TIDAK SEBANDING KENAIKAN DANA PERIMBANGAN KE DAERAH - Indef Pertanyakan Orang Miskin Meningkat

Jakarta-Kajian tengah tahunan Institute Development of Economics and Finance (Indef) mempertanyakan, kinerja kabinet ekonomi pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK) yang masih belum mampu mengurangi jumlah orang miskin di Indonesia. Pasalnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa meskipun secara persentase menurun, jumlah orang miskin di Indonesia menunjukkan peningkatan.

NERACA

Menurut peneliti senior Indef Prof Dr Didiek J. Rachbini, angka yang dikeluarkan BPS tersebut menunjukkan bahwa program kemiskinan yang dikeluarkan pemerintah belum berdampak secara signifikan untuk mengurangi kemiskinan. Padahal, program yang dikeluarkan pemerintah untuk mengentaskan kesenjangan dan kemiskinan sudah banyak.

"Sebenarnya program pengurangan kemiskinan sudah banyak. Pemerintah mengeluarkan ekspansi APBN, diberikan pekerjaan di desa itu namanya cash forward, kemudian swasta seperti Gojek, Grab dan pekerjaan ritel yang tradisional harus dibuka sebanyak mungkin. Sehingga pengurangan kemiskinan signifikan. Sekarang tidak signifikan itu. Indikasi bahwa kabinetnya tidak melakukan satu target yang signifikan dan bagus. Ini berarti gagal mengurangi kemiskinan," ujarnya di Jakarta, Rabu (19/7).

Didiek mengatakan, pemerintah sejatinya telah menggelontorkan anggaran yang sangat besar untuk daerah. Sayangnya, anggaran yang tiap tahunnya naik berkali-kali lipat tersebut tidak diimbangi dengan kinerja pemerintah daerah yang semakin baik dan mampu mengentaskan kemiskinan di daerahnya.

Seharusnya, menurut dia, pemerintah pusat memberikan target kepada pemerintah daerah terkait pengentasan kemiskinan. Misalnya, jika angka kemiskinan tidak berkurang, maka anggaran untuk daerah tersebut akan dipotong. "Jadi tetap harus ada indikator QPA-nya. Kalau daerah itu kemiskinannya semakin banyak, anggarannya harus dipotong. Jangan dinaikkan begitu saja. DPR harus komit dengan itu juga. Jadi bekerja itu dengan ukuran, tidak serampangan seperti sekarang. Ini anggaran APBN banyak, kucuran ke desa banyak, tapi kemiskinan tidak berkurang banyak. Itu satu masalah, bahwa mesin kebijakan pemerintah tidak berjalan," ujarnya.

Indef juga menilai, peningkatan dana perimbangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, belum dibarengi dengan perbaikan ketimpangan kesejahteraan rakyat. "Peningkatan transfer dana perimbangan justru memperburuk ketimpangan," ujar Direktur Indef Enny Sri Hartati seperti dikutip  Antara, kemarin.

Enny menuturkan, pada tahun 2000 dana perimbangan untuk seluruh provinsi mencapai Rp29,9 triliun dan di tahun yang sama, indeks gini ratio masih berada di angka 0,3. Lalu satu dekade kemudian, dana perimbangan melonjak hingga 830% mencapai Rp278,7 triliun pada 2009.

Peningkatan drastis tersebut ternyata tidak diikuti dengan perbaikan jurang ketimpangan karena indeks gini malah naik menjadi 0,37. Ketimpangan pun semakin memburuk mencapai titik tertingginya sebesar 0,41 meski dana perimbangan telah digelontorkan Rp316,7 triliun pada 2011.

Bahkan, dengan bertambahnya dana perimbangan hingga lebih dari 150% dari 2011 menjadi Rp795,4 triliun pada 2016, indeks gini ratio hanya turun tipis 0,39. "Ketimpangan fiskal bisa dilihat dari bagaimana efektivitas dana transfer daerah jika kita bandingkan pasca dan sebelum otonomi daerah. Setelah otonomi daerah, ternyata indeks gini secara umum meningkat," ujarnya.

Seperti diketahui publik,  upaya formalisasi desentralisasi urusan keuangan daerah dimulai sejak disahkannya UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Bahkan, regulasi itu disempurnakan sehingga lahir UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang memberikan kewenangan atau otonomi bagi pemda untuk secara luas dan bertanggung jawab membangun daerahnya dengan kemampuan fiskal masing-masing.

Ekonomi Stagnan?

Sebelumnya BPS merilis jumlah masyarakat miskin di Indonesia mencapai 27,77 juta orang pada Maret 2017. Jumlah tersebut bertambah sekitar 10.000 orang dibanding kondisi September 2016 yang mencapai 27,76 juta orang.

Indef menilai bahwa saat ini kondisi ekonomi di negeri ini masih stagnan. Padahal, pemerintahan Jokowi-JK hampir memasuki usia tiga tahun. Menurut Didiek, ini tercermin dari nilai ekspor Indonesia yang justru merosot tajam, dimana pada 2013 realisasi ekspor Indonesia mampu tembus US$200 miliar, namun saat ini justru tidak mencapai US$100 miliar.

"Padahal, ekspor ini tanda dinamika kebijakan, kredit bank, employement, dan pemerintah hidup. Tapi sekarang, hampir nyaris US$100 miliar. Jadi separuh tergerus. Ini gawat. Satu angka saja mencerminkan hampir keseluruhan dinamika ekonomi di Indonesia," ujarnya.

Selain itu, konsumsi dan daya beli masyarakat yang sebelumnya menjadi andalan pemerintah justru anjlok. Bahkan, sejumlah peritel melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawannya karena sektor ritel yang tengah lesu saat ini. "Seluruh supermarket konsumsi yang dulu diandalkan sekarang anjlok semua. Hypermart lay-off karyawan. Tandanya daya beli melemah," ujarnya.

Didiek menilai, tingkat kesenjangan di negeri ini juga masih tinggi. Indonesia masuk tiga besar negara yang tingkat ketimpangan dan kesenjangannya paling tinggi. “Indeks gini rasio, walaupun ini pengeluaran dan tidak mencerminkan aset itu tetap naik. Indonesia termasuk tiga negara besar yang paling senjang di dunia. 1% dari pemilik akun di bank, menguasai 80% dari total uang. Itu kesenjangan luar biasa," ujarnya.

Ekonom Indef lainnya, Bustanul Arifin,  menjelaskan pada dasarnya otonomi daerah dimaksudkan agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam membangun daerahnya, yang selama Orba didikte oleh pemerintah pusat. Namun, hal tersebut justru tidak terjadi karena otonomi daerah hanya dijadikan sasaran untuk kekuasaan politik. "Kita salah mengambil lompatan kebijakan, yang hipotesis awal dengan ada pemda, pelayanan jadi dekat ke rakyat," ujarnya.

Di era otonomi daerah, menurut Bustanul, pemerintah pusat memberikan sokongan kepada pemda untuk membangun daerahnya dengan menggelontorkan dana perimbangan. Dana perimbangan tersebut terdiri dari dana alokasi umum (DAU), dana bagi hasil (DBH), dan dana alokasi khusus (DAK) yang nilainya terus meningkat dari tahun ke tahun.

Namun demikian, peningkatan dana perimbangan tersebut justru tidak diimbangi dengan perbaikan ketimpangan. Pada 2011, dana perimbangan yang digelontorkan pemerintah pusat mencapai Rp316,7 triliun namun indeks gini rasio masih sebesar 0,41.

Menurut dia, otonomi daerah sejatinya merupakan capaian luar biasa untuk Indonesia pasca Orba yang harus dimanfaatkan secara optimal. Jika tidak, maka Indonesia akan kehilangan momentum untuk mencapai perbaikan ekonomi nasional.

"Beberapa hal yang bisa diupayakan adalah struktur pembangunan ekonomi di daerah khususnya di provinsi perlu ditata ulang. Dan peningkatan dana perimbangan harus diikuti kualitas belanja daerah yang baik. Karena jika tidak, maka itu tidak akan dapat menyelesaikan ketimpangan di daerah," ujarnya.

Sebelumnya Kepala BPS Kecuk Suhariyanto mengungkapkan, secara nasional gini rasio Indonesia selama periode 2010 hingga September 2014 terus mengalami fluktuasi, dan mulai Maret 2015 hingga Maret 2017 nilainya mulai menurun. Dia mengklaim bahwa, selama periode Maret 2015 hingga Maret 2017 terjadi perbaikan pemerataan pengeluaran di Indonesia.

"Tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh gini rasio pada Maret 2017 sebesar 0,393%," ujarnya di Jakarta, awal pekan ini. Rinciannya adalah, gini rasio di daerah perkotaan pada Maret 2017 sebesar 0,407 atau turun dibanding September 2016 yang sebesar 0,409 dan Maret 2016 yang sebesar 0,410. Sementara di pedesaan, gini rasionya sebesar 0,320.

"Gini rasio di pedesaan pada Maret 2017 sebesar 0,320, naik dibanding gini rasio September 2016 yang sebesar 0,316 dan turun dibanding Maret 2016 yang sebesar 0,327," ujarnya.

Jumlah masyarakat miskin menurut data BPS, mencapai 27,77 juta orang pada Maret 2017. Jumlah tersebut bertambah sekitar 10.000 orang dibanding kondisi September 2016 yang mencapai 27,76 juta orang. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…