BIAYA "TOP-UP" BEBAN BERAT MASYARAKAT - Ombudsman Akan Panggil BI

Jakarta-Ombudsman RI berencana memanggil pihak Bank Indonesia terkait rencana penerbitan aturan biaya isi ulang uang elektronik yang tengah hangat diperbincangkan publik.  Ini sebagai respon keluhan masyarakat termasuk dari pengacara David L. Tobing yang langsung melaporkannya kepada Ombudsman. Berbagai elemen masyarakat memang merasa keberatan jika pihak BI jadi menerbitkan aturan kontroversial tersebut.  

NERACA

Menurut anggota Ombudsman RI bidang Ekonomi 1 Dadan Suharman Wijaya, pihaknya akan melakukan penelaahan dan pendalaman materi pelaporan terlebih dahulu. "Setelah telaah dan pendalaman, kita bisa minta klarifikasi kepada pihak baik undangan atau panggilan atas isu ini, karena ini jadi hal yang kepedulian publik juga. Tentu kita akan melihat ini dari berbagai sudut, baik sudut konsumen, perbankan, dan regulasi keuangan," ujarnya kepada wartawan di kantornya, Senin (18/9).

Dalam pemanggilannya ini, Ombudsman juga akan memperdalam mengenai mengapa perbankan mendapat hak atas biaya isi ulang uang elektronik dan keuntungan apa yang didapatkan konsumen jika kebijakan itu dijalankan.

Tidak hanya itu, dari sisi konsumen, Ombudsman juga akan mempelajari mekanisme bisnis antara perbankan dengan provider uang elektronik. Dalam pelaporan yang dilakukan David, menurut Dadan, seharusnya biaya bisnis tidak dibebankan ke konsumen, seharusnya itu sudah menjadi risiko perbankan. "Kalau untuk penelaahan kita punya waktu 14 hari kerja, kemudian kalau itu bisa kita tindaklanjnuti, maka kita ada waktu 30 hari untuk memanggil beberapa pihak terkait," tegas dia.

Dadan mengatakan, biasanya dari hasil laporan yang diterima dan ditindaklanjuti, pihak terlapor langsung melakukan penyesuaian berbagai hal terkait materi yang dilaporkan. Jika itu dilakukan, maka kasus tersebut akan dihentikan. "Namun kalau nanti ujungnya sampai kita mengeluarkan rekomendasi, itu sifatnya sudah mengikat, harus dijalankan," ujarnya.

Sebelumnya pengacara David L Tobing melaporkan Bank Indonesia (BI) ke Ombudsman terkait rencana pembuatan aturan perihal penarikan biaya pada uang elektronik (e-money). Dia menilai, rencana kebijakan BI tersebut diduga maladministrasi yang mencerminkan keberpihakan pada pengusaha serta pelanggaran terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.

"Ini kami duga merupakan tindakan maladministrasi yang hanya menguntungkan satu pihak dalam hal ini perbankan. Ini berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan diskriminasi bagi konsumen," kata David di Jakarta, kemarin.

Dia mengatakan, penerapan bisnis e-money tersebut seharusnya dibuat dengan prinsip bisnis dengan perusahaan provider tanpa melibatkan konsumen. Selama ini, perbankan dinilai sudah mendapat keuntungan dari menjual kartu e-money tersebut.

Memang, dia mengakui, ada biaya maintenance dan investasi beberapa teknologi terkait penerapan e-money. "Tapi itu konsekuensi, itu modal perbankan, kalau tidak punya uang ya tidak usah buat e-money," tegas dia.

Untuk itu, dia meminta kepada Ombudsman memberikan rekomendasi kepada BI selaku terlapor, untuk membatalkan pengenaan biaya untuk isi ulang e-money.

BI beralasan kebijakan tersebut ditempuh untuk memberi insentif bagi lembaga keuangan untuk mengembangkan uang elektronik dan meningkatkan pelayanan bagi masyarakat. Tercatat saat ini sekitar 25 perusahaan yang menerbitkan uang elektronik di Indonesia, 11 diantaranya perbankan. Hingga Juli 2017 tercatat 69,5 juta uang elektronik dan 455.227 mesin reader e-money yang beredar.

Menurut data perbankan, hingga semester I-2017 jumlah uang elektronik (e-money) milik Bank Mandiri tercatat 9,5 juta. TapCash BNI sebanyak 1,5 juta kartu. Brizzi BRI sebanyak 6,6 juta user, dan Flazz BCA tercatat sekitar 10 juta kartu. Jika ditotal dari empat bank tersebut saja jumlah kartu e-Money tercatat 27,6 juta kartu. Di luar itu masih ada kartu uang elektronik milik Bank Mega, Bank DKI, Bank BTN dan lembaga keuangan lainnya. Sehingga total sekitar 30 juta kartu prabayar yang sudah diterbitkan oleh 11 bank.

Harga jual kartu uang elektronik saat ini di kisaran rata-rata Rp 50.000 dengan pulsa siap dimanfaatkan oleh konsumen Rp 30.000, maka diperoleh saldo kartu yang mengendap di perbankan minimal Rp 20.000 dikalikan dengan 30 juta kartu, bank akan meraup pendapatan kotor minimal Rp 600 miliar dari penjualan kartu elektronik.

Jika biaya isi ulang dikenakan Rp 2.000 per transaksi dan pengguna melakukan isi ulang sebulan sekali, penghasilan yang dapat diperoleh bank senilai Rp 720 miliar (12 bulan x Rp 2.000 X 30 juta kartu). Kalau diasumsikan pengguna melakukan isi ulang seminggu sekali, penghasilan yang dapat diperoleh bank melonjak menjadi Rp 3,12 triliun (52 minggu x Rp 2.000 X 30 juta kartu).

Selain itu, pihak bank sama sekali tidak memberikan bunga atas saldo dana yang mengendap di kartu e-money. Bila diasumsikan saldo rata-rata kartu prabayar senilai Rp 50.000, bank dapat memperoleh fresh money Rp 1,5 triliun tanpa kompensasi membayar bunga. Kalau diinvestasikan dalam instrumen keuangan dengan imbal hasil minimal senilai suku bunga acuan BI 4,5%, pihak bank bisa mendapat tambahan keuntungan setara Rp 67,5 miliar, yang tidak perlu repot seperti halnya dalam penyaluran kredit.

Bertentangan Gerakan Non Tunai

Sebelumnya Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi secara tegas meminta BI untuk tidak merestui usulan perbankan tersebut. Saat ini Bank Indonesia tengah menggalakkan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT). Salah satu upaya dalam peningkatan keamanan dan pelayanan transaksi ini adalah dengan menggunakan e-money.

"Namun, menjadi kontra produktif jika Bank Indonesia (BI) justru mengeluarkan peraturan bahwa konsumen dikenakan biaya top up pada setiap uang elektroniknya, e-money. Secara filosofis, apa yang dilakukan BI justru bertentangan dengan upaya mewujudkan cashless society tersebut," ujarnya seperti dikutip laman Liputan6.com, akhir pekan lalu.

Dengan adanya pengenaan biaya top up ini, maka perbankan lebih diuntungkan daripada konsumen. Sesuai konsep, maka perbankan akan mendapat setoran uang dari konsumen, padahal belum tentu konsumen sebagai pemilik e-money melakukan transaksi.

"Sungguh tidak fair dan tidak pantas jika konsumen justru diberikan disinsentif berupa biaya top up. Justru dengan model e-money itulah konsumen layak mendapatkan insentif, bukan disinsentif," tutur Tulus.

Dia juga menyarankan, seharusnya perbankan tidak menjadikan e-money sebagai basis mendapatkan keuntungan. Selama ini, pengguna e-money adalah masyarakat menegah ke bawah. Jelas hal ini akan membebani.

Seharusnya, menurut dia, perbankan lebih mengandalkan dana pihak ketiga (DPK) yang disalurkan dalam bentuk loan, sebagai sumber mencari keuntungan. "YLKI mendesak Bank Indonesia untuk membatalkan peraturan tersebut," ujar Tulus.

Peneliti Indef Bhima Yudhistira pun mengaku tidak sepantasnya perbankan menjadikan bisnis e-money ini sebagai ladang mencari keuntungan. "Bisnis e-money sendiri bagi bank sudah sangat menguntungkan. Saat pelanggan membeli kartu e-money, di situ ada biaya yang dibebankan ke pelanggan. Misalnya dari awal kan masyarakat sudah bayar kartu e-money. Kita beli Rp 20 ribu e-money, saldo cuma dapet Rp 10 ribu. Uang hasil penjualan kartu sebenarnya tercatat sebagai fee based income bank," ujarnya.

Menurut dia, pada 2016 nilai transaksi e-money mencapai Rp 7 triliun. Dengan mengasumsikan fee based income sebesar 5%, bank penerbit e-money sudah meraup untung Rp 350 miliar. "Harusnya dengan keuntungan sebesar itu tidak perlu lagi memungut fee top up, meskipun hanya Rp 1.000 sekali transaksi top up karena dinilai memberatkan konsumen," ujarnya.

Mantan Country Director TrueMoney Joedi Wisoeda menilai, rencana adanya biaya isi ulang untuk uang elektronik dapat menghambat cashless society. BI seharusnya makin mempermudah dan mendukung percepatan cashless society dengan melalui tahap less cash society.

Dia mengatakan, saat ini pengguna e-money hampir 90% dari golongan bankable atau punya akses ke perbankan. Bila dikenakan biaya isi ulang untuk uang elektronik, menurut dia, dapat membuat uang elektronik menjadi kurang menarik bagi masyarakat yang unbankable.

"Ini pun jauh juga dari rencana awal dibuatnya e-money yang dibuat untuk menyasar teman-teman yang unbankable. Jadi sebetulnya jika BI membuat tujuannya untuk menekan angka pencucian uang atau apapun rasanya kurang tepat. Masih banyak cara lain yang bisa ditempuh," ujarnya. bari/mohar/fba

 

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…