Waspadai Defisit APBN

Kondisi keuangan negara saat ini memang memprihatinkan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN-P) 2017 pun sekarang menjadi sorotan publik, terutama peningkatan defisit anggaran yang melesat meningkat dari 2,41% menjadi 2,92% dari produk domestik bruto (PDB). Belum lagi, total utang pemerintah dalam APBN-P 2017 juga bertambah 20% menjadi Rp461,34 triliun atau 28% dari PDB. Pelebaran utang ini tentu saja terkait erat dengan tren peningkatan defisit, yang bermuara dari agresivitas pemerintah membangun infrasrtruktur di tengah ruang fiskal yang sempit.

Peningkatan defisit APBN tersebut tentu saja hampir menyentuh batas aturan, dimana dalam  Undang-Undang No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 12 Ayat (3), defisit harus dijaga eksistensinya tidak melampaui batas 3% dari PDB. Artinya, jika defisit melampaui 3%, Pemerintah RI bisa dianggap melangar UU.

Menkeu Sri Mulyani Indrawati sendiri mengakui, defisit anggaran saat ini memang naik di level 2,92%, patut diwaspadai. Sebab, dalam APBN 2017 nilainya setara Rp397,2 triliun. Di ketahui, belanja negara ditetapkan Rp2.133,3 triliun sedangkan total pendapatan negara Rp1.736,1 triliun. “Angka ini adalah angka yang perlu kita waspadai dan pemerintah sadar bahwa ini perlu dikendalikan,” ujarnya, belum lama ini.

Menkeu mengaku pihaknya sudah mengkomunikasikan terutama kepada semua stakeholder yang memiliki kepentingan terhadap outlook dari APBN. Dilihat dari track record baik dari sisi belanja kementerian dan lembaga maupun di daerah. Dia mengaku bisa meyakinkan bahwa defisit masih bisa dikurangi atau dikendalikan di level 2,67%.

Jika melihat rekam jejak penyerapan dan belanja dari seluruh kementerian/lembaga (K/L) maupun pemerintah daerah (pemda), Menkeu optimistis di kisaran rata-rata 95% hingga 97%. Sehingga, defisit anggaran bisa ditekan pada level 2,67% di akhir tahun ini. Ini memang wajar jika Menkeu harus berbicara demikian. Tapi tingginya ambisi membangun infrastruktur walapun dengan dalih yang benar, hanya saja dalam kondisi fiskal yang serba terbatas, menjadi krusial akhirnya.

Tengok saja pada APBN 2017, belanja infrastruktur meningkat signifikan mencapai 123,4% dari tahun sebelumnya menjadi Rp387,3 triliun (18,01% dari PDB). Kemudian diikuti peningkatan belanja kesehatan 83,2% menjadi Rp104 triliun (4,87%), setelah itu diikuti pertumbuhan belanja pendidikan 27,4% menjadi Rp416,1 triliun (19,5%). Sementara subsidi energi ditekan hingga 66,2% menjadi Rp77,3 triliun (3,62%).

Menurut Sri Mulyani,  sekarang terdapat sedikitnya ada 245 proyek nasional yang sedang dalam perencanaan dalam lima tahun ke depan. Dibutuhkan US$500 miliar investasi yang disediakan pemerintah untuk dilaksanakan bersama-sama BUMN dan swasta. Untuk itu, pendanaan infrastruktur Indonesia dalam lima tahun ditargetkan sebesar Rp4.796, 2 triliun. Dari jumlah tersebut, APBN hanya sanggup membiayai Rp1.433,6 triliun (29,88%), sementara APBD sebesar Rp545 triliun (22,37%).

Sedangkan BUMN diperkirakan dapat menutupi  hingga Rp1.066,2 triliun (22,23%). Sisanya Rp1.751,4 triliun (36,52%) diharapkan kontribusi dari swasta. “Infrastruktur yang kita bangun bukan untuk kemewahan, tapi untuk memenuhi kebutuhan bangsa ini agar dapat berkompetisi dengan negara lain, agar ekonomi rakyat bisa berputar lebih cepat,” ujarnya.

Namun jika kita melihat kapasitas APBN dengan jumlah proyek infrastruktur yang ambisius tersebut, bukankah ini pertanda pemerintah tetap berkehendak memaksakan kehendak untuk sesuatu yang diluar kemampuannya? Jangan sampai nanti pemeo “besar pasak daripada tiang” menjadi kenyataan dalam pengelolaan keuangan negara kita.

Sebenarnya niat baik Presiden Jokowi baik menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur agar ekonomi rakyat terangkat, patut kita apresiasi tinggi. Namun banyaknya proyek infrastruktur yang direncanakan terlalu besar, sementara pada saat yang sama kapasitas anggaran negara sangat terbatas, seharusnya para menteri ekonomi dapat melakukan reschedule program prioritas pembangunannya. Apakah kita tetap mengandalkan pinjaman Bank Dunia dengan risiko dan konsekuensinya di kemudian hari?

 

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…