganut mekanisme dari, untuk dan oleh dalam pengelolaannya. Sehingga kekuatan permodalan yang ada selama ini bertumpu pada pemupukan dari para anggota dan bukan berasal dari para pengurus saja. Namun, dalam kenyataannya banyak BMT melanggar kaidah tersebut dalam semangat perkoperasian. Sehingga BMT berbadan hukum koperasi, tapi dalam praktiknya adalah micro banking atau bank mikro. Dimana dalam manajemen pengelolaan keuangan dan bisnis tak bedanya dengan sebuah  perbankan.

Untuk mengatur agar BMT menjalankan prinsip prinsip perkoperasian seperti yang dituangkan dalam UU No 25 tahun 1992, pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM telah menerbitkan Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor 16/Per/M.KUMKM/IX / 2015 tentang pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh Koperasi. Dengan regulasi ini sangat jelas bagaimana cara mengoperasikan koperasi syariah dalam bentuk Koperasi Simpan Pinjam Pembiayaan Syariah. Dalam Permen ini, semua sudah clear bagaimana implementasi dari koperasi syariah ini tidak menabrak dalam ketentuan pada UU N0 25 Tahun 1992. Begitu juga dengan kaidah yang didalamnya diantaranya adalah kepatuhan syariah atau shariah complain. Tapi bagi sebuah BMT tak semua mengikuti kaidah aturan dalam regulasi tersebut dan masih banyak menjalankan usahanya berbentuk micro banking dan bukan sebagai koperasi.  Apa dampaknya?

Dampaknya adalah, sering kita jumpai sebuah BMT yang tidak taat terhadap aturan tersebut  melakukan pelanggaran yang semestinya tidak terjadi, seperti investasi bodong dan pembagian sisa hasil usaha (SHU) yang tidak adil kepada para anggotanya. Maka pemerintah dan lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus benar-benar turun tangan dalam melihat realitas ini, bahkan atas dasar mitigasi risiko dan melindungi hak–hak konsumen, OJK bisa bertindak terhadap praktik penyalahgunaan keuangan mikro tersebut berkedok koperasi.

Untuk mengawasi jalannya praktik keuangan mikro berbasis BMT tersebut, OJK dan Kementerian Koperasi harus bisa bergandeng tangan, benarkah praktiknya selama ini BMT itu  micro banking atau koperasi? Kalau BMT menjalankan usaha dengan cara micro banking, dia harus mengikuti aturan – aturan kepatuhan sesuai dengan Undang – Undang No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan MIikro dibawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Begitu juga jika BMT dalam prakteknya menggunakan koperasi syariah, maka harus mengikuti kaidah dalam koperasi yakni dari, untuk dan oleh anggota. Jangan sampai yang terjadi adalah sebaliknya, BMT menggunakan badan hukum koperasi, tapi dalam praktiknya sistem micro banking yang dijalankannya. Hal ini dilakukan sebagai strategi dalam mengelabuhi pengawasan dari OJK saja. Jelas DNA koperasi dan micro banking sangat berbeda, tak bisa DNA tersebut dijadikan jadi satu kesatuan, jika dipaksakan yang terjadi adalah akan banyak masalah baik dari segi pengawasan dan kepatuhan.      .     

Semoga pemahaman ini, bisa dijadikan kebijakan bagi OJK lewat kepemimpinan yang baru saat ini, kita berharap jangan sampai BMT yang merupakan gerakan ekonomi umat tersebut yang sungguh mulia tersebut, dijadikan petualangan bagi para petualang yang hanya sekedar memanfaatkan keuntungan pribadi dan kelompok saja. Begitu juga  umat harus tercerahkan, jika BMT itu berbadan koperasi harus mempu mengoptimalkan kekuatan internalnya dengan semangat kekeluargaan dan kegotong-royongan dalam pemupukan modal dan usaha. Jangan sampai keberadaan dari BMT berbadan koperasi tersebut menjadi “sapi perahan” bagi lembaga keuangan lain dalam bentuk linked program dan lain - lain, sementara koperasi hanya sekedar memperoleh sedikit ujroh saja. Apabila struktur manajemen bisnisnya demikian maka peran BMT berbadan hukum koperasi tidak akan maksimal sama sekali dan tak bisa menjadi arus baru ekonomi umat.

 

BERITA TERKAIT

Investasi Emas Pasca Lebaran

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Usai lebaran Idul Fitri 1445 H masyarakat Indonesia mulai menjalankan aktifitas kembali seperti biasanya…

Tantangan APBN Paska Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…

Kebijakan Satu Peta

 Oleh: Susiwijono Moegiarso Plt. Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kemenko Perekonomian Percepatan pelaksanaan Kebijakan Satu Peta atau…

BERITA LAINNYA DI

Investasi Emas Pasca Lebaran

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Usai lebaran Idul Fitri 1445 H masyarakat Indonesia mulai menjalankan aktifitas kembali seperti biasanya…

Tantangan APBN Paska Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…

Kebijakan Satu Peta

 Oleh: Susiwijono Moegiarso Plt. Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kemenko Perekonomian Percepatan pelaksanaan Kebijakan Satu Peta atau…