PENURUNAN BATAS PTKP PICU PENURUNAN DAYA BELI - Ekonom: Tidak Ada Kejadian Luar Biasa Saat Ini

Jakarta- Pengamat ekonomi UI Faisal Basri memastikan tingkat daya beli masyarakat tidak menurun. Bahkan, tidak ada kejadian luar biasa yang menyebabkan daya beli masyarakat secara keseluruhan tiba-tiba merosot. Kecuali bila ada kebijakan penurunan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP), maka akan ada potensi penurunan konsumsi yang berimbas terhadap daya beli masyarakat.

NERACA

Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan riil konsumsi masyarakat (private consumption) mencapai rata-rata 5 %. Pertumbuhan nominal konsumsi masyarakat pada kuartal I-2017 masih 8,6%. "Jadi, baik secara nominal maupun riil, konsumsi masyarakat masih naik. Memang benar kenaikan konsumsi masyarakat sedikit melambat menjadi di bawah 5% atau 4,93% pada kuartal pertama 2017, tetapi jauh dari merosot atau turun sebagaimana banyak diberitakan belakangan ini," ujar Faisal di acara Forum Merdeka Barat di Jakarta, Sabtu (12/8).

Dia mengatakan, tidak ada kejadian atau kebijakan yang menyebabkan konsumsi berkurang. Dia menuturkan, kebijakan yang menyebabkan konsumsi berkurang seperti penurunan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). "Jadi daya beli itu yang tercermin dari konsumsi, tidak ada gangguan dari mana-mana. Tidak ada gangguan dari berbagai arah," tutur dia.

Faisal membuktikan, hal itu terlihat dari jumlah penumpang yang memanfaatkan angkutan udara. Dia bilang, kenaikan jumlah penumpang pesawat udara menunjukan jika daya beli masyarakat masih kuat. "Jumlah penumpang udara naik 10,22%, emangnya gratis? Kan punya uang, dia juga belanja. Udara konsumsi juga. Angkutan udara internasional naik 13,54%. Jadi double digit semua," ujarnya.

Menurut dia, masyarakat terdiri dari berbagai kelompok, ada yang sangat kaya, kaya, berpendapatan menengah, berpendapatan rendah, dan kelompok miskin dan sangat miskin. Bahkan yang dikonsumsi oleh masyarakat juga amat beragam, mulai dari kebutuhan pokok hingga barang dan jasa sangat mewah.

"Sangat boleh jadi ada kelompok masyarakat yang memang mengalami penurunan daya beli. Pegawai Negeri setidaknya sudah dua tahun tidak menikmati kenaikan gaji sehingga sangat boleh jadi daya belinya turun," ujarnya.

Pada bagian lain, Faisal mengakui pertumbuhan sektor industri pada kuartal kedua 2017 masih jauh lebih rendah dibandingkan sektor informasi dan komunikasi. Menurut dia, subsektor industri yang mengalami perlambatan di antaranya yakni pertanian dan pertambangan. Hal tersebut berbeda jauh dengan subsektor informasi dan komunikasi, dalam hal ini jasa yang pertumbuhannya cukup tinggi.

"Kalau industri pertanian dan pertambangan itu kan kira-kira penduduk kita masih lebih banyak di sana. Itu pertumbuhannya hanya separuh dari jasa. Ekonomi kita digerakan oleh jasa, peranan sektor jasa kita sudah 58%, di China masih di bawah 50%," ujarnya.  

Bahkan dia menuturkan, salah satu alasan masih melambatnya industri pertanian karena subsidi pupuk yang mencapai 90%, hanya kurang dari 5% yang sampai ke petani. "Bu Sri Mulyani bilang uang digelontorkan ke daerah, tapi enggak dikeluarkan, jadi daerah yang disalahkan. Menurut saya yang banyak salah itu adalah pemerintah pusat. Subsidi pupuk 90% dinikmati tidak sampai 5% oleh petani, subsidi salah arah," ujarnya.

Pembicara lainnya, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kecuk Suhariyanto mengatakan, pada kuartal II-2017 rata-rata konsumsi riil setiap penduduk Rp 5,07 juta. Artinya, tiap bulan rata-rata konsumsinya Rp 1,69 juta.

Sementara, pada kuartal I 2017 rata-rata konsumsi riilnya Rp 5,01 juta. "Pengeluaran riilnya selalu naik, jadi tidak mungkin daya beli turun," ujarnya. Menurut dia, secara nominal, rata-rata konsumsi riil naik dibanding kuartal I-2016. Pada kuartal I-2016 rata-rata konsumsi riil Rp 4,88 juta.

Meski begitu, dia mengatakan secara persentase mengalami penurunan. Rata-rata konsumsi riil kuartal I-2016 tumbuh 3,75%. Sementara, pada kuartal 1-2017 sebesar 3,67%. "Pengeluaran riilnya bisa dilihat kuartal I-2016 Rp 4,8 juta sekarang Rp 5,06 juta. Artinya uang yang dibelanjakan dari waktu ke waktu oleh masyarakat nominalnya naik, meskipun pertumbuhannya agak melambat sedikit. Tetapi nominalnya adalah naik," ujarnya.

Hal itu merupakan bukti konsumsi rumah tangga masih kuat."Jadi ini bukti spending masyarakat konsumsi rumah tangga tetap kuat di sana. Sama sekali tidak ada indikasi bahwa daya beli turun meskipun kita perlu memilah per lapisan," ujarnya.

Kecuk ‎mengungkapkan, konsumsi rumah tangga di kuartal II-2017 tumbuh 4,95% atau lebih lambat dari periode yang sama 2016 sebesar 5,07%. Namun dibanding kuartal I-2017 sebesar 4,94%, pertumbuhan konsumsi rumah tangga di kuartal II ini naik tipis.

"Ini membuktikan daya beli masyarakat masih kuat karena pertumbuhan konsumsi rumah tangga ‎4,95%. Semua komponen tumbuh tinggi, tidak ada yang negatif. Memang ada perlambatan dibanding kuartal II-2016," ujarnya.

Sebelumnya Kecuk mengatakan, komponen yang mempengaruhi pertumbuhan konsumsi rumah tangga ‎di kuartal II tahun ini, antara lain makanan dan minuman, selain restoran tumbuh 5,24% atau melambat dibanding 5,26% di kuartal II-2016. Sedangkan untuk pakaian, alas kaki, dan jasa perawakannya naik dari 3,35% menjadi 3,47%; perumahan dan perlengkapan rumah tangga tumbuh 4,12% atau melambat dari 4,72% di kuartal II tahun lalu.

Solusi Jangka Pendek

Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Hendri Saparini mengatakan, salah satu solusi jangka pendek ialah menghentikan kenaikan tarif dasar listrik. Kenaikan tarif dasar listrik (TDL), bisa mengikis secara signifikan daya beli masyarakat.

"Bagaimana cara membalikkan, tentu ada langkah-langkah jangka pendek yang perlu dilakukan misalnya mbok sudah pemerintah jangan lanjutkan dulu kenaikan TDL," ujarnya. Adapun cara lainnya menurut dia, adalah mempercepat penyaluran bantuan nontunai ke masyarakat. Lantaran, jika tidak dipercepat akan menahan konsumsi masyarakat.

"Atau cara lain yang lain, kami dengar juga distribusi kartu, kartu beras sejahtera dan sebagainya, ini baru kira-kira 30 %, ya ini dipercepat kalau tidak punya kartu tidak bisa belanja. Karena kartu itu yang digunakan belanja," ujarnya.

Strategi lain adalah mendorong penciptaan lapangan kerja sebanyak mungkin. Hendri berpendapat, pemerintah mesti mendorong pembangunan infrastruktur yang melibatkan masyarakat. "Kita memerlukan sebagian infrastruktur yang kita pakai selama ini, mungkin Presiden perlu diberikan masukan sebagian infrastruktur padat modal tadi digunakan infrastruktur padat karya. Apa saja? Banyak sekali, ada jalan desa, macam-macam," tutur dia.

Sebelumnya Menkeu Sri Mulyani Indrawati menjawab mengenai isu pelemahan daya beli masyarakat. Pemerintah diakuinya, tidak akan mengeluarkan kebijakan yang justru meresahkan masyarakat demi menjaga daya beli. "Pemerintah memastikan tidak akan melakukan kebijakan yang membuat masyarakat resah," ujarnya di Jakarta, Jumat (11/8).

Menurut dia, pemerintah berupaya menjaga daya beli masyarakat dengan memperhatikan berbagai indikator yang dapat menggerus daya beli masyarakat. Salah satunya mengendalikan harga dan meningkatkan konfiden masyarakat untuk tetap berbelanja.

"Pemerintah terus menjaga dan memperhatikan indikator yang menunjukkan apakah daya beli masyarakat alami tekanan. Faktor daya beli harga, jadi harga distabilkan," ujarnya.

Akan tetapi, kalau masalah konfiden, maka pemerintah perlu meningkatkan mengenai kejelasan arah sehingga masyarakat paham, dan tidak perlu khawatir dan berjaga-jaga. "Kalau mereka merasa takut, kita akan lihat aspek yang menjadi triger," ujarnya.

Jika menyangkut persoalan keterlambatan penyaluran bantuan beras untuk masyarakat sejahtera (rastra), menurut Sri Mulyani, pemerintah sudah mengidentifikasinya. Pemerintah pun memastikan harga-harga barang yang diatur pemerintah seperti bahan bakar minyak (BBM), listrik, elpiji tidak akan mengalami kenaikan sehingga laju inflasi diharapkan lebih rendah.

"Harga-harga administered prices tidak akan berubah, sehingga sisi inflasi diharapkan trennya menurun karena selama satu kuartal ini inflasi terus naik karena harga barang yang diatur pemerintah, padahal tidak ada. Kita harap ekspektasi inflasi akan menurun," ujarnya. bari/mohar/fba

 

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…