Oleh : Firdaus Baderi
Wartawan Harian Ekonomi NERACA
Membaca situasi perekonomian nasional tahun 2012, Bank Indonesia (BI) menyatakan perekonomian Indonesia saat ini masih jauh dari situasi overheating karena kapasitas pertumbuhan ekonomi masih longgar dan belum menekan laju inflasi.
"Untuk situasi sekarang sulit bisa mengarah overheating karena kapasitas ekonomi Indonesia pertumbuhannya masih di bawah 7%,” " kata Gubernur BI Darmin Nasution saat menjelaskan hasil Rapat Dewan Gubernur BI di Jakarta, Kamis (12/1).
Pernyataan Darmin itu sekaligus menyiratkan bahwa masih ada potensi ekonomi domestik yang belum ditingkatkan kapasitasnya. Kenapa? Penyebabnya a.l. masih tingginya suku bunga kredit di Indonesia dan sarana infrastruktur yang belum memadai di negeri ini.
Padahal di sisi lain, pertumbuhan kredit perbankan hingga akhir 2011 mencapai 25% namun sebagian besar disalurkan ke kredit konsumtif. Sedangkan penyaluran pinjaman bank ke sektor produktif lainnya masih tersendat. Ini terlihat dari besarnya angka kredit bank yang belum ditarik debitur (undisbursed loan) hingga akhir tahun lalu mencapai sekitar Rp 265 triliun.
Untuk memanfaatkan kapasitas ekonomi domestik yang masih longgar, pemerintah Indonesia seharusnya belajar dari pengalaman China, yang mampu menstimulasi pertumbuhan ekonominya dengan membangun infrastruktur secara besar-besaran, mendorong perbankan menyalurkan kredit konsumsi rumah tangga dengan suku bunga rendah 5%-6%, yang pada akhirnya berdampak multiplier effects ke sektor riil dan membuka lapangan pekerjaan.
Namun persoalan di negeri ini adalah, hampir 80% APBN Indonesia diperuntukkan untuk membayar gaji pegawai negeri sipil (PNS) dan membayar utang luar negeri. Sebaliknya untuk membiayai pembangunan infrastruktur, pemerintah mengandalkan pada pola 3P (private public partnership), yang diantaranya 80% dana investasinya bergantung pada pihak swasta. Itupun kurang diminati swasta, entah apa sebabya?
Jadi, tugas BI menjaga level BI Rate sejalan dengan sasaran inflasi dari sudut pandang ekonomi makro memang berhasil. Hanya sayangnya, suku bunga acuan BI yang seharusnya menjadi pedoman perbankan menetapkan suku bunga, tampaknya belum dipatuhi sepenuhnya oleh perbankan. Buktinya, masih banyak bank memasang tarif bunga deposito 8%-9%, bahkan ada yang secara diam-diam (over the counter) berani menawarkan bunga deposito 10%-11% per tahun. Nah, tentu saja suku bunga kredit yang ditawarkan saat ini jelas masih berada rata-rata di atas 12%.
Karena tu, jika pemerintah mau memanfaatkan kapasitas ekonomi , perlu komitmen tinggi dalam memperluas akses pembangunan infrastruktur a.l. menghilangkan pungutan liar (Pungli) di semua kementerian/lembaga, membuat strategi kebijakan BBM yang praktis dan tidak membuka peluang keresahan masyarakat, serta menekan perbankan untuk lebih mengefisiensikan struktur pendanaannya supaya suku bunga tetap rendah sehingga dapat menggairahkan sektor riil.
Bagaimanapun, jika pemerintah berbenah infrastruktur menggunakan dana APBN, rasanya masih sulit diwujudkan dalam jangka pendek karena struktur APBN sekarang terbelenggu untuk belanja PNS dan membayar utang pokok plus bunga, yang diibaratkan gali lubang tutup lubang sepanjang tahun.
Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…
Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…
Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…
Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…
Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…
Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…