DPR BAHAS SOAL NILAI SALDO PELAPORAN REKENING BANK - Indef: Perlu Gencar Sosialisasi Keterbukaan AEoI

Jakarta-Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengingatkan pemerintah perlu meningkatkan sosialisasi keterbukaan informasi keuangan terkait kesepakatan internasional AeoI (Automatic Exchange of Information) secara masif dengan memanfaatkan akses E-KTP, agar tidak menimbulkan rasa takut di masyarakat yang selama ini sudah patuh membayar pajak.

NERACA

“Melalui sarana E-KTP sebenarnya sudah terdeteksi semua data masyarakat termasuk kepatuhan perpajakannya, jadi tidak perlu menyasar ke warga yang belum atau sudah memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Ini untuk menghilangkan rasa ketakutan masyarakat yang belum memiliki NPWP,” ujar Aviliani, ekonom senior Indef ketika dihubungi Neraca, Rabu (14/6).

Dalam hal sosialisasi batas saldo rekening bank yang wajib dilaporkan, Aviliani mengatakan bahwa sosialisasi nanti harus benar-benar menjelaskan bahwa kepentingan penerbitan Perppu No 1/2017 pada intinya ada dua hal. Pertama, khususnya bagi kepentingan WNI dengan saldo minimal Rp 1 miliar yang wajib dilaporkan oleh lembaga keuangan ke Ditjen Pajak. Kedua, khusus bagi WNA yang memiliki saldo minimal US$250 ribu atau setara Rp 3,3 miliar di rekening perbankan di Indonesia yang wajib dilaporkan ke Ditjen Pajak.

Hanya dalam implementasi pelaksanaan Perppu tersebut, menurut dia, pemerintah jangan inkonsisten dalam penjabaran petunjuk pelaksanaannya, karena dapat berpotensi menimbulkan kerancuan di masyarakat.

Pekan lalu, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 70/2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Dalam aturan tersebut disebutkan bahwa perbankan harus melaporkan data nasabah yang memiliki saldo rekening di atas Rp 200 juta otoritas pajak. Tak sampai sepekan, pada Rabu (7/6), Menteri Keuangan memutuskan mengubah dengan menaikkan batas saldo yang dilaporkan menjadi Rp 1 miliar. Ini pun setelah kritik berdatangan dari pengamat dan kalangan pengusaha terutama pelaku UMKM.

Aviliani menilai bahwa perubahan batas saldo belum dijelaskan secara rinci oleh pemerintah. Indef berpandangan bahwa tujuan utama dari aturan ini seharusnya untuk menarik dana repatriasi WNI di perbankan luar negeri. Namun sayang, aturan ini justru memberikan kesan bahwa pemerintah ingin menarik potensi pajak dari dalam negeri. Angka Rp 1 miliar pun, meski sudah dinaikkan dari sebelumnya sebesar Rp 200 juta, dinilai masih perlu dipertanyakan.

Aviliani menjelaskan, pemerintah tetap tidak akan bisa menganilisis pendapatan dan menjaring penambahan penerimaan pajak hanya dengan meminta dana saldo. Menurutnya, saldo tidak bisa memberikan gambaran detail soal pendapatan seseorang dan potensi pajak yang bisa ditarik darinya. Ia mencontohkan, bisa saja seseorang menabung dengan rajin selama puluhan tahun dan akhirnya mengumpulkan gajinya yang sebetulnya di bawah Rp 4,5 juta (pendapatan tak kena pajak) hingga menyentuh angka Rp 1 miliar. Artinya, meski secara batas saldo ia wajib dilaporkan, namun secara hukum nasabah tersebut tetap tidak wajib memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). "Jadi menurut saya tidak akan efektif kalau hanya melihat saldo," ujar Aviliani.

Dia mengajukan sejumlah alternatif bagi pemerintah untuk bisa menjaring penerimaan pajak lebih banyak, selain sekadar menyeleksi rekening-rekening di atas Rp 1 miliar. Pertama, menurutnya, pemerintah bisa menggunakan data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang diserahkan oleh pihak perbankan. Data dari PPATK dinilai lebih ampuh untuk menjerat para pengemplang pajak bila memang ditemukan adanya transaksi mencurigakan.

Sedangkan untuk meningkatkan kepatuhan pajak bagi masyarakat kelompok ekonomi menengah, pemerintah bisa menggunakan data kepemilikan usaha yang ada di Kementerian Hukum dan HAM. Apalagi dengan aturan perjakan yang ada, kata dia, setiap pelaku UMKM diwajibkan memiliki NPWP demi menyetor pajak sebesar 2% dari omzet yang ada. Data ini dianggap lebih realistis dan bisa menggambarkan sepenuhnya potensi perpajakan yang ada di Indonesia.

"Walau bank pada dasarnya setuju. Indef juga setuju karena ke depan nggak ada lagi rahasia. Namun masalahnya jangan sampai data bank dimanfaatkan secara negatif oleh aparat. Makanya bank mau serahkan namun dengan gunakan sistem," ujar Aviliani.

Selain itu, dia mengingatkan pemerintah bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerapkan Sistem Penyampaian Informasi Nasabah Asing (SiPINA) untuk kerja sama pertukaran informasi keuangan secara otomatis (AEoI). Sistem ini sudah diundangkan menyusul terbitnya Undang-undang Kepatuhan Pajak Warga Asing atau Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) oleh pemerintah Amerika Serikat.

Aviliani menyebutkan, keterbukaan informasi keuangan adalah suatu keniscayaan yang tak terhindarkan. Hanya saja, perlu dilakukan suatu mekanisme yang bijak dan tidak menimbulkan huru-hara. Ia kembali mengingatkan pemerintah ketika belasan bank ditutup pada krisis moneter 1997-1998 lalu. Ketika itu terjadi kepanikan masyarakat, terlihat dari riuhnya nasabah yang ramah menarik uang tunainya dari bank. Kepanikan seperti ini, lanjutnya, bisa terjadi menyusul penerapan keterbukaan informasi keuangan bila tidak dibarengi dengan sosialisasi yang masif. "Behavior ini bisa terjadi pada masyarakat yang tidak tahu menahu. Orang jadi takut, sehingga orang yang tadinya pakai bank, bsia tarik uangnya," ujarnya.

Terkait keikutsertaan Indonesia dalam AEoI, Aviliani mendesak pemerintah melakukan sosialisasi yang lebih gencar lagi. Menurut dia, sosialisasi tidak hanya diberikan kepada masyarakat dan nasabah bank, namun juga kepada fiskus atau petugas pajak yang memiliki akses kepada informasi dan data nasabah. Ia meminta agar pengenaan sanksi kepada fiskus dipertegas agar masyarakat dan perbankan merasa aman bahwa data-data yang dipertukarkan tidak dimanfaatkan secara sepihak oleh oknum petugas pajak. "Trust terhadap aparat masih rendah. Orang masih takut diperas, mereka kalau nggak paham harus bayar denda yang tinggi," ujarnya.

Rapat Konsultasi

Secara terpisah, Wakil Ketua DPR-RI Taufik Kurniawan mengatakan, pihaknya akan melakukan rapat konsultasi dengan pemerintah terkait Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.

Rencana tersebut merupakan hasil rapat konsultasi antara pimpinan DPR-RI, pimpinan Komisi XI, pimpinan Kapoksi Komisi XI serta pimpinan Baleg. Menurut dia, ada banyak masukan, kritik, dan saran untuk implementasi regulasi pertukaran data di era AEoI itu (Automatic Exchange of Information).

Salah satunya yaitu mengenaik nominal, atau batas saldo yang wajib dilaporkan perbankan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan (Kemenkeu). "(Masukannya) dikembalikan saja batas saldonya sesuai AEoI yaitu Rp 3,3 miliar (US$250.000 ). Kemarin kenapa awalnya rendah sekali (Rp 200 juta), banyak dikomplain teman-teman, APINDO, Kadin, UMKM. Ini semua protes lho," kata Taufik seperti dikutip kompas.com, pekan ini.

Taufik juga mempertanyakan mengapa pemerintah dengan begitu cepat mengubah batas saldo pelaporan dari Rp 200 juta menjadi Rp 1 miliar. "Ini menjadi pencermatan juga, kenapa diubah dalam waktu begitu dekat. Aspek prudent, kehati-hatiannya bagaimana?" ujarnya.

Selain soal nominal, Taufik mengatakan DPR juga mencermati Pasal 4 dan Pasal 6 Perppu 1/2017, yang memberikan keleluasaan kepada DJP. Pasal 4 memberikan keleluasaan kepada DJP untuk mengakses data nasabah. Di sisi lain Pasal 6, melindungi DJP dari tuntutan pidana dan perdata dalam hal menjalankan kewenangannya sesuai Pasal 4.

Sebelumnya Asosiasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) melihat, Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Pemeriksaan Perpajakan tak akan diundangkan secara permanen oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam waktu dekat.

Dengan demikian, Perppu tersebut kemungkinan belum akan berubah wujud menjadi undang-undang, hingga batas waktu penyerahan Perppu kepada negara-negara forum G-20 melalui Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organization for Economic Co-operation and Development-OECD) pada 30 Juni 2017 mendatang. Hal tersebut merupakan syarat pelaksanaan sistem keterbukaan dan akses pertukaran informasi (AEoI).

"Banyak anggota DPR yang menyayangkan Perppu ini. DPR kelihatannya juga tidak akan mengundangkan Perppu ini karena meresahkan masyarakat, bukan hanya UMKM," ujar Ketua Akumindo M Ikhsan Ingratubun seperti dikutip CNNIndonesia.com, pekan ini. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…