Politisasi (Lagi) Pemilihan Direksi dan Komisaris BUMN

Oleh: Eko B. Supriyanto, Pengamat Perbankan

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masih tetap menjadi rebutan. Siapa saja sepertinya boleh memiliki yang namanya BUMN ini. Tidak hanya pemerintah, partai politik, dan sudah tentu DPR, bahkan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Cerita menarik memang perseteruan antara partai utama penyokong pemerintah (PDI-P) dan Menteri Negara BUMN (Menneg BUMN), Rini Soemarno. Sudah lebih dari tiga tahun dibiarkan liar dan Presiden sendiri pun tampak dari luar membiarkan. Rapat-rapat dengan Menneg BUMN tak pernah terjadi, bak kucing dengan anjing—tak pernah akur.

Bahkan, entah datang dari langit mana belakangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pun punya inisiatif untuk melakukan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Menurut DPR, revisi UU BUMN tak lain untuk memperbaiki tata kelola BUMN dan pengaturan BUMN sebagai perusahaan negara yang memiliki peran penting terhadap hajat hidup orang banyak.

Namun, banyak kalangan tidak percaya alasan DPR untuk merevisi UU BUMN itu. Bisa ditebak hak inisiatif merevisi UU BUMN ini adalah buntut dari tidak harmonisnya DPR RI Komisi VI dengan Rini Soemarno, Menneg BUMN. Lebih lagi, DPR ingin menguasai BUMN karena salah satu pasalnya ialah setiap komisaris utama (komut) dan direktur utama (dirut) harus diseleksi atau fit and proper test oleh DPR, seperti Gubernur Bank Indonesia (BI) dan deputinya atau Ketua dan Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK OJK) atau Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan lembaga tinggi lainnya.

Menurut salah seorang Anggota DPR RI Komisi VI yang menginisiasi revisi UU BUMN, pentingnya dirut dan komut BUMN diseleksi oleh anggota dewan, karena dewan ingin memastikan bahwa pengurus BUMN benar-benar orang yang tepat—punya kapabilitas dan punya kemampuan. Anggota dewan memandang pemilihan dirut dan komut BUMN oleh Menteri BUMN (pemerintah) dinilai masih kurang sehingga perlu diambil oleh DPR.

Akhir-akhir ini proses pemilihan direktur dan komisari BUMN hanya berdasarkan hitung-hitungan politik pemerintah. Direktur dan komisaris biasanya diisi oleh orang-orang dekat pemerintah yang memiliki andil dalam proses pemenangan seorang presiden.

Lihat saja di bank-bank BUMN banyak politisi yang duduk sebagai komisaris. Juga, di beberapa BUMN yang diisi oleh para relawan yang tidak semua punya kompetensi. Bahkan, diisi oleh orang kampus yang berpolitik dan mantan direksi yang ikut partai.

Pemilihan direksi BUMN masih tidak punya pola yang jelas. Ada direksi yang berhasil baik, seperti di Pertamina, tapi juga diganti. Sementara, yang tidak punya prestasi tetap dipertahankan. Bahkan, ada komisaris bank BUMN yang oleh kalangan bankir dijuluki komisaris abadi yang hanya tukar tempat dari BRI ke BNI lalu ke Bank Mandiri hanya karena ipar dari mantan ketua partai besar.

Itulah pasal penting yang akan dikoreksi dalam revisi UU BUMN ini, selain tentang pembentukan anak perusahaan yang juga harus lewat “Senayan”, termasuk dalam penyertaan modal negara (PMN). Pasal-pasal yang diajukan dalam revisi itu agar DPR lebih punya kuasa daripada pemerintah sendiri.

Saat ini BUMN sebenarnya dikelola secara korporasi. Banyak proyek yang dikerjakan sendiri oleh BUMN sehingga terkesan swasta tidak kebagian, seperti proyek-proyek infrastruktur. Bahkan, proyek ATM Merah Putih merupakan bagian dari upaya perebutan bisnis yang selama ini sudah dikerjakan oleh swasta.

Peran BUMN harusnya menjadi pelopor dalam membangun bisnis yang tidak dikerjakan oleh swasta. Namun, sekarang semangatnya adalah karena BUMN dimiliki oleh negara, maka pencapaian kinerja menjadi sangat penting. Perusahaan negara diwajibkan untuk memberi kontribusi keuntungan. Padahal, harusnya dibedakan mana perusahaan yang untuk agent of development dan mana yang harus dikejar untuk memperoleh keuntungan.

Pembentukan holding BUMN tidaklah mulus. Kasus holding perkebunan yang dinilai gagal juga menjadi trauma tersendiri. Sementara, holding bank yang janjinya Juli 2017 selesai, kini seperti tinggal cerita. Secara politik ini sulit sekali karena harus minta tanda tangan dari DPR dan tentu juga Menteri Keuangan RI.

Holding masih tarik-menarik. DPR masih sulit karena kalau jadi holding, yang dipanggil ke “Senayan” tentu hanya tujuh holding, misalnya. Sementara, BUMN-BUMN yang selama ini diminta oleh politisi untuk membuat program di daerah pemilihannya setelah adanya holding tentu tidak bisa dipanggil lagi.

Untuk itu, banyak harapan dibebankan kepada Presiden untuk dapat menengahi perseteruan antara DPR RI dan Menneg BUMN. Banyak yang bertanya-tanya, apa maunya Presiden, kok membiarkan masalah ini berlarut-larut.

Tentu Presiden juga dapat menghentikan inisiasi revisi UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Segera dihentikan, terutama mengenai kewajiban dirut dan komut BUMN untuk dilakukan fit & proper test oleh DPR RI. Kita tahu DPR adalah proses politik dan politik itu bukan soal kapabilitas, melainkan kompromi. Apalagi, pengelolaan BUMN adalah domain dari eksekutif dan bukan legislatif.

Jangan sampai BUMN dibiarkan terus menjadi sapi perah. Apa motif DPR RI hendak melakukan fit & proper test jika tidak punya motif “memeras”? Sementara, harapan dari Kantor Kementerian BUMN juga tidak sekadar balas budi dengan memasukkan orang-orang yang tidak punya kapabilitas, hanya menumpang makan di BUMN semata, karena BUMN itu kepanjangannya bukan “Badan Usaha Milik Nenek Moyang”, melainkan milik negara yang harus terus dijaga. (www.infobanknews.com)

 

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…