Tantangan Otoritas Jasa Keuangan

Oleh: Fathya Nirmala Hanoum

Krisis ekonomi tahun 1997/1998 mengakibatkan turbulensi yang cukup keras bagi Indonesia. Meskipun Indonesia telah banyak belajar dari krisis tersebut, namun potensi terjadinya krisis akibat memburuknya risiko di sektor keuangan menjadi bagian yang tetap membayangi sektor keuangan dewasa ini.

Terjadinya krisis finasial global tahun 2008, yang juga berimbas pada sektor keuangan Indonesia, menunjukkan betapa pentingnya untuk terus menerus membenahi sistem keuangan nasional. UU No. 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang mengamanatkan tugas pengendalian pada kebijakan mikroprudensial kepada lembaga itu merupakan salah satu ikhtiar untuk mengelola sistem keuangan di negara ini.

Meskipun demikian, kegagalan Financial Services Authority (FSA) Inggris dalam mencegah krisis sektor keuangan di negara itu pada 2008, menjadi refleksi bahwa eksistensi OJK saja belumlah cukup. OJK tidak hanya dituntut mewujudkan industri keuangan yang transparan, stabil dan protektif terhadap konsumen, tapi juga meningkatkan peran strategis sektor jasa keuangan untuk mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat dengan mempersempit tingkat kesenjangan pendapatan dan menekan angka kemiskinan.

Beberapa Tantangan

Pada 2016, sektor keuangan berkontribusi sebesar 4% terhadap PDB, naik dibandingkan tahun 2011 yang mencapai 3,5%. Dalam lima tahun terakhir, sektor keuangan tumbuh tertinggi kedua setelah sektor informasi dan komunikasi yakni sebesar 8,10%.

Meskipun demikian, sektor keuangan nasional masih didominasi oleh sektor perbankan dengan total aset sebesar Rp 6.588 triliun atau 76% dari total aset sektor keuangan. Sementara itu, nilai aset Industri Keuangan Non Bank (IKBN) masih sebesar Rp 1.807 triliun.

Kondisi ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari tingkat literasi keuangan penduduk pada IKNB yang masih rendah. Berdasarkan survei OJK pada 2016, jumlah penduduk yang tidak memahami (not literate) sektor keuangan non bank masih cukup tinggi terutama pasar modal (95,6%), dana pensiun (89,09%), dan lembaga pembiayaan (86,95%).

Di sektor perbankan sendiri, meski tingkat kesehatan sektor ini relatif stabil seperti Capital Adequacy Ratio (CAR) yang berada pada angka 22,9% dan NPL yang telah turun ke angka 2,9%, namun sejumlah tantangan masih menyelimuti industri ini. Jika dibandingkan dengan negara-negara peer Indonesia di Asia, suku bunga kredit domestik masih relatif tinggi. Hal ini tentu tidak terlepas dari struktur industri ini yang cenderung oligopolistik dengan tingkat efisiensi yang relatif terbatas.

Selain itu, tingkat tabungan domestik yang rendah membuat tingkat penetrasi kredit, yang ditunjukkan oleh loan to GDP, masih sebesar 39% dari PDB, lebih rendah dari Thailand yang mencapai 151%. Di saat yang sama, Net Interest Margin (NIM) perbankan domestik masih relatif tinggi; lambannya penurunan tingkat suku bunga kredit dalam merespon pelonggaran moneter BI; dan munculnya praktik lazy banking, dimana perbankan mengandalkan pendapatan dari insentif dari investasi di sektor finansial, merupakan beberapa persoalan yang menjadi ‘pekerjaan rumah’ OJK.

Pada saat sama, sejalan dengan semakin pesatnya perkembangan financial technology, fungsi regulasi dan pengawasan OJK untuk mewujudkan jasa keuangan yang stabil, berkelanjutan dan transparan, menjadi semakin kompleks dan menuntut kecepatan untuk memberikan respon yang tepat. Berkembangnya varian teknologi finansial oleh berbagai start up, selain akan meningkatkan persaingan dalam pelayanan di sektor keuangan, juga akan meningkatkan kerentanan terhadap gangguan layanan keuangan terutama akibat cybercrime baik oleh pihak eksternal maupun internal.

Oleh karena itu, tantangan OJK ke depan adalah terus mengembangkan formula terbaik dalam menata dan mengawasi jasa keuangan nasional, termasuk mengefektifkan koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait. Lembaga itu tidak hanya dituntut menciptakan sistem jasa keuangan yang sehat, namun juga mengeluarkan regulasi yang lebih sederhana dan lebih murah, namun tetap efisien. Selain itu, perlindungan terhadap konsumen khususnya dalam proses pemeriksaan dan penyidikan yang selama ini masih cukup lemah, perlu diperkuat.

Hal-hal itu memang tidak mudah bagi OJK. Apalagi liberalisasi sektor keuangan semakin masif sehingga daya tahan di sektor ini semakin rentan terpapar krisis terutama yang bersumber dari goncangan eksternal. Di sinilah agenda reformasi sistem keuangan menjadi relevan untuk diwujudkan. Dengan demikian, sektor keuangan dapat lebih sehat dan stabil, lebih dalam, lebih inklusif dan lebih kontributif pada pembangunan ekonomi nasional. (www.coreindonesia.com)

 

BERITA TERKAIT

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…

BERITA LAINNYA DI Opini

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…