Tarif Cukai Tembakau Dinilai Tanpa Landasan Ilmiah

 

 

NERACA

 

Jakarta - Peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Indonesia Abdillah Ahsan mengatakan tarif cukai tembakau yang berlapis-lapis dan rumit, yang saat ini berlaku, tidak ada landasan ilmiahnya. "Tujuannya jelas untuk melindungi sebagian kecil perusahaan rokok dan menekan perusahaan rokok lainnya serta merugikan kesehatan masyarakat," kata Abdillah yang dihubungi di Jakarta, Rabu (30/8).

Ia mengatakan tarif cukai tembakau yang berlaku saat ini terdiri atas 12 lapisan, berdasarkan jenis rokok, yaitu sigaret kretek mesin, sigaret putih mesin, dan sigaret kretek tangan, serta golongan produksi industri rokok. Dengan berbagai lapisan tersebut, maka terdapat tarif terendah, yaitu Rp90 per batang dan tarif tertinggi, yaitu Rp555 per batang. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai mengatur tarif cukai maksimal 58 persen dari harga rokok per batang.

"Sistem cukai tembakau di Indonesia sangat aneh karena ada tarif maksimal. Menurut kajian di beberapa negara, tidak ada negara yang menetapkan tarif cukai tembakau maksimal," tuturnya. Selain itu, batas atas cukai tembakau juga lebih rendah daripada tarif cukai alkohol, yaitu 58 persen berbanding dengan 80 persen. Menurut Undang-Undang Cukai, barang yang dikenai cukai adalah tembakau, minuman beralkohol, dan etil alkohol.

"Sebagai instrumen pengendalian untuk melindungi kesehatan masyarakat, tarif cukai tembakau seharusnya ditinggikan dan disederhanakan. Cukup satu tarif untuk seluruh jenis rokok," katanya. Namun, bila tarif cukai tersebut disederhanakan, Abdillah menduga akan merugikan industri rokok besar. Oleh karena itu, ujarnya, penyederhanaan tarif cukai rokok sulit dilakukan karena bertentangan dengan kehendak industri besar.

"Yang aneh, seringkali yang protes dengan rencana kenaikan cukai adalah perusahaan rokok kecil yang memproduksi sigaret kretek tangan. Padahal, produksi mereka dikenai cukai yang paling rendah. Ibarat peribahasa Jawa, diberi hati masih minta ampela," tuturnya. Saat ini, produksi sigaret kretek tangan hanya 10 persen dari total produksi rokok yang diproduksi 400-an industri rokok kecil. Hal itu, katanya, jauh bila dibandingkan dengan sigaret kretek mesin yang produksinya besar dan dilakukan segelintir industri rokok besar.

 

BERITA TERKAIT

Pemerintah Pastikan Defisit APBN Dikelola dengan Baik

  NERACA Jakarta – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih terkelola dengan baik. “(Defisit)…

Kemenkeu : Fiskal dan Moneter Terus Bersinergi untuk Jaga Rupiah

  NERACA Jakarta – Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan kebijakan fiskal dan moneter terus disinergikan…

Kereta akan Menghubungkan Kawasan Inti IKN dengan Bandara Sepinggan

    NERACA Jakarta – Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) mengungkapkan kereta Bandara menghubungkan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan atau KIPP…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Pemerintah Pastikan Defisit APBN Dikelola dengan Baik

  NERACA Jakarta – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih terkelola dengan baik. “(Defisit)…

Kemenkeu : Fiskal dan Moneter Terus Bersinergi untuk Jaga Rupiah

  NERACA Jakarta – Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan kebijakan fiskal dan moneter terus disinergikan…

Kereta akan Menghubungkan Kawasan Inti IKN dengan Bandara Sepinggan

    NERACA Jakarta – Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) mengungkapkan kereta Bandara menghubungkan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan atau KIPP…