Permintaan Sawit Indonesia Naik 25 Juta Ton 2045

NERACA

Jakarta – Permintaan terhadap sawit Indonesia untuk memenuhi pasar dunia pada 30 tahun ke depan atau 2045 diperkirakan meningkat sekitar 20-25 juta ton dari saat ini. Ketua Himpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krisnamurthi di Jakarta, Senin, mengatakan pada 2016 permintaan minyak nabati dunia sebanyak 167,5 juta ton, 40 persen di antaranya dipenuhi dari minyak sawit.

Pada 30 tahun ke depan atau 2045, katanya, permintaan minyak nabati dunia sekitar 275 juta ton atau naik 105 juta ton dari saat ini. Jika 40 persennya dipenuhi dari minyak sawit maka kebutuhan tahun itu sekitar 40-45 juta ton.

"Peran Indonesia dalam 30 tahun ke depan ada tambahan permintaan sawit Indonesia 20-25 juta ton. Saat ini produksi sawit Indonesia 35 juta ton sehingga 2045 diproyeksikan 60 juta ton," katanya, sebagaimana disalin dari laman Antara.

Bayu menyatakan, usia produksi rata-rata tanaman sawit adalah 30 tahun sehingga kondisi permintaan pasar dunia ke depan terhadap komoditas tersebut sudah seharusnya dipersiapkan dari sekarang.

Terkait upaya untuk meningkatan produksi minyak sawit nasional dari saat ini 35 juta ton menjadi 65 juta ton pada 2045, mantan Wakil Menteri Pertanian itu menyatakan, sulit jika dilakukan dengan ekspansi atau perluasan lahan. "Meskipun secara legal formal perluasan lahan baru bisa dilakukan, namun pemerintah menerapkan kebijakan moratorium lahan," katanya.

Oleh karena itu, menurut Bayu, upaya peningkatan produksi minyak sawit ke depan bisa dilakukan dengan menaikkan produktivitas tanaman, apalagi potensi tersebut masih sangat tinggi.

Dia mengungkapkan, saat ini produktivitas tanaman sawit nasional menurut pusat penelitian sekitar 7,8-8 ton CPO/hektar (ha), sedangkan di perusahaan swasta 4,5-5 ton CPO/ha dan di perkebunan rakyat 3-3,5 ton CPO/ha.

"Ada ruang yang cukup besar dari perkebunan rakyat untuk ditingkatkan produktivitasnya. Kalau (produktivitasnya) menyamai perkebunan swasta saja maka terjadi peningkatan 1,5-2 ton/ha apalagi kalau bisa menyamai tingkat penelitian," katanya.

Permintaan cangkang kelapa sawit asal Indonesia ke negara Jepang dinilai tinggi seiring negara tersebut mengembangkan pembangkit listrik tenaga biomassa. Bayu Krisnamurthi di Jakarta, Senin mengatakan, setelah sektor energi menjadi perhatian penting di negara tersebut maka permintaan terhadap sumber energi juga meningkat.

Pengembangan energi biomassa di negara tersebut, lanjutnya, membutuhkan sumber energi yang diproduksi dari cangkang kelapa sawit, tandan buah kosong, pelepah sawit maupun pohon kelapa sawit. "Dalam 3-4 tahun terakhir permintaannya (terhadap cangkang sawit Indonesia) meningkat pesat yakni lebih dari 40 persen dari kebutuhan di negara tersebut," ungkapnya.

Bayu mengatakan, potensi permintaan cangkang sawit tersebut mencapai 7-8 juta ton per tahun, sedangkan untuk tandan kosong sebanyak 12-15 juta ton per tahun. Kedua produk tersebut, lanjutnya, selama ini hanya menjadi limbah yang dibuang, atau dijadikan bahan bakar alternatif bagi industri pengolahan minyak sawit, selain batu bara.

Mantan Wakil Menteri Pertanian itu menyatakan, harga cangkang sawit di Jepang sebesar 80 dolar AS/ton FOB atau setara 110-120 dolar AS/ton CIF. Dikatakannya, ekspor minyak sawit Indonesia ke Jepang masih sangat rendah dibandingkan ke negara lain seperti China, Pakistan, India dan Eropa.

Di sejumlah wilayah di Jepang, tambahnya, seperti Sendai, Oita dan Ibaraki saat ini sedang mengembangkan proyek pembangkit listrik tenaga bioenergi, yang mana cangkang sawit menjadi bahan bakar sumber bionergi.

Ekspor sawit Indonesia ke China, Pakistan dan India pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan industri pangan, sedangkan ke Eropa dan Jepang untuk biofuel atau bahan bakar nabati.

Ketua Asosiasi Pengusaha Cangkang Kelapa Sawit Indonesia (Apcasi) Dikki Akhmar mengatakan, ekspor cangkang kelapa sawit nasional pada saat ini mencapai 1,8 juta ton ke pasar internasional yang mana 800 ribu ton untuk mengisi pasar Jepang.

Dia menuturkan kendala yang dihadapi terkait ekspor cangkang kelapa sawit yakni tak ada jaminan harga karena fluktuasi pajak atau pungutan ekspor komoditas tersebut.

"Pemerintah menerapkan Bea Keluar (BK) sebesar 5 persen dan tahun depan 10 persen. Kami minta agar diturunkan besarannya. Malaysia menerapkan bebas pajak untuk ekspor biomassa," ucapnya. Saat ini kontribusi cangkang sawit Indonesia terhadap kebutuhan dunia sebesar 60 persen, sedangkan 40 persen sisanya diisi oleh Malaysia.

Pengusaha Indonesia mendukung upaya pemerintah untuk melawan kampanye hitam produk sawit Indonesia yang dilancarkan Parlemen Uni Eropa terlebih tuduhan yang mereka gencarkan tidak berdasar dan sangat merugikan.

BERITA TERKAIT

Kunci Cermat Bermedia Sosial - Pahami dan Tingkatkan Kompetensi Platform Digital

Kecermatan dalam bermedia sosial sangat ditentukan oleh pemahaman dan kompetensi pengguna terkait platform digital. Kompetensi tersebut meliputi pemahaman terhadap perangkat…

IKM Tenun Terus Dipacu

NERACA Jakarta – Dalam menjaga warisan budaya nusantara, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus berupaya mendorong pengembangan sektor industri kerajinan dan wastra…

PLTP Kamojang Jadi Salah Satu Rujukan Perumusan INET-ZERO

NERACA Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah menyusun Dokumen…

BERITA LAINNYA DI Industri

Kunci Cermat Bermedia Sosial - Pahami dan Tingkatkan Kompetensi Platform Digital

Kecermatan dalam bermedia sosial sangat ditentukan oleh pemahaman dan kompetensi pengguna terkait platform digital. Kompetensi tersebut meliputi pemahaman terhadap perangkat…

IKM Tenun Terus Dipacu

NERACA Jakarta – Dalam menjaga warisan budaya nusantara, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus berupaya mendorong pengembangan sektor industri kerajinan dan wastra…

PLTP Kamojang Jadi Salah Satu Rujukan Perumusan INET-ZERO

NERACA Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah menyusun Dokumen…