Kesejahteraan Menurun?

Di tengah kondisi perekonomian negara yang memprihatinkan saat ini, sebuah survei skor kesejahteraan yang diadakan oleh sebuah perusahaan asuransi asing mengungkapkan, kondisi perasaan sejahtera masyarakat Indonesia menurun. Ini dipicu oleh rasa khawatir terhadap kondisi finansial banyak keluarga Indonesia yang akhirnya berimplikasi pada faktor kesehatan, keluarga, pekerjaan, dan usaha.

 “Survei sangat penting bagi kami. Kami punya misi membantu masyarakat Indonesia untuk selalu meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, dan rasa aman. Lewat survei ini, kami mendapat masukan faktorfaktor apa saja yang bisa membuat manusia sejahtera,” ujar Presdir Cigna Indonesia Herlin Sutanto dalam jumpa pers hasil Survei Skor Kesejahteraan 3600 di Jakarta, Selasa (29/8). Survei ini merupakan kedua kalinya secara global, setelah yang pertama digelar pada 2015.

Tahun ini, survei digelar di 13 negara dengan melibatkan 14.000 responden dewasa. Survei dilakukan secara online selama 20 menit. Negara-negara yang disurvei, antara lain China, Hong Kong, India, Indonesia, Selandia Baru, Singapura, Korea Selatan, Spanyol, Taiwan, Thailand, Turki, Uni Emirat Arab (UEA), dan Britania Raya. Khusus Indonesia, responden berjumlah 1.007 orang dengan latar belakang beragam dan mewakili jumlah populasi.

Terungkap, skor kesehatan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia turun signifikan pada 2016. Namun, masih di batas rata-rata skor internasional. Dari 13 negara, Indonesia berada di posisi keenam dengan skor 62,8, sedikit di bawah UEA (63,1), lebih tinggi dibandingkan Britania Raya (60,8), Singapura (59,4), dan Hong Kong (58,6). Pada 2015, skor kesehatan dan kesejahteraan Indonesia 66,5.

Adapun skor seluruh aspek kesejahteraan di Indonesia menurun. Secara terperinci, pada 2016, skor aspek fisik 60,9; sosial 63,8; keluarga 65,7; finansial 55,2; dan pekerjaan 70,8. Sebelumnya pada 2015, skor aspek fisik 65,9; sosial 65,5; keluarga 74,2; finansial 55,4; dan pekerjaan 72,9. Ini dapat disimpulkan persepsi masyarakat Indonesia terhadap kesehatan dan kesejahteraan mereka turun cukup signifikan karena faktor finansial.

Kita cukup terkejut melihat fenomena seperti ini. Pasalnya, yang menjadi alasan utama mengapa mayoritas responden semakin tidak percaya diri dalam menjamin kesehatan dan kesejahteraan keluarga mereka. Survei itu memeparkan, hanya 24% responden yang bisa memenuhi kebutuhan kesehatan keluarga mereka dan hanya 21% yang bisa membantu kondisi keuangan orang tua mereka. Ini ironis sekali di negara yang berpenduduk 250 juta jiwa memiliki sumber daya alam yang melimpah itu, ternyata masih banyak warganya belum sejahtera saat ini.

Tidak hanya itu. Pertumbuhan ekonomi nasional yang ditargetkan di atas 5% ternyata tidak secara langsung memengaruhi kepercayaan masyarakat secara finansial. Ekonomi tumbuh, seharusnya dibarengi oleh kebutuhan finansial yang juga meningkat. Namun kenyataannya, kebutuhan kesehatan terus naik, jauh melampaui kenaikan inflasi, begitu juga kebutuhan finansial untuk pensiun dan pendidikan anak.

Salah satu penyebab tidak meratanya “kue” pembangunan di negeri ini, adalah masih banyaknya virus korupsi yang menggurita di kalangan sejumlah petinggi pemerintahan maupun kalangan swasta yang berkolaborasi membuka peluang terjadinya kasus korupsi makin marak di Indonesia.

Data KPK memperlihatkan setiap tahun ada saja pejabat di tingkat kementerian/lembaga negara bahkan di kalangan pemerintahan daerah (Pemda), yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT). Para pelaku tindak pidana korupsi seolah tidak takut dan tidak jera menerima hukuman badan yang terasa masih ringan. Nah, akibatnya pasti masyarakat menderita kerugian besar dari pelayanan birokrasi yang sudah tidak lagi menyadari pentingnya integritas sebagai abdi negara dan pelayan masyarakat.

Namun, survei itu masih memperlihatkan rasa optimisme sebagian masyarakat Indonesia yang terlihat jumlah responden sekitar 32%. Sementara, pada tahun 2016, ada 63% responden yang yakin mereka bisa menjamin kesehatan dan kesejahteraan anak-anak mereka, menurun jumlahnya menjadi 44% responden pada tahun ini.

Jelas, meski jumlah masyarakat usia produktif di Indonesia saat ini cukup besar, hal ini belum tentu menjamin tingkat kesejahteraannya terus meningkat seiring dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ini menjadi tantangan pemerintah menghadapi masa depan bangsa yang makin kompleks di tengah guncangan problem ekonomi global yang sulit diprediksi setiap waktu. 

BERITA TERKAIT

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

Persatuan dan Kesatuan

Pasca Pemilihan umum (Pemilu) 2024, penting bagi kita semua untuk memahami dan menjaga persatuan serta kesatuan sebagai pondasi utama kestabilan…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

Persatuan dan Kesatuan

Pasca Pemilihan umum (Pemilu) 2024, penting bagi kita semua untuk memahami dan menjaga persatuan serta kesatuan sebagai pondasi utama kestabilan…