Kompleksnya Krisis Rohingya

 

Oleh : Toni Ervianto, Alumnus Pasca Sarjana Universitas Indonesia (UI)

Keberadaan Rohingya di Arakan atau Rakhine State, Myanmar memiliki sejarah yang panjang, termasuk kronologis konflik yang terus menerus. Tahun 957 Masehi, Arakan dihuni oleh satu ras Dravida. Pendudukan Mongolia dicatat telah menggulingkan Dinasti Indic Versali yang berkuasa. Tahun 1430-1784 Kerajan Arakan didirikan oleh Min Saw Mum di Mrauk U. Raja-raja Budhis Arakan menggunakan gelar muslim. Tahun 1784 orang Burma dibawah Bodawpaya menyerbu Arakan dan menguasai wilayah tersebut. Tahun 1826 Burma menyerahkan Arakan kepada Inggris. Tahun 1886 Arakan digabungkan ke dalam Burma-Inggris. Tahun 1937 Kolonial Inggris menduduki Provinsi Arakan dengan kekerasan dan menggabungkannya dengan Burma. Tahun 1948, Myanmar memperoleh kemerdekaan pada Januari 1948 dengan Arakan sebagai bagian wilayahnya. Tahun 1962, Komunitas Rohingya diakui sebagai etnis asli dari Myanmar dan mempunyai perwakilan di parlemen. Tahun 1982, terbit UU Kewarganegaraan yang mengeluarkan Rohingya dari beberapa etnis minoritas lain seperti Panthay, Ba Shu dan enam etnis lain dari daftar 8 etnis utama. Tahun 1998, lebih dari 150.000 warga Rohingya mengungsi ke luar negeri karena wilayah desa mereka akan dibangun. Tahun 2012 sampai 2017, rangkaian krisis Rohingya terus berlangsung. Ratusan ribu warga Rohingya menguasai dalam berbagai krisis peperangan dan ratusan warga Rohingya tewas akibat krisis ini (Kompas, 6 September 2017).

Dengan dalih membela warga Rohingya, sejak 3 tahun yang lalu dibentuk Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) dipimpin Ataullah Abu Ammar Jununi. Dalam sebuah pernyataan video 15 Agustus 2017, Ataullah Abu Ammar Jununi, memperjelas bahwa ARSA didirikan hanya sebagai tanggapan atas pelanggaran pemerintah dan paramiliter terhadap masyarakat Rohingya. Tujuan utama kami dibawah ARSA adalah untuk membebaskan orang-orang kita dari penindasan yang tidak manusiawi yang dilakukan oleh semua rezim Burma secara berturut-turut. Keberadaan kelompok ini membuat krisis Rohingya menjadi benang kusut yang sulit dicarikan solusinya.

Upaya pemerintah Myanmar dalam rangka memerangi kelompok gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) disesalkan oleh berbagai kalangan karena disinyalir diikuti dengan kekerasan dan tindakan brutal yang dilakukan militer setempat, dimana jelas ada perbedaan dalam jumlah korban antara versi pemerintah dengan versi pemantau HAM dan aktivis. Berdasarkan data resmi yang diakui pemerintah Myanmar menyebutkan hampir 400 orang tewas dalam konflik berdarah di Rakhine selama seminggu terakhir. Jumlah korban termasuk warga Muslim Rohingya ini merupakan data resmi yang diakui pemerintah Myanmar. Sementara, dikutip Associated Press, Aung San Suu Kyi, penerima Nobel Perdamaian dalam pernyataannya mengatakan angka kematian akibat kekerasan di Rakhine sejak Kamis (29/8/2017) hanya 96 orang, 12 di antaranya aparat keamanan.

Berbeda dengan “suara pemerintah Myanmar”, para aktivis setempat menyebutnya sebagai pembantaian besar-besaran. Pembantaian terhadap sekitar 130 orang, termasuk wanita dan anak-anak Rohingya terjadi di Desa Chut Pyin, dekat Kota Rathedaung, Myanmar barat. Pembantaian massal itu dilaporkan ABC Jumat (1/9/2017) dengan mengutip dua sumber terpisah. ”Sejauh ini laporan enurut saya cukup kredibel menyebutkan sekitar 130 orang termasuk wanita dan anak-anak terbunuh,” kata Chris Lewa, Direktur The Arakan Project, lembaga kemanusiaan yang bekerja dengan komunitas Rohingya.

Ancaman Genosida

 

Menurut Ketua organisasi pemerhati Hak Asasi Manusia Setara Institute, Hendardi, krisis Rohingya adalah tragedi kemanusiaan yang secara etis dan politik menuntut dunia internasional untuk melakukan intervensi kemanusiaan. Hendardi mengatakan negara-negara ASEAN tidak bisa berlindung di balik prinsip menghormati kedaulatan Myanmar atas tragedi yang dia sebut sebagai "ancaman genosida" ini.

"Karena genosida merupakan salah satu kejahatan internasional yang termasuk kompetensi absolut International Criminal Court (ICC) dengan yurisdiksi internasional. Atas nama kemanusiaan, pemerintah Indonesia harus menjadi pelopor penanganan Rohingya." tambahnya.

Seperti diketahui bahwa genosida atau genosid adalah sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud memusnahkan (membuat punah) bangsa tersebut. Istilah genocida diperkenalkan seorang ahli hukum Polandia, Raphael Lemkin, pada tahun 1944 dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe yang diterbitkan di Amerika Serikat. Genosida merupakan satu dari empat pelanggaran HAM berat yang berada dalam yurisdiksi International Criminal Court.  

Menurut Statuta Roma dan Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM seperti dikutip dalam Institute for War and Peace Reporting, Tribunal Update: Briefly Noted (TU No 398, 18-Mar-05), genosida ialah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya; melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok; memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain.

            Krisis Rohingya sebenarnya hanyalah “proxy war” atau “geopolitical tug of war” karena Rohingya bukan sekedar masalah “an ethnic cleansing” namun juga ada kemungkinan manifestasi perebutan ladang-ladang minyak oleh sejumlah major powers, hal ini disebabkan karena wilayah Rakhine State (yang luasnya kira-kira sama dengan satu kecamatan di Indonesia) menurut laporan Departemen Perdagangan dan Investasi Inggris (United Kingdom Trade and Investment/UKTI) memiliki kandungan minyak senilai 3,2 juta barel dan cadangan LNG yang sangat besar, sehingga tidak salah jika demi penguasaan jalur heartland dan minyak, maka etnis Rohingya harus diusir karena wilayahnya akan dijadikan “parallel gas pipeline” dan industri “Deep Sea Port”.

            GP Ansor dalam pernyataan sikapnya menilai tragedi Rohingya merupakan konflik geopolitik, khususnya  pertarungan kuasa dan kekuasaan di daerah Arakan-Rakhine dengan dugaan kuat didasarkan pada perebutan paksa tanah dan sumber daya, khususnya minyak dan gas di wilayah sekitar seperti pertama, pipa minyak mulai beroperasi 1 Desember 2013 dengan kapasitas 400 ribu barrel per hari dari Kyauk Phyu ke perbatasan Cina sepanjang 803 Km yang dikelola konsorsium bersama dengan komposisi kepemilikan saham 50,9% CNPC (Cina), 25,04% Daewoo International (Korea), 8,35% ONGC (India), 7,37% MOGE (Myanmar), 4,17% GAIL (India) dan 4,17% investor lainnya. Kedua, pipa gas mulai beroperasi 1 Juli 2013 dengan kapasitas 193,6 juta kubik kaki per hari dari Shwe ke Kyauk Phyu sepanjang 110 Km yang dikelola oleh konsorsium bersama dengan komposisi kepemilikan saham 51% Daewoo International (Korea), ONGC (India), MOGE (Myanmar), GAIL (India), KOGAS (Korea), Woodside Petroleum (Australia), CNPC (Cina), Shell (Belanda/Inggris), Petronas (Malaysia), MEOCO (Jepang), Statoil (Norwegia), Ophir Energy (Inggris), Chevron (AS), PTTEP (Thailand) dan lain-lain.

Peranan minyak dan gas dibalik konflik geopolitik internasional sudah pernah dikemukakan Guildford (1973) yang menarik, bahwa bila berbicara masalah dunia perminyakan maka nuansa politiknya sebesar 90%  sedang sisa 10% berbicara tentang minyak itu sendiri. Georges Clemencau, komandan pasukannya Napoleon Bonapate dalam Perang Dunia/PD I (1914-1918) menyatakan, “Setetes minyak berharga sama seperti setetes darah dari prajurit kita. Minyak sama-sama diperlukan seperti darah”. Dirgo D. Purbo, pakar perminyakan Indonesia memberi sinyal, bahwa di balik pertempuran-pertempuran besar, di belakang sengketa antar negara, di balik rebutan kekuasaan dan kudeta, di balik dukungan diam-diam kepada tentara pemberontak, serta di latar penyerbuan terang-terangan negara adidaya, ternyata minyak salah satu faktor penting dan penentu yang dapat mengubah wajah dunia.

Buku berjudul The Geopolitics of Superpower-nya Colin S. Gray mengawali kajian “kapling-kapling dunia” berbasis geostrategi dalam politik global. Bermula abad ke 19 muncul Sir Halford Mackinder dari Inggris yang mengklasifikasikan dunia menjadi empat kawasan. Kawasan pertama Heartland atau World Island: mencakup Asia Tengah dan Timur Tengah (World Island); kawasan kedua disebut Marginal Lands: mencakup kawasan Eropa Barat, Asia Selatan, sebagian Asia Tenggara dan sebagian besar daratan Cina; kawasan ketiga dinamai Desert adalah wilayah Afrika Utara, dan kawasan terakhir adalah Island or Outer Continents: meliputi Benua Amerika, Afrika Selatan, Asia Tenggara dan Australia.

Di awal tesisnya, Mackinder sudah mengatakan bahwa siapa negara menguasai Heartland (Timur Tengah dan Asia Tengah) yang memiliki kandungan sumberdaya alam dan aneka ragam mineral, maka bakal menuju arah “Global Imperium”. Masih di buku yang sama, teori Nicholas Spyman, ilmuwan geopolitik AS berbeda asumsi dengan Mackinder tetapi ada kesamaan soal penguasaan wilayah Heartland. Ia mengatakan: “Who rules the World Island commands the World“. Memang teori Spyman berbeda pada proses namun ujungnya tetap merujuk ke Timur Tengah dan Asia Tengah.

            Inilah yang harus dipahami dari kasus Rohingya, sehingga langkah dan peran yang dimainkan Indonesia untuk mencari solusi damai, memberi bantuan obat dan makanan serta membangun sekolah dan rumah sakit adalah langkah cerdas, untuk meminimalisir dampak “geopolitical spat spill over” dibalik kasus Rohingya ini.

 

BERITA TERKAIT

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…

BERITA LAINNYA DI Opini

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…