Peran Intermediasi Perbankan Dipertanyakan

 

NERACA

 

Jakarta - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyoroti masalah ketimpangan di sektor keuangan, khususnya peran intermediasi perbankan yang dianggap belum optimal kepada sektor riil. “Saat sektor riil menurun, sektor keuangan malah tumbuh," kata Direktur Indef Enny Sri Hartati dalam seminar nasional bertajuk "Mengurai Solusi Ketimpangan" di Jakarta, Rabu.

Di saat sektor riil mengalami penurunan pertumbuhan, sektor jasa keuangan memang mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi. Sebagai contoh pada triwulan II-2016, industri pengolahan hanya tumbuh 4,6 persen (yoy) dan pertanian tumbuh 3,4 persen (yoy), sementara jasa keuangan justru mencatat rekor tumbuh di atas 13,5 persen.

Hal tersebut, lanjut Enny, mengindikasikan bahwa pertumbuhan jasa keuangan dan sektor riil tidak berkorelasi positif. Jurang antara sektor riil dan sektor keuangan terjadi karena profil risiko sektor riil cenderung lebih besar, sementara perputaran uang sangat lama. Di sektor keuangan sendiri, instrumen seperti deposito dan surat utang menawarkan imbal hasil yang tinggi dengan risiko rendah. Investor akhirnya lebih memilih investasi di sektor keuangan.

Selain itu, ketimpangan juga terlihat dari sisi simpanan perbankan dimana 97,9 persen rekening hanya menguasai 14,04 persen total simpanan, sementara 0,04 persen rekening menguasai 46,99 persen total simpanan. "Persoalannya, ternyata separuh simpanan di perbankan kita hanya dimiliki oleh 0,04 persen pemilik rekening tersebut," ujar Enny.

Enny melanjutkan, besarnya ketimpangan simpanan sendiri berkaitan dengan preferensi perbankan dalam memberikan bunga ke nasabah kakap, salah satunya melalui suku bunga deposito spesial atau special rate. Sementara itu, bagi nasabah kecil dari latar belakang masyarakat berpenghasilan rendah diberikan bunga yang rendah ketika menabung.

Program Laku Pandai dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga diinilai berkontribusi terhadap akumulasi simpanan di sekelompok orang kaya perkotaan. Program tersebut menyedot uang dari desa dan dialokasikan ke korporasi besar di perkotaan. Pada akhirnya, kebutuhan masyarakat akan kredit di desa menjadi terbatas dan kembali lagi ke pola rentenir yang menyebabkan sebagian masyarakat miskin desa terlilit utang. "Harus ada upaya-upaya mendorong peran sektor keuangan menjadi lembaga intermediasi yang konkrit untuk mendorong sektor riil," kata Enny.

Sebelumnya, Pengamat Ekonomi Aviliani mengungkapkan sektor keuangan didorong untuk menjadi motor penggerak perekonomian. Ini berarti perbankan diharapkan untuk mendorong ekonomi. Sebab, 74 persen sektor keuangan adalah perbankan. Namun demikian, Aviliani menyatakan, sektor keuangan tidak bisa bergerak dengan baik apabila tidak didukung oleh permintaan dari sektor riil. Dengan demikian, untuk menggenjot ekonomi, yang sebaiknya digenjot terlebih dahulu adalah sektor riil. “Kalau sektor riil digerakkan, otomatis sektor keuangan akan mengikuti bisnis,” kata Aviliani.

Aviliani menuturkan, adalah suatu hal yang bahaya ketika sektor perbankan didorong jadi penggerak ekonomi, namun sektor riil tidak bergerak. Ini bisa menimbulkan rasio NPL meningkat. Realisasi pertumbuhan kredit nasional yang mencapai 8,3 persen pada 2016 tersebut, imbuh Aviliani, menunjukkan bahwa pergerakan sektor riil belum terjadi secara total. Hal ini khususnya terjadi karena melambatnya sektor pertambangan dan penggalian.

Pertumbuhan kredit perbankan per Mei 2017 tercatat Rp 4.453 triliun atau tumbuh 8,6%, lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya 9,4%. Dari data uang beredar BI, perlambatan terjadi karena melambatnya penyaluran kredit modal kerja dan kredit investasi. Penyaluran kredit modal kerja tercatat Rp 2.050 triliun tumbuh 8,5% lebih lambat dibandingkan bulan lalu yang tumbuh 10%.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara mengatakan untuk kredit investasi tumbuh 7,9% lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya. “Perlambatan pada kredit modal kerja terjadi karena melambatnya sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran, masing-masing tumbuh 28,9% dan 6,6% dari sebelumnya masing-masing 29,2% dan 9,8%,” kata Tirta.

 

BERITA TERKAIT

Survei BI : Kegiatan Dunia Usaha Meningkat di Triwulan I/2024

    NERACA Jakarta – Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Bank Indonesia (BI) mengindikasikan bahwa kinerja kegiatan dunia usaha…

BRI Catat Setoran Tunai Lewat ATM Meningkat 24,5%

  NERACA Jakarta – PT Bank Rakyat Indonesia Persero Tbk (BRI) mencatat setoran tunai melalui ATM bank tersebut meningkat sebesar 24,5 persen…

Bank DKI Jadi Penyumbang Deviden Terbesar ke Pemprov

    NERACA Jakarta – Bank DKI menjadi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) penyumbang dividen terbesar bagi Provinsi DKI Jakarta sepanjang…

BERITA LAINNYA DI Jasa Keuangan

Survei BI : Kegiatan Dunia Usaha Meningkat di Triwulan I/2024

    NERACA Jakarta – Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Bank Indonesia (BI) mengindikasikan bahwa kinerja kegiatan dunia usaha…

BRI Catat Setoran Tunai Lewat ATM Meningkat 24,5%

  NERACA Jakarta – PT Bank Rakyat Indonesia Persero Tbk (BRI) mencatat setoran tunai melalui ATM bank tersebut meningkat sebesar 24,5 persen…

Bank DKI Jadi Penyumbang Deviden Terbesar ke Pemprov

    NERACA Jakarta – Bank DKI menjadi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) penyumbang dividen terbesar bagi Provinsi DKI Jakarta sepanjang…