Fiskal Tak Kunjung Merdeka

 

Oleh: Dhenny Yuartha Junifta

Peneliti INDEF

 

Merdeka awam dipahami sebagai berdaulat dari penjajahan. Dengan begitu, kemandirian menjadi ongkos yang harus dibayar untuk mencapainya. Jika sepakat tentang tolak ukur tersebut, dapat dikatakan bahwa fiskal ternyata tak sepenuhnya merdeka. Fiskal yang tak kunjung merdeka dapat dilihat dari dua indikator. Pertama, fiskal yang belum mampu memberikan stimulus maksimal pada perekonomian. Pertumbuhan ekonomi masih stagnan di angka 5,01%. Padahal defisit di APBN-P 2017 sudah dipatok 2,92% terhadap PDB, atau mendekati batas yang ditentukan Undang-Undang sebesar 3%. Namun justru sebaliknya, pengeluaran pemerintah pada triwulan II turun 1,93% (yoy). Apabila pengeluaran Pemerintah stabil saja (tumbuh 0%), pertumbuhan ekonomi bisa menyentuh angka 5,16 %.

Kedua, terjebaknya Pemerintah pada pilihan sulit antara potong anggaran atau utang. Pilihan klise tersebut tak lepas dari kurang berdayanya penerimaan negara. Per Juli 2017, penerimaan pajak hanya Rp 601,1 triliun atau hanya 46,8% dari target APBN-P 2017. Padahal target tersebut telah dipotong dari yang semula Rp 1498,9 triliun pada APBN 2017 menjadi Rp 1.472 triliun pada APBN-P 2017. Sehingga, utang menjadi pilihan yang logis bagi pemerintah selain pemotongan anggaran. Masalahnya, utang pemerintah yang jatuh tempo tahun 2018 mencapai Rp315,22 triliun. Puncaknya ada di tahun 2019 yang mencapai Rp325,29 triliun. Kemudian, APBN-P 2017 menargetkan defisit kesimbangan primer sebesar Rp178,04 triliun, atau naik dibanding dengan realisasi pada tahun 2016 sebesar Rp125,58 triliun. Artinya, pemerintah juga menerbitkan utang untuk membayar bunga utang. Fakta sejarah juga menunjukkan bahwa pemerintah tak punya jalan lain yang lebih berkelanjutan dibanding dengan opsi otak-atik anggaran.

Berbagai jurus sudah dilakukan pemerintah. Tax Amnesty berakhir tanpa memberikan dampak serius penerimaan pajak pada jangka pendek. Bahkan shorfall penerimaan pajak masih tetap terjadi. Terbaru, Pemerintah berjanji untuk melakukan extra effort dalam mencapai realisasi pajak 100% pada tahun ini. Namun selama tak ada strategi jangka panjang secara berkesinambungan, permasalahan kemandirian fiskal pesimis untuk tercapai. Sebab, fiskal menjadi instrumen penting sebagai alat redistribusi pendapatan.

Semakin mandiri fiskal, pengentasan ketimpangan pun akan lebih mudah tercapai. Terlebih penyelesaian ketimpangan sendiri mensyaratka kebijakan dalam dua level. Pendistribuan pendapatan yang berlebih dari si kaya dan peningkatan kesempatan bagi si miskin untuk meningkatkan pendapatan. Dan kemandirian Fiskal sebagai jalan tengah penyelesaiannya. Semakin mandiri fiskal semakin berdaulat pula negeri ini dalam menentukan nasibnya sendiri. Pun dengan nasib masyarakat terbawah yang ingin merdeka dari kemiskinan.

 

BERITA TERKAIT

Antisipasi Kebijakan Ekonomi & Politik dalam Perang Iran -Israel

    Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef   Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…

Iklim dan Reformasi Kebijakan

Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…

Cawe-cawe APBN dalam Lebaran 1445 H

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…

BERITA LAINNYA DI

Antisipasi Kebijakan Ekonomi & Politik dalam Perang Iran -Israel

    Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef   Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…

Iklim dan Reformasi Kebijakan

Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…

Cawe-cawe APBN dalam Lebaran 1445 H

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…