Waspadai Krisis Asia

Lembaga pemeringkat internasional Moodys pada Mei 2017 secara tidak terduga menurunkan peringkat utang China dari Aa3 menjadi A1. Ini merupakan penurunan pertama negeri Panda itu sejak 1989. Moodys memandang kemampuan keuangan Tiongkok dalam jangka panjang akan melemah seiring dengan terus meningkatnya utang dan turunnya potensi pertumbuhan ekonomi.

Memang secara fundamental, kita melihat penurunan peringkat China itu tidak berdampak signifikan, bahkan kondisi negara itu hingga sekarang masih berada dalam kelompok investment grade. Namun, penurunan rating ini setidaknya dapat menjadi early warning untuk jangka panjang, mengingat China merupakan mitra strategis bagi Indonesia.

Meski demikian, patut disadari bahwa rasio utang telah lama menjadi tolak ukur kesehatan perekonomian suatu negara. Seperti Basel for International Settlement (BIS) menggunakan rasio kredit terhadap produk domestik bruto (PDB) sebagai indikator peringatan dini untuk menilai risiko terjadinya krisis keuangan di sebuah negara.

Nah, apabila deviasi rasio tersebut terhadap tren jangka panjangnya di atas 15% dari PDB, risiko terjadinya krisis keuangan di negara tersebut dianggap tinggi. Semakin lama deviasi tersebut berlangsung, semakin tinggi pula risiko terjadinya krisis.

Bagaimanapun, deviasi rasio kredit terhadap PDB mampu memprediksi krisis keuangan yang telah terjadi sebelumnya, seperti bubble burst di Jepang 1989, krisis keuangan yang melanda negara-negara Asia Tenggara, seperti Thailand dan Indonesia pada 1997. Sementara persoalan kredit di China telah berlangsung relatif lama dan indikator early warning juga berada pada level yang mengkhawatirkan. Deviasi rasio kredit terhadap PDB China sejak 2013 telah berada di atas 15% dari PDB. Bahkan pada kuartal I-2016 mencapai 29%.

Namun, rasio tersebut saat ini terus menurun akibat kebijakan pemerintah China mengendalikan pertumbuhan kredit, terutama kredit dari shadow banking. Namun rasio kredit terhadap PDB China sampai saat ini masih cukup tinggi. Pemerintah China memang berhasil mengendalikan pertumbuhan kredit perbankan dengan menerapkan kebijakan pembatasan kegiatan kredit perbankan sejak 2010.

Tetapi, jangan lupa tingkat permintaan kredit di negara itu masih tinggi, khususnya permintaan dari sektor-sektor yang berisiko tinggi, yang telah masuk ke dalam daftar terlarang untuk menerima kredit dari bank. Lalu, tingginya permintaan kredit tersebut difasilitasi melalui shadow banking, sementara mayoritas aktivitas shadow banking juga didukung oleh perbankan.

Di sisi lain, penyaluran kredit perbankan disiasati dengan pola off balance sheet, dimana yang paling populer dalam bentuk skema entrusteed loan. Artinya, bank bertindak sebagai trustee atau perantara, yang menangani pemberian kredit dari suatu pihak ke pihak lainnya (direct lending).

Tentu saja tingginya kredit di tengah moderasi pertumbuhan ekonomi China menimbulkan kekhawatiran naiknya kredit bermasalah (NPL). Meski data resmi rasio NPL perbankan China saat ini masih rendah hanya 1,75%, tingkat NPL shadow banking nya diperkirakan cukup tinggi.

Tingginya NPL shadow banking ini cepat atau lambat akan mempengaruhi kinerja bank mengingat pada dasarnya shadow banking adalah aktivitas off balance sheet bank. Nah, kenaikan risiko kredit di tengah rendahnya pertumbuhan ekonomi sebenarnya tidak hanya dialami oleh China, melainkan juga oleh sebagian emerging market di Asia.

Kita jadi ingat, IMF dalam laporan bertajuk "Global Stability Report" (April 2017) secara khusus mengupas kenaikan risiko kredit di emerging market termasuk Indonesia, Malaysia, Thailand, China dan India. Pemerintah Indonesia tentu perlu mewaspadai risiko ini sedini mungkin.

 

BERITA TERKAIT

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…