HASIL AUDIT BPK SEMESTER I-2017 - Ada 50% K/L Tidak Patuh Aturan UU

Jakarta-Tim audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada semester I-2017  mengungkapkan 9.729 kasus yang memuat 14.997 permasalahan mencakup 7.284 (49%) persoalan kelemahan sistem pengendalian intern (SPI) dan 7.549 (50%) terkait ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan senilai Rp 25,14 triliun, serta 164 permasalahan (1%) terkait ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan senilai Rp 2,25 triliun.

NERACA

Dari permasalahan ketidakpatuhan tersebut, sebanyak 4.707 (62%) senilai Rp 25,14 triliun merupakan permasalahan ketidakpatuhan yang mengakibatkan: Kerugian sebanyak 3.135 (67%) senilai Rp 1,81 triliun. Kemudian potensi kerugian sebanyak 484 (10%) permasalahan senilai Rp 4,89 triliun dan kekurangan penerimaan sebanyak 1.088 (23%) persoalan senilai Rp 18,44 triliun.

Berdasarkan laporan BPK tersebut yang dipublikasikan Selasa (3/10), sekitar 73% atau 469 laporan keuangan yang diperiiksa memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Kendati demikian, BPK mengungkapkan 9.729 temuan yang memuat 14.997 permasalahan. Kasus tersebut mencakup 7.549 permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, 7.284 permasalahan kelemahan sistem pengendalian intern (SPI), serta 164 permasalahan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan senilai Rp2,25 triliun.

BPK juga menemukan terdapat 2.842 (38%) permasalahan ketidakpatuhan yang mengakibatkan penyimpangan administrasi. Sedangkan dari 164 permasalahan ketidakhematan, ketidak efisienan, dan ketidakefektifan senilai Rp 2,25 triliun, terdapat 12 (7%) permasalahan ketidakhematan senilai Rp 11,96 miliar. Selain itu, 30 (18%) permasalahan ketidakefisienan senilai Rp 574,31 miliar dan 122 (75%) permasalahan ketidakefektifan senilai Rp 1,67 triliun.

Terhadap permasalahan ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan. Pada saat pemeriksaan entitas yang diperiksa telah menindaklanjuti dengan menyerahkan aset atau menyerahkan aset atau menyetor ke kas negara atau daerah senilai Rp 509,61 miliar.

Permasalahan ketidakpatuhan, didominasi oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan badan lainnya yang mencapai Rp18,31 triliun. Kemudian disusul oleh pemerintah pusat (Pempus)_Rp4,75 triliun dan pemerintah daerah (pemda) Rp2,09 triliun. Ketidakpatuhan, mayoritas mengakibatkan kekurangan penerimaan terutama pada BUMN yang mencapai Rp16,42 triliun, disusul oleh Pempus Rp 1,49 triliun, dan pemda Rp538 miliar.

Sementara itu, ketidakpatuhan yang menyebabkan potensi kerugian negara paling banyak ditemukan pada laporan Pempus yang mencapai Rp2,62 triliun, BUMN dan badan lainnya Rp1,81 triliun, dan Pemda Rp419,6 miliar. Sedangkan kerugian negara paling besar tercatat pada laporan keuangan pemda yang mencapai Rp1,13 triliun, disusul pempus Rp636 miliar, serta BUMN dan Badan lainnya Rp40,29 miliar.

"Terhadap permasalahan ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan, pada saat pemeriksaan entitas yang diperiksa telah menindaklanjuti dengan menyerahkan aset atau menyetor ke kas negara atau daerah senilai Rp509,61 miliar," menurut laporan BPK tersebut.

Adapun, dari 164 permasalahan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan, terdapat 12 permasalahan ketidakhematan senilai Rp11,96 miliar, 30 permasalahan ketidakefisenan senilai Rp574,31 miliar, dan 122 masalah ketidakefektifan Rp1,67 triliun. Temuan paling banyak, berasal dari BUMN dan badan lainnya terutama terkait ketidakefektifan yang mencapai Rp1,67 triliun dan ketidak efisienan Rp574 miliar. Sementara itu, pemerintah pusat mencatatkan ketidakhematan dan ketidakefisienan masing-masing mencapai Rp249 miliar dan Rp700 miliar.

Pada bagian lain, BPK pada semester I-2017 telah menyelesaikan 687 Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP), yang terdiri dari 645 LHP keuangan, 9 LHP kinerja, dan 33 LHP Dengan Tujuan Tertentu (DTT). Selain mencatatkan mayoritas laporan menerima WTP, BPK juga mencatat hasil pemeriksaan atas kinerja memuat kinerja yang cukup efektif. Adapun hasil pemeriksaan DTT memuat kesimpulan adanya ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyusun Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2017. Dalam IHPS tersebut memuat 687 laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang diselesaikan BPK pada semester I 2017. Ke-687 laporan itu terdiri atas 645 LHP Keuangan (94%), 9 LHP Kinerja (1%) dan 33 LHP dengan tujuan tertentu (DTT) sebesar 5%.

Laporan Freeport

Salah satu dari 33 LHP dengan tujuan tertentu yang signifikan, diantaranya adalah pemeriksaan atas kontrak karya PT Freeport Indonesia. Mengutip laman tersebut, pemeriksaan atas kontrak karya PT Freeport Indonesia (PT FI) ini terjadi pada 2013-2015. Pemeriksaan bertujuan untuk menilai kepatusan PTFI dalam hal penerimaan negara dan kepatuhan terhadap peraturan terkait dengan lingkungan hidup, serta menguji apakah perpanjangan kontrak karya dan divestasi saham PTFI telah berjalan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hasil pemeriksaaan menyimpulkan, pengelolaan pertambangan mineral pada PTFI belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai ketentuan berlaku untuk menjamin pencapaian prinsip pemanfaatan sumber daya alam (SDA) yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia.

BPK menemukan beberapa masalah yang perlu mendapat perhatian. Pertama, pembayaran iuran tetap, royalti dan royalti tambahan oleh PTFI menggunakan tarif yang tercantum dalam kontrak karya, yang besarannya lebih rendah serta tidak disesuaikan dengan tarif berlaku saat ini.

Hal itu mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang diterima periode 2009-2015 senilai US$ 445,96 juta atau sekitar Rp 6,05 triliun (asumsi kurs Rp 13.575 per US$).

Sebelumnya pemerintah sudah menetapkan besaran royalti, emas, perak dan tembaga tetap dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian ESDM. Peraturan Pemerintah itu merupakan revisi dari PP sebelumnya yakni PP Nomor 45 Tahun 2003.

Kedua, hilangnya potensi peningkatan pendapatan negara melalui dividen PT FI, dan hilangnya kesempatan pemerintah untuk berperan dalam pengambilan keputusan strategis manajemen PTFI. Ini karena sampai 2015, kepemilikan pemerintah Indonesia atas saham PTFI belum optimal, dan proses divestasi saham berlarut-larut.

Ketiga, pengelolaan limbah tailing PT Freeport Indonesia belum sesuai dengan peraturan lingkungan yang berlaku di Indonesia. Pembuangan limbahnya telah mencapai kawasan laut sehingga mengakibatkan perubahan ekosistem serta menimbulkan kerusakan dan kerugian lingkungan.

Atas hal ini, pemerintah telah mencapai kesepakatan final dengan PTFI antara lain mengenai divestasi saham PTFI sebesar 51% untuk kepemilikan nasional. Selain itu stabilitas penerimaan negara dibanding penerimaan melalui kontrak karya selama ini. bari/mohar/fba

 

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…