APBN Tersandera Utang

Kondisi defisit anggaran dalam RAPBN-P 2017 cukup mengkhawatirkan saat ini. Pasalnya, batas ambang sebesar maksimum 3% dari produk domestik bruto (PDB) sudah hampir tersentuh (2,92%). Jika tidak dikendalikan ekstra ketat, maka pemerintah bisa dituding melanggar UU Keuangan Negara, bila defisit dibiarkan melampaui 3%.  

Kita cukup terkejut melihat defisit mencapai angka sebesar itu. Padahal sebelumnya pemerintah mentargetkan defisit anggaran dipatok 2,41%. Namun pemerintah berdalih, angka defisit belum termasuk penghematan yang sifatnya alamiah dan kemungkinan realisasi defisit akan berada di level 2,6% terhadap PDB. Tentu saja alasan pemerintah itu tidak bisa begitu saja diterima, mengingat pada 2015 defisit anggaran dipatok 1,9%, tapi realisasinya menembus 2,8% pada akhir tahun.

Apabila perkiraan awalnya sudah 2,92%, yang terburuk justru bisa melampaui 3%. Apalagi, dalam RAPBN-P 2017 pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5,2%. Faktanya melihat berbagai indikator seperti stagnasi konsumsi rumah tangga pada triwulan pertama, penjualan riset merosot tajam saat Lebaran, dan inflasi inti yang rendah per Juni 2017 tampaknya sulit mewujudkan pertumbuhan ekonomi 5,2%.

Prediksi hingga akhir tahun pertumbuhan ekonomi akan berada di kisaran 5,05-5,1%. Sungguh formulasi kebijakan fiskal kali ini cukup membingungkan. Misalnya dari sisi asumsi makro, target harga minyak dinaikkan menjadi US$50 per barel dari sebelumnya US$45 per barel. Padahal, harga minyak di pasaran kian merosot sejak pertengahan April lalu.

Kini harga minyak jenis WTI (7/7) tercatat US$44,23 per barel atau merosot 17,7% dibanding posisi April 2017. Outlook harga minyak masih sangat fluktuatif dengan kecenderungan menurun pada semester II mendatang. Imbas dari penetapan harga minyak US$50 per barel membuat kondisi belanja pemerintah juga membengkak Rp30,9 triliun dari kesepakatan awal.

Diantaranya pembengkakan berasal dari subsidi energi yang naik dari Rp77,3 triliun menjadi Rp103,1 triliun. Selain itu, subsidi listrik juga ikut melonjak Rp7 triliun. Langkah pemerintah dalam memperbesar belanja subsidi berkaitan erat dengan motif politik, di mana pemerintah ingin menjaga agar harga BBM bersubsidi dan listrik tidak melonjak sampai akhir tahun.

Maklum, sebentar lagi pemerintah menghadapi tahun politik, segala kebijakan yang kurang populis harus dihindari. Namun, langkah unik menambah belanja subsidi energi di tengah tren penurunan harga minyak di pasaran juga menimbulkan konsekuensi. Harus ada belanja yang dikorbankan. Belum lama ini muncul Instruksi Presiden Nomor 4/2017 untuk menghemat belanja operasional senilai Rp16 triliun di internal kementerian/ lembaga (K/L).

Dalam inpres tersebut muncul istilah self locking alias pemblokiran dana yang intinya sama saja dengan pemangkasan anggaran. Pemblokiran dana mencakup perjalanan dinas dan paket meeting, honorarium tim/kegiatan, belanja operasional perkantoran, belanja jasa, belanja pemeliharaan, belanja barang operasional dan nonoperasional lainnya. Cerita penghematan anggaran memang bukan terjadi tahun ini saja.

Pada 2016 saat pergantian menteri keuangan lama (Bambang Brodjonegoro) ke Sri Mulyani Indrawati, terjadi pemotongan anggaran sebesar Rp137,6 triliun. Dan, dari penghematan anggaran itu muncul konsekuensi terhadap sektor riil. Sektor yang paling kena dampak dari pemangkasan anggaran perjalanan dinas dan rapat adalah pertumbuhan bisnis perhotelan dan restoran turun dari 4,68% menjadi 4,47% pada triwulan akhir 2016.

Nah, ini ibarat buah simalakama, untuk mengurangi defisit apabila belanja tidak dikurangi, opsi lain yang tak kalah berbahaya adalah menambah utang baru. Dengan meningkatnya defisit anggaran, kebutuhan utang otomatis meningkat. Misalnya, realisasi faktual defisit menjadi 2,67%, maka surat utang diprediksi akan bertambah hingga Rp33 triliun-Rp67,3 triliun.

Sebelumnya prediksi kebutuhan pendanaan utang Rp400 triliun, kini terancam bengkak menjadi Rp.467,3 triliun. Otomatis, dengan penambahan penerbitan SBN, rasio utang terhadap PDB akan mendekati 28-29%. Artinya, batas aman 30% sesuai konsensus internasional bisa terlewati. Pemerintah bukan tidak tahu akan konsekuensi ini, namun jalan pintas ini sudah jadi tradisi yang dimaklumi. Waspadalah ancaman defisit tersebut!

BERITA TERKAIT

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…

Kedewasaan Berdemokrasi

Masyarakat dan segenap elemen bangsa Indonesia saatnya harus menunjukkan sikap kedewasaan dalam menjunjung tinggi asas serta nilai dalam berdemokrasi di…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…

Kedewasaan Berdemokrasi

Masyarakat dan segenap elemen bangsa Indonesia saatnya harus menunjukkan sikap kedewasaan dalam menjunjung tinggi asas serta nilai dalam berdemokrasi di…