"SPJ" dan Bermacam Salah Kaprahnya

Oleh: Unggul Budi Susilo, Staf Ditjen Perbendaharaan Kemenkeu *)

Pada salah satu event nasional yang bertajuk “Rakernas Akuntansi” yang diselenggarakan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) belum lama ini, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa selama ini birokrasi terlalu dibebani dengan “SPJ” (Surat Pertanggungjawaban). Bahkan, tambah beliau, seringkali PNS di berbagai instansi tidak fokus lagi mengerjakan tugas dan fungsi utamanya karena dibebani dengan tugas menyusun pelaporan dan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara yang secara awam dikenal dengan istilah SPJ tersebut. Untuk itu beliau berpesan agar pemerintah bisa melakukan evaluasi, sehingga diharapkan ke depan SPJ tersebut tidak lagi terlalu menyita konsentrasi birokrasi serta agar lebih bisa berorientasi pada hasil dan kinerja.

Secara garis besar, penulis sangat setuju dengan pernyataan yang disampaikan oleh Presiden tersebut. Oleh karenanya, pada tulisan ini, penulis akan mendeskripsikan bagaimana salah kaprah yang terjadi terkait dengan hal-hal “per-SPJ-an” di Indonesia. Bukan itu saja, dalam tulisan ini juga akan diulas kebijakan-kebijakan yang diambil oleh beberapa policy maker untuk menyikapi arahan Presiden tersebut yang menurut hemat penulis juga sedikit salah kaprah.

Sebenarnya dalam segi akuntabilitas, pengelolaan keuangan negara di Indonesia sudah mengalami perkembangan bila dibandingkan dengan situasi sebelum era reformasi. Saat ini proses pengelolaan keuangan negara mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pelaporan sampai dengan pertanggungjawaban anggaran sudah diatur dengan sangat detil. Tidak seperti di era orde baru yang terkesan serampangan dan tidak diperlukan adanya pertanggungjawaban.

Namun demikian, proses penyempurnaan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara tersebut seolah-olah berhenti lama pada tataran itu saja. Dalam jangka waktu yang cukup lama, akuntabilitas pengelolaan keuangan negara yang dipraktekkan di Indonesia terlihat stagnan dengan lebih menitikberatkan pada “due process” dan “compliance” daripada kinerja, hasil ataupun manfaat yang dicapai. Kondisi yang demikian memang merupakan kondisi yang ideal ketika dunia pemerintahan masih menerapkan fase Public Administration.

Ketika menitikberatkan pada due process maka menurut Maesschalck (2003) fokus utamanya adalah bagaimana menciptakan suatu pengelolaan dimana dipastikan seluruh tahapan atau proses kesemuanya tertuang dalam regulasi. Akuntabilitas pada pendekatan ini lebih dititikberatkan pada apakah semua tahapan atau proses sudah dilaksanakan dan apakah pelaksanaan tahapan dan prosesnya sudah sesuai dengan yang ditentukan dalam regulasi.

Seiring dengan perkembangan pengelolaan pemerintahan, dimana kebanyakan pemerintah di dunia dewasa ini beralih kepada fase Public Management, maka pola akuntabilitas yang semacam itu seharusnya menjadi tidak relevan lagi. Terkait dengan hal ini Quirk (1997) mengungkapkan bahwa akuntabilitas seharusnya tidak hanya dititikberatkan untuk bisa menjawab pertanyaan “Apakah sudah dikelola secara benar sesuai peraturan?” Melainkan harus lebih dititikberatkan untuk bisa menjawab pertanyaan “Apakah suatu program itu perlu?” dan “Apakah output dan outcome yang ditargetkan sudah tercapai?”.

Bahkan, dalam tingkatan yang lebih advance, maka akuntabilitas dituntut untuk bisa fokus dalam tiga hal yang dikenal dengan istilah 3Ps yaitu People, Planet and Profit (Slaper & Hall, 2011). Pada pendekatan ini, akuntabilitas tidak hanya diukur pada kemanfaatan secara ekonomi semata, melainkan juga harus dapat dipastikan bahwa suatu program tersebut harus akuntabel terhadap kualitas lingkungan dan juga akuntabel terhadap keadilan sosial. Akuntabilitas yang semacam ini dikenal luas dengan istilah “triple bottom line”. Tetapi, tentunya untuk saat ini di Indonesia akan sangat sulit untuk mencapai tingkatan akuntabilitas yang demikian.

Orientasi Akuntabilitas

Terkait dengan tindak lanjut, seketika arahan Presiden disampaikan, seketika itu pula para pembuat kebijakan berusaha untuk menindaklanjutinya. Tetapi sayangnya, beberapa tindak lanjut yang diambil justru mengarah kepada salah kaprah. Hal pertama yang perlu disorot yaitu adanya kesan bahwa satu-satunya pihak yang bertanggungjawab dan harus melakukan upaya untuk perbaikan sistem akuntabilitas tersebut adalah Kementerian Keuangan. Padahal, perubahan orientasi akuntabilitas sebagaimana diuraikan di atas merupakan rangkaian dari berbagai macam proses. Mulai dari sistem hukum administrasi, perencanaan, pengadaan, audit, pertanggungjawaban bahkan sampai pada penegakan hukum. Akan sangat naif ketika nanti pengelolaan keuangan sudah diarahkan untuk berorientasi pada kinerja, hasil dan manfaat, tetapi di sisi lain aparat pemeriksa orientasinya masih pada due process dan compliance. Oleh karenanya, alih-alih hanya di pundak Kemenkeu saja, isu ini seharusnya digarap secara sinergi dengan melibatkan seluruh lini yang terkait dengan isu akuntabilitas, dari hulu sampai hilir.

Hal kedua yang perlu disorot adalah, adanya kesan pengkerdilan/pembelokan isu dari isu utama yang cukup besar menjadi sesuatu yang begitu teknis. Dalam beberapa kesempatan, penulis menangkap kesan bahwa arahan presiden dinterpretasikan oleh pembuat kebijakan hanya ditujukan pada permasalahan yang muncul dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban Bantuan Pemerintah dan Bantuan Sosial saja. Padahal menurut hemat penulis, perbaikan orientasi akuntabilitas yang dibutuhkan oleh bangsa ini seharusnya bisa menyeluruh untuk seluruh rangkaian pengelolaan keuangan negara, tidak terbatas pada salah satu bagian kecil saja seperti Bantuan Pemerintah atau Bantuan Sosial. Karena memang sejak bergulirnya reformasi birokrasi keuangan di Indonesia dengan penerapan bermacam-macam fiturnya, maka bangsa ini sudah memasuki fase Public Management. Sehingga pola dan orientasi akuntabilitas yang ada saat ini tentunya menjadi kurang relevan lagi untuk dijadikan terapan.

Selanjutnya, hal lain yang perlu juga untuk disorot adalah terkait dengan kurang tuntasnya tindak lanjut. Berdasarkan pengamatan penulis, diskusi-diskusi yang berkembang dalam menindaklanjuti arahan presiden tersebut, baik di media ataupun forum-forum diskusi kebanyakan terjebak hanya sampai pada “Bagaimana membuat SPJ menjadi lebih sederhana?”. Belum pernah terdengar adanya diskusi yang membahas terkait “Bagaimana caranya agar pertanggungjawaban dan pelaporan tersebut bisa lebih menggambarkan/menyajikan akuntabilitas secara kinerja, hasil dan manfaat atas suatu program/kegiatan?” atau “Bagaimamana caranya agar audit bisa lebih dititikberatkan pada kinerja, hasil dan manfaat dari pada semata-mata hanya fokus ke compliance?” Oleh karenanya, kembali lagi diskusi yang diselenggarakan hanya berkutat pada segi administratif belaka dan akhirnya kurang efektif untuk mewujudkan tujuan besar yang dicita-citakan.

Cara Mengatasinya

Untuk itu, menurut penulis terdapat beberapa hal yang urgen untuk dilakukan guna mengatasi kondisi yang demikian. Pertama tentunya semua pihak harus mulai open mind dengan adanya shifting orientasi akuntabilitas dari yang semula menitikberatkan hanya pada due process dan compliance menjadi lebih menitikberatkan pada kinerja, hasil dan manfaat. Selanjutnya diperlukan sinergi dan peran serta dari seluruh lini yang terlibat pada seluruh rangkaian pengelolaan keuangan negara dari hulu sampai dengan hilir (dan tidak dibebankan pada pundak Kementerian Keauangan saja) untuk bisa merealisasikan perubahan orientasi akuntabilitas tersebut. Terakhir perlu dikaji ulang seluruh tindak lanjut yang sudah diambil. Dipikirkan kembali apakah tindak lanjut yang diambil sudah sejalan dengan tujuan besar yang dicita-citakan atau malah hanya menjadi sesuatu yang mengarah pada pengkerdilan isu dan menghasilkan kebijakan yang kurang tuntas. (www.kemenkeu.go.id)  *)Tulisan ini adalah pendapat pribadi

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…