Pentingnya Menjaga Kesinambungan Pasokan Listrik Nusantara

Oleh:Muhammad Razi Rahman

Tersebarnya salinan surat Menteri Keuangan kepada Menteri ESDM dan Menteri BUMN terkait pengelolaan risiko keuangan negara yang bersumber dari kondisi keuangan PT PLN, sempat ramai dibicarakan sebagian kalangan masyarakat.

Pasalnya, salah satu hal yang disorot Menkeu dalam hal itu adalah kinerja keuangan PLN yang terus mengalami penurunan seiring dengan semakin besarnya kewajiban korporasi untuk memenuhi pembayaran pokok dan bunga pinjaman yang tidak didukung oleh pertumbuhan kas bersih operasi.

Oleh karena itu, PLN diharapkan mampu melakukan efisiensi dalam biaya operasi, terutama energi primer, untuk mengantisipasi potensi risiko gagal bayar, dan adanya regulasi dari instansi terkait yang dapat mendorong penurunan biaya produksi tenaga listrik, seiring dengan ketiadaan penyesuaian tarif tenaga listrik.

Penyesuaian itu dinilai diperlukan untuk menjaga kesinambungan fiskal APBN dan kondisi keuangan PLN yang merupakan salah satu sumber risiko fiskal pemerintah.

Setelah merebaknya surat tersebut, sejumlah LSM bidang lingkungan hidup, seperti Greenpeace Indonesia dan Wahana Lingkungan Hidup, mengingatkan pemerintah bahwa ketergantungan terhadap batubara untuk listrik berpotensi untuk merugikan keuangan negara.

Juru Kampanye Greenpeace Hindun Mulaika mengingatkan bahwa batubara bukanlah sumber energi murah, sedangkan ketergantungan pemerintah terhadap batubara dinilai "mengakibatkan potensi kerugian negara yang sangat besar".

Menurut Hindun Mulaika, surat Sri Mulyani tersebut menggarisbawahi bahwa PLN telah salah memperkirakan kenaikan permintaan listrik di Jawa-Bali karena pada kenyataanya permintaan listrik cenderung menurun.

Hindun juga menungkapkan bahwa adanya sejumlah kontrak PPA (jual beli listrik) terhadap PLTU-PLTU batubara di berbagai daerah juga mewajibkan PLN tetap membayar listrik yang tidak terserap oleh konsumen.

Untuk itu, ia menginginkan rencana pembangunan PLTU batubara di Jawa yang saat ini masih berada dalam tahapan prakonstruksi layak ditinjau ulang, dan bagi mereka yang sudah memenangi tender, namun belum mendapatkan PPA tidak seharusnya dilanjutkan, mengingat permasalahan yang ditimbulkan dari semua aspek, mulai dari kerugian negara, polusi udara dan dampak sosial serta lingkungan.

Hindun berpendapat bahwa perencanaan ketenagalistrikan Indonesia gagal melihat bagaimana makin murahnya dan menurunnya harga energi terbarukan, yang juga diikuti oleh perkembangan teknologi, seharusnya dapat dimanfaatkan untuk melakukan intervensi yang maksimal, khususnya di Jawa-Bali yang sistem koneksinya sudah stabil.

Senada dengan Greenpeace, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) juga mendesak agar seluruh proyek PLTU batubara tidak hanya ditinjau ulang, namun segera dibatalkan karena selain berdampak terhadap lingkungan hidup dan mengancam mata pencaharian masyarakat terutama petani dan nelayan, berpotensi membangkrutkan keuangan negara.

Manager Urban dan Energi Walhi Dwi Sawung mengingatkan bahwa sistem kelistrikan Jawa-Bali mengalami kelebihan daya yang sangat besar.

Selain itu, ujar dia, sistem pembeliannya juga dinilai bermasalah di mana PLN harus membayar listrik yang dihasilkan oleh penyedia listrik swasta walaupun listrik tersebut tidak digunakan.

Wajar

Sementara itu, Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan PLN mampu untuk menuntaskan proyek pengadaan listrik 35.000 MW, meskipun sejumlah kalangan meragukan kesehatan keuangan perusahaan tersebut.

Menteri Rini di Jakarta, Kamis (28/9), mengemukakan pula bahwa "wajar juga jika Menteri Keuangan mengingatkan agar PLN dengan proyek yang banyak harus menjaga rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity ratio/DER) perusahaan".

Untuk itu, menurut Rini, pihaknya selama tiga tahun sebagai Menteri BUMN selalu mengingatkan semua perusahaan milik negara, termasuk PLN sebagai perusahaan besar, harus menjaga rasio utang dan meningkatkan kualitas aset.

Apalagi, pemerintah juga telah memutuskan tarif dasar listrik (TDL) tidak akan naik hingga akhir tahun 2017.

Menteri ESDM Ignasius Jonan ditemui di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (27/9) menyatakan, kendati tidak menaikkan TDL, PLN akan tetap meraih pendapatan pada 2017.

Jonan juga meminta PLN agar dapat melakukan efisiensi pada biaya-biaya perawatan, dan menyampaikan keyakinannya dengan pendapatan yang diperoleh PLN pada 2017 bakal tidak ada pengaruh kepada megaproyek pengadaan listrik 35 ribu Megawatt.

Selain itu, institusi seperti Otoritas Jasa Keunagan (OJK) juga menilai bahwa saat ini juga sudah terbangun sinergi antara industri jasa keuangan dengan infrastruktur listrik, yang terindikasi dari adanya kontrak investasi kolektif (KIK) efek beragun eset (EBA) Danareksa Indonesia Power PLN1-Piutang Usaha (EBA DIPP1).

Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Hoesen di Jakarta, Rabu (20/9) mengatakan bahwa KIK-EBA DIPP1 itu diharapkan dapat menjadi sumber pembiayaan untuk membangun program infrastruktur pemerintah, khususnya untuk merealisasikan penyediaan listrik di seluruh pelosok negeri.

Kendati demikian, ia mengingatkan bahwa program pembangkit listrik sebesar 35.000 megawatt diperkirakan membutuhkan lebih dari Rp1.127 triliun, sementara hasil total penerbitan KIK EBA Danareksa Indonesia Power PLN1 ini belum mencapai satu persen dari dana yang diperlukan.

Dengan pihak luar, Pemerintah Republik Indonesia juga telah menggandeng Pemerintah Negara Bagian Australia Barat untuk membahas pemanfaatan teknologi kelistrikan yang mampu menjangkau daerah-daerah terpencil yang belum terdistribusi listrik.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro di Jakarta, Selasa (26/9) mengemukakan Australia Barat punya teknologi untuk membantu suplai listrik di daerah-daerah yang tidak tersambung saluran distribusi.

Teknologi kelistrikan yang diaplikasikan di Australia Barat tersebut menggunakan energi terbarukan atau dengan menggunakan baik gas maupun diesel.

Bambang menilai teknologi tersebut mampu dipergunakan untuk wilayah-wilayah Indonesia yang selama ini tidak terjangkau jaringan transmisi dan distribusi PLN.

Penyesuaian

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan memang perlu ada penyesuaian target penyediaan infrastruktur ketenagalistrikan atau Program 35.000 MW, yang ditargetkan rampung 2019.

Luhut di sela-sela rapat koordinasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan Bank Indonesia (Rakorpusda) di Bandung, Rabu (27/9), menuturkan, target 35.000 MW itu merupakan target dengan asumsi kala itu pertumbuhan ekonomi mampu tumbuh 6-7 persen.

Sedangkan saat ini, lanjutnya, pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya akan tumbuh 5-6 persen.

Terkait dengan kritik sejumlah LSM mengenai kurang digalakkannya penggunaan energi baru terbarukan, sebenarnya langkah pemerintah dalam rangka meningkatkan persentase bauran energi baru terbarukan (EBT) sebanyak 23 persen pada 2025 mendatang terus mendapatkan dukungan.

PLN, misalnya, berkomitmen penuh untuk mewujudkan target tersebut guna mewujudkan energi berkeadilan untuk kesejahteraan rakyat dan investasi berkelanjutan.

Direktur Utama PLN Sofyan Basir mengatakan, saat ini pihaknya mengembangkan pembangkit listrik berbasis EBT secara masif di Pulau Jawa. Pada tahun ini, proyek yang dikembangkan ialah PLTS Cirata dan PLTW di Sukabumi Selatan.

Menurut dia, hingga September 2017 ini sekitar 60 independent power producer (IPP) yang berbasis EBT telah menandatangani power purchasing agreement (PPA) dengan PLN.

Pemerintah juga terus menggenjot penggunaan pembangkit EBT. Bahkan, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merubah paradigma terhadap EBT, dari yang sebelumnya dianggap sebagai energi alternatif, menjadi energi utama.

Apalagi, Dirjen EBTKE Rida Mulyana mengatakan bahwa Republik Indonesia memiliki sumber daya EBT yang lengkap dari langit, bumi, hingga air.

Sebagai negara yang terletak di sepanjang garis katulistiwa, Indonesia diberkahi setidaknya enam sumber daya EBT yakni, energi air, surya, panas bumi, angin, bioenergi, dan arus laut.

Total potensi kapasitas EBT dari keenam sumber daya tersebut diproyeksikan mencapai 441,7 GW. Sedangkan, kapasitas yang baru terealisasi saat ini hanya sebesar 8,89 GW.

Untuk itu, ujar dia, sudah sewajarnya bila energi baru dan terbarukan saat ini telah menjadi arah energi utama dan tidak lagi sekadar wacana sebagai energi alternatif.

Dengan adanya komitmen tersebut, maka rakyat juga menunggu perwujudan agar melimpahnya sumber energi baru dan terbarukan bisa benar-benar terealisasikan dalam rangka pentingnya menjaga pasokan listrik nusantara. (Ant.)

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…