Dibalik Gulung Tikarnya 7-Eleven - Buntut Peraturan Yang Kurang Kondusif

NERACA

Jakarta-- Lembaga pemeringkat internasional, Fitch Ratings menilai pemberhentian operasional gerai 7-Eleven di Indonesia tidak menunjukkan terdapatnya masalah industri ritel di Indonesia, namun mencerminkan keadaan yang khas pada waralaba tersebut.

Direktur Fitch Ratings Indonesia, Olly Prayudi dalam siaran persnya di Jakarta, Senin (3/7) mengatakan, pihaknya meyakini penutupan toko oleh pemegang waralaba, PT Modern Internasional Tbk (MDRN) menggarisbawahi risiko peraturan yang berkembang dan pentingnya model bisnis yang solid untuk profil utang ritel.

Seperti diketahui, Modern Internasional menyatakan menutup semua gerai 7-Eleven di bawah pengelolaannya pada 30 Juni 2017 karena kurangnya sumber daya untuk mendanai operasional tokonya. Pengumuman tersebut dibuat beberapa minggu setelah kesepakatan untuk menjual anak perusahaannya yang mengoperasikan rantai 7-Eleven ke PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk gagal.”Model bisnis Internasional Internasional untuk rantai 7-Eleven di Indonesia dirusak oleh perkembangan peraturan yang kurang kondusif," ujar Olly.

Perusahaan menutup sekitar 25 gerai pada 2016, meninggalkan perusahaan dengan 161 toko. Adapun pada 2015 Modern Internasional memiliki lebih dari 185 gerai 7-Eleven. “Hal itu terjadi setelah Kementerian Perdagangan pada April 2015 yang melarang penjualan minuman beralkohol untuk ritel modern dan kecil, yang berkontribusi sekitar 15 persen dari penjualan Modern Internasional," ungkap Olly.

Penutupan toko pada akhirnya menghasilkan penurunan penjualan sebesar 28% dan munculnya rugi sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi di tahun 2016, sehingga profil keuangan perusahaan tidak berkelanjutan.”Fitch percaya bahwa masalah ini diperburuk dengan tidak adanya perbedaan yang jelas antara gerai 7-Eleven dengan restoran cepat saji dan restoran menengah di Indonesia," jelasnya.

Olly menjelaskan, model bisnis dan risiko dari gerai 7-Eleven serupa dengan restoran. Salah satu persamaannya adalah menyediakan makanan dan minuman siap saji dengan tempat duduk dan Wi-Fi gratis. “Akibatnya, jaringan gerai tersebut menghadapi persaingan yang ketat dari restoran cepat saji dan penjual makanan tradisional, yang masih sangat populer di kalangan konsumen Indonesia," ujarnya.

Profil risiko bisnis ini, lanjut Olly, berbeda signifikan dengan minimarket dan toserba lainnya, seperti Alfamart dan Indomaret, yang memberi penekanan lebih besar pada produk belanja kebutuhan dan memiliki jaringan yang lebih besar di seluruh negeri.”Toko 7-Eleven juga memiliki biaya sewa yang lebih tinggi daripada toko serba ada lainnya karena gerai tersebut menawarkan area tempat duduk, yang membutuhkan area toko yang lebih besar," jelasnya.

BERITA TERKAIT

Metropolitan Land Raih Marketing Sales Rp438 Miliar

NERACA Jakarta – Emiten properti, PT Metropolitan Land Tbk (MTLA) atau Metland membukukan marketing sales hingga kuartal I-2024 sebesar Rp…

Hartadinata Tebar Dividen Final Rp15 Per Saham

Rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST) PT Hartadinata Abadi Tbk. (HRTA) akan memberikan dividen final tahun buku 2023 sebesar Rp15…

Kenaikan BI-Rate Positif Bagi Pasar Modal

NERACA Jakarta  - Ekonom keuangan dan praktisi pasar modal, Hans Kwee menyampaikan kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) atau BI-Rate…

BERITA LAINNYA DI Bursa Saham

Metropolitan Land Raih Marketing Sales Rp438 Miliar

NERACA Jakarta – Emiten properti, PT Metropolitan Land Tbk (MTLA) atau Metland membukukan marketing sales hingga kuartal I-2024 sebesar Rp…

Hartadinata Tebar Dividen Final Rp15 Per Saham

Rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST) PT Hartadinata Abadi Tbk. (HRTA) akan memberikan dividen final tahun buku 2023 sebesar Rp15…

Kenaikan BI-Rate Positif Bagi Pasar Modal

NERACA Jakarta  - Ekonom keuangan dan praktisi pasar modal, Hans Kwee menyampaikan kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) atau BI-Rate…