Pilih Satu dari Lima Paket Opsi Pemilu

Oleh: Budi Setiawanto

Rapat paripurna DPR RI pada 20 Juli 2017 bakal menentukan satu dari lima paket opsi yang dipilih untuk menuntaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu.

Setelah menjadi Undang-Undang, ketentuan ini diberlakukan untuk penyelenggaraan Pemilu 2019 yang merupakan pemilu pertama untuk memilih secara serentak dan langsung yakni memilih presiden dan wakil presiden, memilih anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten dan kota, dan DPD Panitia Khusus RUU Penyelenggaraan Pemilu DPR yang diamanatkan untuk melakukan pembahasan bersama pemerintah memutuskan membawa lima paket opsi ke dalam rapat paripurna mendatang.

Keputusan tersebut diambil setelah lobi antara fraksi-fraksi dan pemerintah dalam rapat Pansus RUU Penyelengaraan Pemilu di Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta, Kamis (13/7) malam, gagal mencapai kesepakatan untuk memilih salah satu dari lima opsi paket.

Seluruh fraksi dan pemerintah sepakat membawa lima opsi paket tersebut ke rapat paripurna, pada 20 Juli, untuk diambil keputusan.

Kelima paket tersebut adalah Paket A yang memuat ketentuan ambang batas minimal pencalonan presiden (presidential threshold) adalah dari partai politik atau gabungan partai politik yang meraih 20-25 persen kursi DPR RI atau suara sah nasional dalam pemilu sebelumnya.

Kemudian, ambang batas minimal perolehan suara sah nasional dalam pemilu untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di DPR (parliamentary threshold) empat persen, sistem pemilu terbuka, alokasi kursi DPR per daerah pemilihan adalah 3-10 kursi, dan konversi suara menjadi kursi menggunakan metode "sainte- lague murni" (menggunakan rumus seluruh jumlah suara yang masuk dibagi dengan angka pembagi yaitu sistem berbasis rata-rata jumlah suara tertinggi untuk menentukan alokasi kursi dalam suatu daerah pemilihan).

Paket B "presidential threshold" nol persen, "parliamentary threshold" empat persen, sistem pemilu terbuka, alokasi kursi 3-10 kursi per daerah pemilihan, dan konversi suara menjadi kursi menggunakan metode "quota hare" (jumlah minimal tertentu yang membuat sebuah partai politik dapat memperoleh kursi di suatu daerah pemilihan.

Misalnya di suatu daerah pemilihan terdapat 10 ribu suara dan jatah 10 kursi maka kuota untuk mendapatkan satu kursi itu adalah 1.000 suara untuk setiap kursi).

Paket C "presidential threshold" 10-15 persen, "parliamentary threshold" empat persen, sistem pemilu terbuka, alokasi kursi 3-10 kursi per daerah pemilihan, konversi suara menjadi kursi menggunakan metode "quota hare".

Paket D "presidential threshold" 10-15 persen, "parliamentary threshold" lima persen, sistem pemilu terbuka, alokasi kursi tiga-delapan kursi per daerah pemilihan, dan konversi suara menjadi kursi menggunakan metode "sainte- lague murni".

Paket E "presidential threshold" 20-25 persen, "parliamentary threshold" 3,5 persen, sistem pemilu terbuka, alokasi kursi 3-10 kursi per daerah pemilihan, dan konversi suara menjadi kursi menggunakan metode "quota hare".

Bagaimana sikap pemerintah? Pemerintah sebagaimana disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo memilih opsi paket A dari lima paket opsi yang disiapkan Pansus RUU Pemilu untuk diambil keputusan bersama. Tjahjo berharap fraksi-fraksi di DPR dapat menyetujui sikap atas pilihan pemerintah tersebut.

Pemerintah memilih paket A karena syarat presidential threshold 20-25 persen sudah teruji dalam dua kali pemilu sebelumnya yang berjalan baik.

Pemerintah juga menyadari syarat "parliamentary threshold" akan lebih baik jika dinaikkan sedikit dari 3,5 persen yang diberlakukan pada pemilu sebelumnya menjadi empat persen untuk Pemilu 2019. Tiga paket opsi yang akan menjadi pilihan juga menyebutkan besaran "parliamentary threshold" sebesar empat persen.

Soal sistem pemilu, pemerintah yang semula mengusulkan sistem proporsional terbuka terbatas tetapi dapat menerima usulan sistem pemilu proporsional terbuka, sebagaimana yang telah berlaku sejak Pemilu 2004.

Mengenai sebaran kursi parlemen di daerah pemilihan, sikap pemerintah sama dengan aturan di UU Pemilu sebelumnya yakni 3-10 untuk kursi DPR RI per daerah pemilihan.

Pemerintah memilih metode "sainte-lague" murni dan meninggalkan metode quota hare sehingga jumlah perolehan suara dapat dihitung secara adil yakni berbanding lurus dengan perolehan kursi.

Lalu bagaimana proses pengambilan keputusan, apakah lima paket opsi tersebut cenderung bakal berlangsung diputuskan melalui "voting" atau pemungutan suara atau tetap mengedepankan musyawarah.

Lalu bagaimana dengan sikap fraksi-fraksi di DPR? Lima dari 10 fraksi di DPR bersikap sama dengan pemerintah, yakni Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi NasDem, dan Fraksi Hanura.

Sementara tiga fraksi yakni Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Demokrat, dan Fraksi PKS belum menentukan opsi dan menunggu hingga penyelenggaraan rapat paripurna 20 Juli mendatang, sedangkan Fraksi PAN dan Fraksi PKB walaupun telah memiliki opsi tetapi tetap akan memutuskan dalam rapat paripurna mendatang.

Mengenai keputusan atas opsi-opsi tersebut apakah akan dilakukan melalui pemungutan suara (voting) wah untuk mufakat? Ketua Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu DPR Lukman Edy memberikan gambaran bahwa fraksi-fraksi masih memiliki waktu untuk melakukan lobi-lobi politik untuk mendapatkan kesamaan sikap dalam memutuskan salah satu dari lima paket opsi tersebut.

Pemerintah berharap pengambilan keputusan dalam rapat paripurna akan dilakukan secara musyawarah untuk mufakat. Tjahjo berharap tetap ada wadah musyawarah karena penyelenggaraan pemilu bukan hanya untuk kepentingan partai tetapi juga untuk kepentingan bangsa.

Ia memberikan gambaran bahwa dalam dua kali pemilu presiden yakni tahun 2009 dan tahun 2014, "presidential threshold" yang diterapkan juga partai politik atau gabungan partai politik yang meraih 20 persen dari jumlah kursi DPR RI dan 25 persen suara sah nasional.

Pada Pemilu 2009, terdapat tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden (Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto, Susilo Bambang Yudhoyono dan Budiono, dan Jusuf Kalla dan Wiranto) sedangkan pada Pemilu 2014, terdapat dua pasangan calon presiden dan wakil presiden (Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa serta Joko Widodo dan Jusuf Kalla).

Tjahjo menampik anggapan sinyalemen sementara kalangan bahwa besaran "presidential threshold" 20-25 persen untuk kepentingan pemerintah menggolkan calon tunggal. Pemerintah tetap ingin mempertahankan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20-25 persen karena ingin memperkuat sistem pemerintahan presidensial.

Apa pun opsi yang diputuskan, hal yang perlu dikedepankan adalah bahwa semangat pemilu untuk menegakkan demokrasi dan bukan untuk menjegal atau menghabisi pihak lain. Rakyat yang memiliki kedaulatan tertinggi untuk memilih pemimpinnya. (Ant.)

BERITA TERKAIT

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…

BERITA LAINNYA DI Opini

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…