PENURUNAN DAYA BELI MASYARAKAT - Apindo: Ini Peringatan buat Pemerintah

Jakarta- Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) terus mengeluhkan penurunan daya beli masyarakat yang berdampak terhadap industri hingga semester II-2017. Pemerintah diminta mengambil kebijakan tepat guna memacu pertumbuhan ekonomi yang sehat, sehingga dapat meningkatkan kembali daya beli masyarakat secara merata.

"Daya beli sekarang benar-benar nge-drop. Ini sudah warning banget," tegas Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani. Pelemahan daya beli tersebut ditunjukkan dengan penurunan penjualan sepeda motor dan mobil, penjualan ritel, dan industri lainnya. Penyebabnya, ada ketidakmerataan distribusi pendapatan karena berbagai hal.

"Melihat tren investasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), penanaman modal naik, namun penyerapan tenaga kerja mengecil. Akhirnya distribusi pendapatan tidak merata, dan daya beli drop. Pada kebingungan semua, karena kelas menengah kan tidak beli sepeda motor, beli mie instan, jadi kita perlu menumbuhkan kalangan bawah," ujarnya seperti dikutip laman Liputan6.com, akhir pekan lalu.   

Parahnya lagi, menurut Hariyadi, peraturan tenaga kerja yang kompleks dan rumit, termasuk masalah pengupahan selama puluhan tahun, mendorong perusahaan saat ini lebih menahan diri untuk merekrut pegawai. Perusahaan-perusahaan sekarang ini memilih pegawai dengan kriteria tertentu.

"Aturan tenaga kerja kita yang rijit selama puluhan tahun, perusahaan tidak mau mengambil karyawan banyak. Rekrut yang sesuai kriteria lulusan SMA misalnya, jadi lulusan SMP ke bawah sebanyak 47% tidak mendapat kesempatan kerja dan lagi-lagi distribusi pendapatan tidak merata," ujarnya.  

Dia berpendapat, peraturan tenaga kerja saat ini pun semakin membuat pengusaha enggan masuk ke industri padat karya. Mereka lebih memilih berbisnis di industri padat modal. "Aturan tenaga kerja yang rijit banget, termasuk soal upah minimum yang naik gila-gilaan setiap tahun jadi mereka maunya investasi ke padat modal," tutur dia.  

Sementara di sisi lain, kata dia, pemerintah hanya berutang yang dikatakan digunakan untuk kegiatan produktif, yakni membangun infrastruktur. Sayang hingga kini hasilnya belum terlihat terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang sehat dan berkesinambungan.

"Utang untuk infrastruktur kita setuju, tapi harus hati-hati khususnya dalam pengelolaan pertumbuhan ekonomi. Dunia usaha tetap bergantung pada pertumbuhan ekonomi yang sehat supaya dunia usaha jalan. Jadi kalau dunia usaha mandek, bagaimana mau dapat pajak dan membiayai pembangunan," ujarnya.

Untuk itu, Hariyadi berpesan agar pemerintah segera mengambil kebijakan tepat guna meningkatkan kembali daya beli masyarakat Indonesia. Salah satunya mengenai aturan ketenagakerjaan yang perlu direlaksasi. "Ambil kebijakan yang tepat, termasuk mengenai aturan ketenagakerjaan, jangan sepotong-sepotong," ujarnya.

Data Bappenas mengungkapkan, pertumbuhan penjualan ritel riil dari 16‎,3% pada Juni 2016, anjlok menjadi 6,7% di Juni 2017. Impor barang konsumsi pun menyedihkan, dari pertumbuhan positif sebesar 11,1% menjadi minus 0,8%.

Begitupun dengan pertumbuhan penjualan sepeda motor di bulan keenam ini anjlok menjadi minus  26,9% dari sebelumnya di periode sama tahun lalu minus 9,7%. Pertumbuhan penjualan mobil dari positif 11,4% menjadi negatif 27,5%. Sedangkan nilai tukar petani (NTP) turun dari 101,5 menjadi 100,5.

Berdasarkan data BPS, pertumbuhan produksi industri manufaktur besar dan sedang tercatat 4% pada kuartal II-2017, lebih rendah dibandingkan tahun 2016 sekitar 4,01%. Sementara itu, pertumbuhan produksi industri manufaktur mikro dan kecil kuartal II-2017 naik 2,5% (yoy).  Angka ini lebih kecil dibandingkan kuartal I-2017 mencapai 6,63%. Pada 2016, pertumbuhan produksi industri manufaktur mikro dan kecil mencapai 5,78%.

Pertumbuhan positif terbesar secara kuartalan didukung industri kertas dan barang dari kertas yang naik 15,87%. Sedangkan pertumbuhan negatif didorong industri kendaraan bermotor, trailer dan semi trailer yang merosot 5,3%.

"Kita lihat hampir semuanya turun, malah kendaraan bermotor minus. Jadi kalau berdasarkan survei yang dilakukan AC Nielsen, mereka bilang kelas menengah menunda pembelian, sementara masyarakat menengah ke bawah mereka tidak punya uang," ujar Haryadi.

Usulan ke Pemerintah

Untuk kembali meningkatkan daya beli masyarakat, Haryadi mengusulkan ada beberapa usulan yang disampaikan ke pemerintah. Pertama, mengurangi berbagai polemik yang dipublikasikan belakangan ini. Hal ini menjadikan masyarakat dan kalangan usaha lebih berhati-hati dalam berbelanja.

Kedua, memberikan insentif kepada dunia usaha, terutama di sektor padat karya. Saat ini banyak pengusaha yang enggan investasi di industri padat karya dikarenakan tingginya upah minimum yang sudah ditetapkan. "Ini juga yang menjadikan tenaga kerja formal sekarang itu mulai menyusut, justru beralih ke informal, jadi mereka menunda pembelian," ujarnya.

Ketiga, Presiden harus memperingatkan kepada jajaran menteri untuk lebih menonjolkan optimisme pertumbuhan ekonomi, bukan justru berlomba-lomba mempublikasikan berbagai pencapaiannya. "Presiden sudah optimis, tapi yang di bawah itu seakan pada cari panggung, tapi yang terjadi malah menimbulkan kecemasan," tutur dia.

Sebelumnya Menko Bidang P‎erekonomian Darmin Nasution menyatakan, tren pertumbuhan penjualan selama puasa dan Lebaran cenderung melambat. Bukan hanya di tahun ini, tapi juga tahun-tahun sebelumnya.

"Saya tidak mengatakan tidak benar-benar melesu (daya beli). Tapi data di puasa dan Lebaran memang melambat, seperti tahun lalu di puasa dan Lebaran Juli pun jelek. Tahun ini di Juni juga jelek. Tapi saya tidak mengatakan tidak lesu, kita tunggu saja data konsumsi di kuartal II atau semester I dari BPS," ujarnya.

‎Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro juga mengakui bahwa tren belanja masyarakat saat ini sudah berubah dari konvensional ke online. Hal ini menunjukkan bahwa transaksi penjualan tetap ada, sehingga daya beli masih terjaga.  "Konsumsi kita banyak dipengaruhi online. Itu artinya, transaksi tetap jalan. Cuma mungkin data statistik dan pajak tidak bisa mereka itu (transaksi online)," ujarnya. ‎

Pemerintah, kata Bambang, terus mendorong dengan berbagai macam kebijakan untuk mempermudah perizinan dan menjaga konsumsi masyarakat. "Daya beli bukan normal, tapi kita harus tetap menjaga supaya konsumsi tetap kuat," ujarnya.

Pada bagian lain, Menkeu Sri Mulyani Indrawati pernah mengatakan, imbas pelemahan ekonomi selama tiga tahun terakhir (2014-2016) masih terasa hingga kini. Dampaknya menghantam daya beli masyarakat dan merembet ke industri ritel maupun industri lain.

Sri Mulyani menyatakan, realisasi inflasi 2016 sebesar 3,02% merupakan pencapaian paling rendah dalam satu dekade. Kondisi ini, menurut dia bermula dari kontraksi atau penurunan di sektor pertambangan, dan kemudian berpengaruh ke sektor lainnya.

"Itu terjadi puncaknya pada kuartal terakhir di 2016. Jadi saya menganggap ini masih menjadi imbas dari pelemahan ekonomi yang terjadi di 2014, 2015, dan 2016 karena faktor komoditas dan ekspor. Imbasnya masih terasa sampai sekarang," ujarnya.

Dia menjelaskan, pemerintah tidak berpangku tangan. Berbagai upaya akan dilakukan untuk mengerek daya beli masyarakat dan menggeliatkan kembali industri di Tanah Air, termasuk industri ritel.

Fokus pemerintah, menurut Sri Mulyani,  menyasar masyarakat berpenghasilan rendah dengan program-program perlindungan sosial, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) menjadi 10 juta keluarga, sehingga 25%, bahkan 40% masyarakat terbawah tetap terjaga. "Untuk menaikkan daya beli adalah dengan confidence. Meningkatkan daya beli tentu dengan upah yang meningkat yang mencerminkan produktivitas. Ini tantangan pemerintah," ujarnya.

Selain itu, menurut dia, pemerintah fokus meningkatkan investasi di bidang infrastruktur dan sumber daya manusia mengingat faktor ini yang paling dibutuhkan untuk mengerek produktivitas. "Upaya lainnya, reformasi kebijakan yang akan terus dilakukan di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian untuk memperbaiki investasi karena itu akan meningkatkan inovasi dan kreativitas," ujarnya. bari/mohar/fba

 

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…