Utang Yang Memiskinkan - Oleh : Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

Selama ini Pemerintah  selalu menebar ‘dogma’ bahwa utang mutlak diperlukan untuk pembangunan. Dalam kalimat lain, Pemerintah  menyatakan utang harus dilakukan karena APBN selalu defisit. Terakhir, angka defisitnya membengkak menjadi 2,92%, hanya sedikit di bawah batas yang diizinkan UU yaitu 3%. Pengeluaran lebih besar daripada penerimaan. Besar pasak daripada tiang alias tekor.

Bahwa Indonesia membutuhkan infrastruktur untuk mengakselerasi pertumbuhan, yes. Tapi benarkah pembangunan infrastruktur menjadi prioritas utama belanja Pemerintah? Faktanya APBN 2017 menunjukkan tidak. Prioritas pertama belanja adalah pembayaran bunga, pokok, dan cicilan utang. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, mencapai Rp486 triliun. Posisi kedua ditempati pendidikan, yaitu Rp416 triliun. Sedangkan pembangunan infrastruktur yang dijadikan mantra pelelap tidur rakyat justru berada di peringkat ketiga, Rp387,3 triliun. 

Dari Rp486 triliun anggaran terkait utang tadi, Rp221 triliun digunakan untuk membayar bunga utang. Ingat, hanya untuk membayar bunga utang. Angka ini naik ketimbang yang dialokasikan pada APBN-P 2016 yang Rp182 triliun. Sekadar info saja, dalam tiga tahun terakhir rata-rata pembayaran bunga utang naik 18%. Bandingkan dengan periode 2009-2014 yang rata-rata naik 7%.

Suka tidak suka, fakta ini memang sangat mengerikan. Utang dengan segala risikonya sudah memasuki tahap lampu merah. Ini terjadi karena syahwat berutang si pendisain APBN si pendisain amat besar. Sudah begitu, suku bunganya pun sangat tinggi. Rating surat utang Indonesia boleh saja menyandang label investment grade. Tapi, sang Menteri Keuangan tetap saja hobi mengobral obligasi dan surat utang dengan bunga supertinggi.

Dengan postur APBN yang menganut prinsip creditors first, tidak keliru kalau kita bertanya, sebetulnya untuk siapakah Ani bekerja? Pernyataan ini jadi sangat relevan, karena membaca rekam jejaknya sebagai pejuang neolib yang gigih. Di tangan Bendahara Negara yang neolib, menyenangkan para majikan asingnya adalah prioritas utama. Segala upaya akan ditempuh untuk itu. Menggenjot pajak, mengurangi bahkan menghapus subsidi, memangkas anggaran, dan tentu saja, membuat utang baru yang kian membuat kita di miskinkan.

BERITA TERKAIT

Antisipasi Kebijakan Ekonomi & Politik dalam Perang Iran -Israel

    Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef   Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…

Iklim dan Reformasi Kebijakan

Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…

Cawe-cawe APBN dalam Lebaran 1445 H

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…

BERITA LAINNYA DI

Antisipasi Kebijakan Ekonomi & Politik dalam Perang Iran -Israel

    Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef   Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…

Iklim dan Reformasi Kebijakan

Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…

Cawe-cawe APBN dalam Lebaran 1445 H

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…