UNTUK DORONG KENAIKAN DAYA BELI MASYARAKAT - Pemerintah Diminta Turunkan Besaran PPh

Jakarta- Untuk meningkatkan kondisi daya beli masyarakat yang melemah saat ini, kalangan pengusaha meminta pemerintah mempertimbangkan usulan penurunan pajak setelah gencar melakukan reformasi pajak sejak 2015. Sementara itu, pengamat ekonomi juga menilai rencana Menkeu menurunkan batas nilai penghasilan tidak kena pajak (PTKP) agar dipertimbangkan kembali.

NERACA

Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, pemerintah bisa mempertimbangkan penurunan tarif beberapa pajak, khususnya bagi pajak penghasilan (PPh) dan pajak penjualan (PPn). "Karena semua orang sudah ikut amnesti pajak, sudah ada transparansi, kami juga sudah melakukan amandemen beberapa aturan perpajakan. Maka, sudah waktunya mempertimbangkan penurunan tarif," ujarnya kepada pers di Jakarta, pekan ini.

Hariyadi mengatakan, penurunan tarif PPh diperlukan karena risiko untuk tidak patuh pajak lebih kecil dibandingkan jenis pajak lainnya. Di sisi lain, jumlah peserta wajib pajak (WP) bisa didongkrak lewat cara ini.

"Jika tarif PPh relatif kecil, ada kemungkinan jumlah peserta bisa bertambah. Tarif idealnya, bisa seperti Singapura sekitar 16% - 17%," ujarnya sembari mengingatkan, besarnya tarif PPh di Indonesia saat ini masih di kisaran 25%.

Selanjutnya, soal penurunan tarif PPn, Hariyadi mengatakan, langkah tersebut bisa digunakan untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Sejak awal 2017, daya beli masyarakat Indonesia masih stagnan dan cenderung melemah, terutama di sektor ritel.

Di sisi lain, persoalan melemahnya daya beli masyarakat juga mendapat sorotan Indef. Apalagi terdengar rencana pemerintah akan menurunkan batas PTKP. Pasalnya, Menkeu Sri Mulyani Indrawati akan mengkaji lebih lanjut soal batas PTKP yang menjadi salah satu tertinggi di Asia Tenggara. Bahkan dengan kenaikan PTKP yang mencapai 100% lebih sejak 2 tahun yang lalu menyebabkan penerimaan negara hilang Rp 20 triliun tahun ini.

Menurut Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati, jika pemerintah menurunkan besaran PTKP akan membuat daya beli masyarakat menurun. Penurunan daya beli masyarakat nantinya berimbas pada konsumsi yang mempengaruhi ekonomi.

"Nah kalau (PTKP) turun ini punya dampak terhadap penurunan daya beli masyarakat. Nah sekarang jadi secara teoritis maupun praktis PTKP memang harus ada evaluasi," ujarnya belum lama ini.

Perhitungan yang matang mengenai penyesuaian PTKP juga harus dikaji lebih matang. Pasalnya, penyesuaian PTKP akan menimbulkan sejumlah dampak yang dirasakan ke depan. "Harus ada kenaikan nilainya sehingga kalau sekarang pemerintah bikin simulasi berapa pasnya," ujar Enny.

Meskipun ada kenaikan upah nominal, kata Enny, dengan adanya kenaikan PTKP belum tentu masyarakat memiliki kemampuan membeli yang sama seperti dulu. Pasalnya ada kenaikan sejumlah barang karena adanya inflasi. "Sekarang upah nominal naik tapi kalau PTKP-nya dinaikkan belum tentu purchasing power-nya mendapatkan barang yang sama," ujarnya.

Penurunan PTKP, menurut dia, akan berimbas kepada konsumsi masyarakat yang mengalami penurunan. Dengan turunnya konsumsi, maka para produsen pun tidak lagi dapat memproduksi barangnya sebanyak dulu. Padahal, penyumbang pajak penghasilan terbesar adalah dari pajak korporasi yang memproduksi barang konsumsi. "Padahal pajak terbesar kita bukan dari PPh individu tapi dari pajak korporasi. Kalau investasi dan korporasinya tumbuh justru meningkatkan (penerimaan) pajak," ujarnya.

Secara terpisah, anggota Komisi XI DPR RI Hendrawan Supratikno menilai batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) pada penghasilan Rp 4,5 juta per bulan sudah baik. Menurut dia,  jika PTKP tersebut diturunkan hingga ke level upah minimum provinsi (UMP), maka akan berdampak pada program pemerataan pendapatan yang sedang digalang pemerintah.

"Kalau PTKP 4,5 juta, sekarang, artinya bagus, jauh di atas UMP. Kalau ini disamakan UMP/UMK, dampak untuk menciptakan pemerataan pendapatan berkurang. Karena semakin kecil PTKP, mereka yang pendapatan kecil akan terjangkau PTKP juga," ujarnya.

Namun Hendrawan mengingatkan, langkah yang mesti dilakukan pemerintah untuk menggairah ekonomi adalah tidak hanya dengan menggenjot penerimaan negara. Namun, juga menguatkan daya beli masyarakat. "Rp 4,5 juta sudah bagus. Lebih bagus lagi dinaikkan untuk daya beli. Semua pajak akan kurangi daya beli kita," ujarnya.

Menurut dia, kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara juga harus memperhatikan keekonomian masyarakat. Penerimaan negara harus didukung dengan kemampuan ekonomi masyarakat yang baik.

"Kalau penerimaan naik tapi harus bayar dengan daya beli masyarakat yang merosot saya rasa tidak ideal. Karena ekonomi Indonesia digerakkan oleh konsumsi. Kalau you habis gajian rajin belanja, ekonomi bergerak," pungkasnya.

Momen Belum Tepat

Ekonom Indef lainnya mengusulkan agar batas PTKP sebaiknya ditingkatkan. Apabila ambang batas PTKP ditingkatkan hal itu akan berdampak pada multiplier effect untuk penerimaan pajak di sektor lainnya.

“Saya kira soal PTKP ini jalan tengahnya justru harus dinaikkan. Memang dari pajak penghasilan pribadi ada risiko menurun, tapi multiplier effect ke penerimaan pajak lainnya justru meningkat, sebagian pendapatan masyarakat yang sebelumnya untuk membayar pajak justru bisa digunakan untuk konsumsi,” ujarnya kepada wartawan.

Menurut dia, meningkatkan ambang batas PTKP juga akan berdampak pada naiknya daya beli masyarakat. Bagaimanapun, penurunan PTKP bisa dilakukan ketika kondisi daya beli masyarakat stabil dan kinerja perekonomian sedang prima.  Oleh karena itu, dia menilai untuk saat ini momentum penurunan PTKP dirasa belum tepat.

“Momentum perubahan batasan PTKP untuk saat ini dirasa kurang tepat mengingat kondisi perekonomian sedang mengalami kelesuan. Kalau PTKP diturunkan atau disesuaikan dengan UMP tiap daerah tentu dampaknya akan sangat terasa ke masyarakat terutama menengah bawah, daya beli masyarakat yang sudah anjlok makin jatuh,” ujarnya.

Dia menuturkan walaupun tujuan perubahan PTKP dimaksudkan untuk mendorong penerimaan negara dan meningkatkan tax ratio, namun  waktu pelaksanaanya pun harus dikaji serius. “Jangan sampai kebijakan perpajakan justru kontraproduktif terhadap perekonomian dan penerimaan pajak,” ujar Bhima.

Sebelumnya, Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Dodi Budi Waluyo mengakui angka penjualan industri ritel mengalami pelemahan hingga Juni 2017. Hal ini menandai adanya penurunan daya beli masyarakat.

"Kenapa konsumsi rendah karena angka ritel sales hanya 6,7% tumbuh dan Juni lalu alami turun. Tahun lalu 8% pada periode yang sama tahun lalu. Bulan Juni sebesar 3-4%. Semester pertama 3,6-3,8%," ujarnya di Jakarta, pekan lalu.

Menurut dia, ada beberapa penyebab daya beli masyarakat menurun. Di antaranya penyesuaian tarif listrik bersubsidi yang dilakukan oleh pemerintah, dan gaji ke-13 pegawai negeri sipil (PNS) yang baru cair pada bulan ini. "Daya beli masyarakat terpengaruh tarif listrik dan penundaan gaji PNS aktif dari bulan Juni ke bulan Juli," ujarnya.

Meski demikian, dengan meningkatnya investasi pada sektor sumber daya alam (SDA), diharapkan konsumsi masyarakat di kuartal kedua akan terus membaik dan berada di atas 4%.

Selain itu, meningkatnya penjualan seperti sepeda motor hingga makanan juga telah menyumbang perbaikan konsumsi masyarakat. "Kita lihat indikator awal sudah alami perlambatan. Tapi sepeda motor meningkat cukup signifikan, makanan, pakaian, produk equipment mulai membaik," ujarnya. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…