Internasionalisasi Kasus Biak Berdarah, Berhasilkah?

 

Oleh : Alexa Christina, Peneliti di LSISI, Jakarta

            Peristiwa “Biak Berdarah” atau dikenal dengan peristiwa Tower terjadi pada 6 Juli 1998. Peristiwa ini diawali dengan tindakan pengibaran bendera Bintang Kejora yang merupakan milik kelompok separatis di Papua disebuah tower berketinggian 35 meter yang berada dekat pelabuhan laut Biak, Papua Barat. Bendera tersebut berkibar sejak tanggal 2 Juli sampai dengan 6 Juli 1998. Massa yang diduga pendukung separatis Papua merdeka menari dan menyanyi serta meneriakkan merdeka-merdeka. Bahkan mereka menggelar mimbar terbuka, dimana salah satu aktivis yang bergabung dengan massa saat itu yaitu Yopy Karma menyampaikan atau membacakan tuntutan aspirasi yang mengatasnamakan masyarakat Biak untuk merdeka atau lepas dari NKRI.

             Mengingat situasi yang tidak kondusif saat itu, Bupati Biak waktu itu didampingi unsur aparat keamanan dari TNI dan Polri menghimbau agar unjuk rasa tersebut dihentikan, namun himbauan ini kurang dihargai atau digubris oleh massa pengunjuk rasa yang didominasi sejumlah anggota dan simpatisan organisasi separatis Papua, sehingga saat itu aparat Polri dan TNI melakukan tindakan yang dinilai berbagai kalangan di Biak, Papua Barat dengan sinis karena berlebihan bahkan sarat pelanggaran HAM berat.

            Bahkan, pasca kejadian tersebut upaya internasionalisasi terhadap kasus Biak berdarah ini dilakukan oleh sejumlah kalangan sampai saat ini, dengan alasan mereka tidak puas dengan langkah-langkah pemerintah untuk menyelesaikan kasus ini. Seorang tokoh Dewan Adat Biak misalnya menilai peristiwa Biak sebagai peristiwa pembantaian kemanusiaan karena tidak manusiawi dan tidak menghormati nilai-nilai universal HAM. Oleh karena itu, mengatasnamakan Dewan Adat Biak, tokoh ini meminta dukungan dari Uni Eropa dan masyarakat international untuk dapat membantu mengugat peristiwa pembantaian tersebut, bahkan menuntut penentuan nasib sendiri dalam rangka penyelamatan rakyat Papua.

Konon, para korban pelanggaran hak asasi manusia di Papua, termasuk korban Biak Berdarah 1998 menolak solusi apapun yang ditawarkan pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua. Pendamping para korban Biak Berdarah, Ferry Marisan mengatakan para korban sudah frustasi terhadap langkah-langkah pemerintah selama ini, dan mereka hanya punya satu keinginan yaitu merdeka.  Ferry mengatakan para korban sudah kecewa karena pemerintah pusat maupun daerah tidak pernah memperhatikan kasus pelanggaran itu selama belasan tahun. 

Ferry Marisan merupakan Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua. ELSHAM Papua mendampingi para korban Biak Berdarah 1998 selama 16 tahun. Sampai saat ini ada 58 korban maupun keluarga korban peristiwa tersebut.

Direktur Eksekutif ELSHAM Papua Ferry Marisan menambahkan para korban sudah tidak percaya dengan lembaga-lembaga pemerintah, termasuk dari Komnas HAM. Karena selama ini penyelesaian kasus pelanggaran HAM Papua tidak pernah memuaskan mereka. Akhir pekan lalu, Komnas HAM perwakilan Papua bertemu dengan para korban kasus pelanggaran HAM berat, termasuk kasus Biak Berdarah mengenai opsi-opsi penyelesaian kasus penyelesaiannya.

"Para korban itu inginnya lembaga independen internasional yang turun ke Papua, menyelidiki secara menyeluruh pelanggaran HAM yang terjadi di Papua," tambah Ferry Marisan.

Dalam perkembangan terakhirnya, rencana peringatan “Hari Biak Berdarah” pada 6 Juli 2017 akan dilakukan beberapa kelompok komite Aliansi Mahasiswa Papua yang ada di berbagai daerah di Papua dan luar Papua dalam bentuk ibadah syukur maupun aksi unjuk rasa. Kelompok-kelompok ini juga telah melakukan konsolidasi di berbagai daerah untuk menggaungkan kembali tuntutan agar kasus Biak berdarah segera dilaksanakan.

Tidak Akan Berhasil

Pernyataan seorang tokoh Dewan Adat Biak yang meminta dukungan dari Uni Eropa dan masyarakat international untuk dapat membantu mengugat peristiwa pembantaian tersebut, bahkan menuntut penentuan nasib sendiri dalam rangka penyelamatan rakyat Papua jelas bernuansa adanya keinginan untuk menginternasionalisasi masalah Papua.

Harus diakui bahwa upaya internasionalisasi masalah Papua bukan terjadi kali ini saja. Manuver yang dilakukan International Lawyer for West Papua (ILWP) dan upaya tanggal 25 Oktober 2000, Direktur Lembaga Study dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua, John Rumbiak menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Greg Sword, anggota parlemen tingkat negara bagian Melbourne dari Partai Buruh, yang intinya mereka mendukung setiap gerakan separatis Papua.   Sejak tahun 2000, Bob Brown dari partai Hijau dan senator aktif memotori terbentuknya Parliamentary Group on West Papua. Pada 2003, Bob mengkampanyekan masuknya beberapa submisi kepada parlemen Australia dengan mengangkat pelurusan sejarah Irian Jaya dan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Irian Jaya.

Ada juga Senator Kerry Nettle dari Partai Hijau terlibat memperjuangkan suaka politik bagi 42 warga Papua. Bahkan, pada 2 April 2006 Nettle mendapatkan penghargaan “Mahkota Papua” dari kelompok pro-separatis di Sydney.   Selain itu ada juga, Senator Andrew Barlet dari Partai Demokrat Australia, ia mendukung kampanye penentuan nasib (self determination) bagi rakyat Irian Jaya. Barlet juga pernah mengirimkan surat kepada Sekjen PBB untuk meninjau kembali keabsahan Pepera 1969.

Parliamentary Group on West Papua yang dimotori oleh Bob Brown juga didukung oleh organisasi internasional seperti Asia Pacific Human Rights Network (APHRN), West Papua Action Australia (WPA-A), Action in Solidarity With East Timor (ASIET), Australian Council for Overseas Aid (ACFOA), East Timor Action Network (ETAN) dan The Centre for People and Conflict Studies The Unversity of Sydney. Lembaga yang terakhir itu memiliki proyek yang disebut West Papua Project (WPP) dan dipimpin oleh Prof Stuart Rees, seorang peneliti dan penulis tentang Indonesia.  Prof Denis Leith juga turut memberikan dukungan terhadap pro kemerdekaan Papua dengan cara membantu penggalangan dana bagi WPP.

Upaya itu secara lebih masif pernah terjadi pada tahun 2006. Pada tahun 2005, anggota Kongres AS pernah mempermasalahkan proses bergabungnya Irian Barat (Papua) pada Indonesia.  Padahal, sejarah mencatat bahwa pendukung utama penyatuan tersebut adalah Amerika sendiri.  Persoalan Indonesia dipandang sebagai persoalan AS.

Upaya internsionalisasi masalah Papua itu mungkin terinspirasi oleh proses internasionalisasi masalah Timtim.  Begitu begitu terjadi kerusuhan setelah jajak pendapat di Timtim yang penuh dengan kecurangan, 200 warga Negara Timtim dibawa ke Australia. Oleh anggota konggres dan LSM Australia untuk mereka dijadikan sebagai alasan untuk membawa masalah Timtim ke Komisi HAM Internasional.  Lalu hal itu dijadikan alat untuk memastikan lepasnya Timtim.  Karena dengan alasan terjadinya pelanggaran HAM maka keberadaan UNAMET oleh banyak pihak dinilai sebagai operator yang sebenarnya dari lepasnya Timtim akan terjamin dengan mandat dari PBB.  Dan dengan itu maka lepasnya Timtim menjadi negara merdeka dapat dipastikan.

Adapun internasionalisasi masalah Papua pada dasarnya memiliki substansi yang sama dengan proses yang terjadi di Timtim.  Intinya adalah untuk mendorong PBB atau dunia internasional untuk meninjau kembali bergabungnya Papua dengan Indonesia.  Maka untuk itu sebagai bagian tak terpisahkan Pepera harus dianggap tidak sah.  Karena itulah bisa dipahami adanya propaganda yang menyatakan Pepera 1969 sebagai sesuatu yang tidak sah.  Jika hal itu diterima oleh PBB dan dunia internasional, maka konsekuensinya adalah rakyat Ppaua harus diberikan hak untuk menentukan nasib mereka sendiri dan itu artinya harus dilaksanakan referendum.  Itulah yang sesungguhnya menjadi tujuan akhir dari upaya internasionalisasi masalah Papua.  Ujung-ujungnya adalah supaya Papua lepas dari wilayah Indonesia.

Dan ternyata upaya internasionalisasi itu belum berdampak apapun alias tidak berhasil. Hal ini setidaknya menyadarkan masyarakat Papua pada khususnya dan Indonesia pada umumnya bahwa masalah Papua hanyalah “barang dagangan atau konsumsi politik” semata bagi para avonturir politisi asing yang berkolaborasi dengan para komprador asing yang ada di Papua maupun daerah lainnya di Indonesia.

Masyarakat Papua perlu menyadari bahwa pemerintah Indonesia saat ini serius memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua, sehingga akan lebih baik jika masyarakat Papua turut serta atau berpartisipasi dalam pembangunan tersebut daripada ikut ajakan politik kelompok separatis Papua dan pendukungnya yang sebenarnya sarat dengan tujuan pragmatis elit-elitnya untuk terus menjadikan beragam masalah Papua sebagai “konsumsi politik” saja. 

BERITA TERKAIT

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…

BERITA LAINNYA DI Opini

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…