Tantangan Buat KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi KPK) saat ini menghadapi perlawanan serius dari pihak DPR. Upaya pelemahan tidak saja dilakukan dari satu sisi, melainkan banyak upaya pelemahan KPK yang kerap dipandang publik seakan-akan ada pihak yang merasa resah dengan kehadiran lembaga antirasuah tersebut.

Konkretnya pelemahan itu bisa dalam bentuk upaya merevisi UU pemberantasan korupsi yang mengatur ruang gerak KPK, pernyataan politik yang mendegradasi KPK, sampai pada tingkat teror yang menimpa penyidik senior KPK Novel Baswedan belakangan ini. Namun di balik upaya pelemahan, muncul berbagai kekuatan civil society yang merupakan dukungan publik terhadap eksistensi keberadaan KPK.

Titik kulminasi upaya pelemahan tersebut adalah munculnya hak angket DPR atas kinerja lembaga antirasuah tersebut. Banyak pihak menilai hak angket ini adalah bagian upaya ‘melemahkan’ KPK. Hak angket ini lahir dari hasil komunikasi DPR dalam hal ini Komisi III bersama KPK terkait kasus e-KTP yang diduga banyak melibatkan anggota dan mantan anggota DPR.

Kita menyayangkan terjadinya adu kekuatan seperti itu. Apabila kondisi saat rapat kerja dengan Komisi III DPR (18/4), KPK dapat “menahan diri” tentu keinginan sebagian anggota DPR terhadap hak angket tidak akan menguat. Mengapa anggota DPR “ngotot” hak angket tersebut?

Menurut anggota DPR, hal ini disebabkan munculnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 25/PUU-XIV/2016. Ada dua putusan MK yang berbeda dalam menguji norma yang sama tentu menjadi dilema tersendiri bagi KPK. Pasal 2 ayat (1) UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) merupakan salah satu norma yang menjadi objek pengujian UU terhadap UUD 1945 (judicial review) di  MK terhadap perkara No. 003/PUU-IV/2006 dan perkara No. 25/PUU-XIV/2016.

Persoalan muncul bagi KPK ketika terdapat frasa ‘dapat’ yang dirumuskan dalam pasal tersebut oleh MK melalui putusannya Nomor 25/PUU-XIV/2016 dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Padahal di tahun 2006, MK menguji frasa ‘dapat’ dalam norma Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor tidak dianggap sebagai norma yang bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional).

Bagaimanapun KPK memahami putusan MK merupakan putusan yang bersifat final. Hal ini berarti putusan MK adalah putusan yang langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Ironisnya, MK justru menganulir putusannya sendiri dengan memberikan putusan berbeda.

Berbeda dengan Mahkamah Agung (MA), MK memiliki keistimewaan tersendiri. Dalam wewenangnya, setiap perkara yang diputus MK bersifat final, sedangkan MA, dalam setiap perkara yang diputusnya masih ada peluang untuk melakukan upaya hukum, yakni upaya hukum dalam bentuk peninjauan kembali (PK).

Adanya perbedaan paradigma politik hukum di MK dalam memutuskan putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 patut dipahami. Perbedaan ini terlihat saat MK berpendapat bahwa unsur merugikan keuangan negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss) namun harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss). Dari berbagai pertimbangan itulah kemudian MK tidak lagi menyatakan konstitusional terhadap frasa ‘dapat’ dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor.

Dengan demikian, KPK dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pemberantas korupsi haruslah mengacu pada putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016. Karena jika mengacu pada asas Lex Post Teriori derogate legi priori  tersebut, maka putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 merupakan putusan terakhir terhadap tafsiran norma Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Hal ini berarti, dalam upaya pemberantasan korupsi, KPK perlu melakukan pembuktian terlebih dahulu ada atau tidaknya kerugian keuangan yang dialami oleh negara akibat perbuatan yang dilakukan terduga korupsi.

Konsekuensi hukum ini tentu berdampak pada semakin lambatnya penanganan tindak pidana korupsi. Tak hanya itu, konsekuensi ini semakin diperparah dengan munculnya sejumlah teror dan intervensi yang akan membuat KPK semakin kewalahan. Munculnya hak angket DPR pun tak bisa disalahkan sepenuhnya. Namun, menggulirkan hak angket di tengah hiruk pikuk yang dihadapi KPK belakangan ini merupakan langkah yang kurang tepat.

BERITA TERKAIT

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…