Nasib Petani Indonesia

Menjadi petani di Indonesia saat ini belum bernasib mujur seperti di negara lain. Karena penghasilan sangat rendah, bahkan tidak mampu mencukupi untuk kebutuhan hidup. Coba saja lihat nilai tukar petani (NTP) yang  menjadi ukuran kesejahteraan petani, hingga kini masih rendah.

Nilai NTP menunjukkan perbandingan antara pendapatan dengan pengeluaran petani. Jika di bawah 100 berarti petani rugi, jika di atas 100 berarti petani untung. Meski Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat NTP September 2017 sebesar 102,22 atau naik 0,61 dibanding NTP bulan sebelumnya, kenaikan NTP lebih disebabkan oleh indeks harga yang diterima petani naik sebesar 0,49% sedangkan indeks harga yang dibayar petani (lb) turun  0,12%.

Kita melihat NTP yang mulai naik di atas 100 itu, kondisi petani pangan khususnya belum memperlihatkan tingkat penghasilan yang signifikan di tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Padahal, kontribusi petani terhadap perekonomian nasional sangat besar. Investasi petani ada pada sawah yang memiliki luas 11,4 juta ha, 3,2 juta ha lahan jagung, 0,6 juta ha kedelai, 1,3 juta ha lahan ubi kayu, 2 juta ha lahan sawit dan berbagai potensi komoditas pertanian lainnya, termasuk peternakan serta perikanan.

Tidak hanya itu. Keterlibatan petani di sektor lain, seperti transportasi, rumah makan, penginapan, hingga industri hilir yang bergantung kepada produk pertanian hingga menghasilkan devisa negara yang tak terhingga nilainya, merupakan betapa strategisnya kehidupan petani.

Presiden Jokowi terlihat mulai memperhatikan dunia pertanian. Di bandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya, anggaran pertanian melonjak setiap tahun. Anggaran kedaulatan pangan melonjak 53,2% dari Rp 63,7 triliun pada 2014 mencapai Rp 103,1 triliun pada APBN 2017. Namun, tingginya alokasi anggaran tersebut ternyata belum berkorelasi dengan kesejahteraan petani di lapangan.

Lantas mengapa nasib petani tetap suram meskipun anggaran pertanian terus bertambah? Masalahnya, petani Indonesia sebagian besar (85%) merupakan petani gurem. Mereka adalah petani yang tak memiliki lahan. Bagaimana bisa hidup sejahtera jika bergantung pada lahan orang lain. Dengan kondisi seperti itu, wajar bila petani banting setir ke profesi lain.

Lain halnya di negara maju seperti Amerika Serikat, jumlah petani tak banyak, namun petaninya makmur. Petani di negara Paman Sam telah dilindungi oleh konstitusi bernama Homestead Act 1862, yang khusus ditujukan untuk melindungi dan mengangkat martabat petani. Sejak zaman Presiden Abraham Lincoln, petani telah diberikan lahan seluas 65 ha per kapling. Mereka juga mendapatkan pendidikan di Land Grant College sebagai petani profesional.

Sama halnya di negara yang maju lainnya seperti Selandia Baru, Jepang dan Thailand, petani tetap menjadi warga negara kehormatan. Profesi petani selalu mendapat penghargaan dan perlindungan melalui konstitusi. Thailand memiliki BAAC (Bank of Agricultural and Agriculture Cooperative). Malaysia juga punya Bank Pertanian Malaysia. Dan, hampir semua negara yang maju ekonomi dipastikan memiliki lahan yang luas karena dilindungi oleh konstitusi yang berpihak kepada petani.

Sayang, di Indonesia keberpihakan negara terhadap petani masih minim. Negara tak mampu memberikan lahan yang luas bagi petani. Bahkan, berdasarkan data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA ) tahun 2015, tercatat, ada sebanyak 472 konflik agraria di seluruh wilayah Indonesia dengan luas lahan konflik sekitar 2.860.977,77 ha.

Fakta ini merupakan salah satu penyebab utama tergusurnya petani dari lahan yang biasanya menjadi sumber kehidupannya. Tidak jarang juga, tanah mereka dirampas dan tidak diberikan ganti rugi yang sepadan sehingga hal ini sudah barang tentu memiskinkan petani. Maka, wajar kalau petani akhirnya alih profesi menjadi buruh pabrik dan melakukan urbanisasi sehingga menjadi persoalan baru di tengah roda pembangunan kota.

Nah, apabila pemerintah pro dengan nasib petani maka petani harus dimuliakan dengan melakukan reformasi agraria. Melalui konsep yang sudah lama dicetuskan oleh para pendiri bangsa ini dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Artinya, bila negeri ini tetap mau hidup, maka merdekakan petani dari kemiskinan dengan reformasi agraria untuk pionir pangan tersebut. Semoga!

 

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…