Waspadai Pemborosan THR

Suasana Hari Raya Idul Fitri kini semakin dekat. Pemerintah memprediksikan bahwa jumlah perputaran uang yang akan mengalir ke daerah mencapai kisaran Rp 7 triliun. Tidak heran jika perbankan menyiapkan dana tunai hingga Rp 150 triliun untuk kebutuhan perusahaan memberikan tunjangan hari raya (THR) kepada karyawannya, bahkan pemerintah sendiri juga memberikan gaji ke-13 dan THR bagi PNS.

Menjelang dan saat Hari Raya Idul Fitri tiba, tingkat konsumsi masyarakat pun meningkat berlipat ganda. Berbagai kebutuhan untuk keperluan lebaran terus diupayakan dapat terpenuhi. Sehingga menimbulkan pertanyaan, mengapa di saat Idul Fitri masyarakat kita cenderung membelanjakan uangnya dengan lebih boros?

Jika menyimak teori perilaku ekonomi pada konteks tertentu telah menjadi bahasan klasik yang diminati oleh psikolog sosial dan ekonom seperti Richard Thaler dan Daniel Kahneman. Tokoh-tokoh di atas dikenal sebagai tokoh utama bidang ekonomi keperilakuan (behavioral economics), yakni bidang ekonomi yang mempercayai bahwa perilaku ekonomi manusia dipengaruhi aspek psikologis, kognitif, dan sisi-sisi emosional manusia yang irasional.

Tinjauan ekonomi keperilakuan ini merupakan antitesis dari pandangan ekonomi neo-klasik sebagaimana diperkenalkan oleh Adam Smith. Ide utamanya adalah bahwa manusia adalah makhluk yang rasional dengan mengedepankan logika-logika ekonomi. Pandangan ini pula percaya bahwa pain and gain yang dirasakan oleh manusia ditentukan oleh seberapa jauh manusia berperilaku secara logis, yakni dengan pengorbanan sekecil-kecilnya, berupaya mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Namun, perilaku ekonomi sebagian besar masyarakat di saat Lebaran, kita akan lebih melihat kecenderungan manusia yang menunjukkan sisi irasionalnya. Pembelian barang dan jasa dilakukan dengan lebih royal dan tanpa kontrol. Kondisi ini semakin diperkuat dengan munculnya strategi pemasaran dari toko yang menawarkan diskon besar-besaran berbatas waktu saat suasana Lebaran. Semua barang dan jasa terlihat lebih murah daripada biasanya, sehingga membuat banyak individu terjebak dalam pembelanjaannya. Karena seorang individu dapat membelanjakan uangnya dengan lebih royal dengan cara berbeda, tergantung asal dan kegunaan uang tersebut.

Sebenarnya, uang memiliki nominal netral dengan besaran akumulatif yang bersifat matematis. Namun saat mengelola uangnya, individu cenderung tanpa sadar mengelompokkan uang tertentu untuk kepentingan tertentu. Sadar atau tidak sadar, secara psikologis kita mengelompokkan uang kita dalam segmen tertentu untuk kepentingan tertentu. Pengelompokan inilah yang kemudian akan memberikan pembenaran atau rasionalisasi pada struktur kognitif manusia saat melakukan transaksi ekonomi.

Bila kondisi tersebut ditarik ke perilaku ekonomi manusia pada Hari Raya Idul Fitri, maka kita akan mendapati bahwa istilah THR sebenarnya memiliki fungsi sebagai salah satu sumber pembentuk akuntansi psikologis sekaligus sumber rasionalisasi saat belanja. Melalui penerimaan THR, skema kognisi kita membentuk sebuah mekanisme rasionalisasi bahwa uang ini untuk kepentingan belanja kebutuhan Hari Raya.

Dampaknya, seluruh transaksi ekonomi yang dilakukan pada hari raya dan menggunakan THR akan cenderung lebih mendapatkan pembenaran. Bahkan ini berlaku sekalipun jumlah nominal belanja secara akumulatif jauh lebih mahal dan boros daripada jumlah belanja pada periode-periode normal. Ini berbahaya. Pasalnya, setelah Lebaran dipastikan masyarakat menghadapi berbagai lonjakan harga barang yang diatur pemerintah (administered price) seperti rencana kebaikan harga BBM, tarif tol, harga gas elpiji dan lain-lain.

Karena itu, kita perlu waspada dengan mental akuntansi psikologis dengan tetap memasukkan THR sebagai pendapatan, bukan sebagai tunjangan. Artinya, pengelolaan THR harus benar-benar cermat untuk menghadapi situasi ekonomi yang setiap saat berubah. Semoga!

BERITA TERKAIT

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

Persatuan dan Kesatuan

Pasca Pemilihan umum (Pemilu) 2024, penting bagi kita semua untuk memahami dan menjaga persatuan serta kesatuan sebagai pondasi utama kestabilan…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

Persatuan dan Kesatuan

Pasca Pemilihan umum (Pemilu) 2024, penting bagi kita semua untuk memahami dan menjaga persatuan serta kesatuan sebagai pondasi utama kestabilan…