Oleh: Achmad Deni Daruri
President Director Center for Banking Crisis
Presiden Trump akan memasuki era perekonomian Amerika Serikat yang rendah penganggurannya sementara itu pengawasan perbankan akan dilonggarkan. Efeknya jelas akan ada risiko kegagalan operasional perbankan yang meningkat. Pada tingkat full employment maka akan muncul tantangan inflasi yang bersifat dorongan biaya. Kenaikan harga input menyebabkan kenaikan harga-harga. Adanya ketidak-lancaran aliran distribusi ini atau berkurangnya produksi yang tersedia dari rata-rata permintaan normal dapat memicu kenaikan harga sesuai dengan berlakunya hukum permintaan-penawaran, atau juga karena terbentuknya posisi nilai keekonomian yang baru terhadap produk tersebut akibat pola atau skala distribusi yang baru.
Bagi produsen, inflasi dapat menguntungkan bila pendapatan yang diperoleh lebih tinggi daripada kenaikan biaya produksi. Bila hal ini terjadi, produsen akan menyebabkan naiknya biaya produksi hingga pada akhirnya merugikan produsen, maka produsen enggan untuk meneruskan produksinya. Produsen bisa menghentikan produksinya untuk sementara waktu. Bahkan, bila tidak sanggup mengikuti laju inflasi, usaha produsen tersebut mungkin akan bangkrut (biasanya terjadi pada pengusaha kecil).
Secara umum, inflasi dapat mengakibatkan berkurangnya investasi di suatu negara, mendorong kenaikan suku bunga, mendorong penanaman modal yang bersifat spekulatif, kegagalan pelaksanaan pembangunan, ketidakstabilan ekonomi, defisit neraca pembayaran, dan merosotnya tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Ekstrem yang paling ditakutkan adalah munculnya hiper inflasi. kondisi ketika harga-harga naik begitu cepat dan nilai uang menurun drastis.
Secara formal, hiperinflasi terjadi jika tingkat inflasi lebih dari lima puluh persen dalam satu bulan seperti yang terjadi pada era jatuhnya Suharto yang lalu. Jelas sekali bahwa Suharto gagal mengawasi perbankan pada saat itu ketika perekonomian Indonesia memasuki era full employment. Kegagalan ini dapat dihindari jika pengawasan perbankan ditingkatkan ketika kondisi full employement terjadi.
Kesalahan lainnya Suharto adalah mengkooptasi Bank Indonesia. Beberapa bank sentral bahkan memiliki kewenangan yang independen dalam artian bahwa kebijakannya tidak boleh diintervensi oleh pihak di luar bank sentral -termasuk pemerintah. Hal ini disebabkan karena sejumlah studi menunjukkan bahwa bank sentral yang kurang independen—salah satunya disebabkan intervensi pemerintah yang bertujuan menggunakan kebijakan moneter untuk mendorong perekonomian—akan mendorong tingkat inflasi yang lebih tinggi. Dengan kata lain Suharto gagal menerapkan manajemen krisis. Suhartonomics lemah dalam manajemen krisis.
Ada tiga elemen yang paling umum untuk mendefinisi krisis: ancaman bagi organisasi, unsur kejutan, dan keputusan waktu singkat. Berbeda dengan manajemen risiko, yang melibatkan menilai potensi ancaman dan menemukan cara terbaik untuk menghindari ancaman. Sementara manajemen krisis berurusan dengan ancaman yang telah terjadi. Jadi manajemen krisis dalam pengertian yang lebih luas merupakan sebuah keterampilan teknis yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi, menilai, memahami, dan mengatasi situasi yang serius, terutama dari saat pertama kali terjadi sampai ke titik pemulihan kembali. Jadi, esensi manajemen krisis adalah upaya untuk menekan faktor ketidakpastian dan faktor risiko hingga tingkat serendah mungkin, dengan demikian akan lebih mampu menampilkan sebanyak mungkin faktor kepastiannya.
Sebenarnya yang disebut manajemen krisis itu diawali dengan langkah mengupayakan sebanyak mungkin informasi mengenai alternatif-alternatif, maupun mengenai probabilitas, bahkan jika mungkin mengenai kepastian tentang terjadinya, sehingga pengambilan keputusanan mengenai langkah-langkah yang direncanakan untuk ditempuh, dapat lebih didasarkan pada sebanyak mungkin dan selengkap mungkin serta setajam (setepat) mungkin informasinya. Tentu saja diupayakan dari sumber yang dapat diandalkan (reliable), sedangkan materinya juga menyandang bobot nalar yang cukup. Krisis adalah situasi yang merupakan titik balik (turning point) yang dapat membuat sesuatu tambah baik atau tambah buruk. Suharto pada tahun 1998 yang lalu justru terbukti membuat krisis semakin memburuk. Bahkan memasuki tahap kronik. Pada tahap ini, organisasi sudah merasakan dampak atau akibat dari krisis tahap akut, bahkan dampak dari segi waktu tidak dapat diprediksi kapan berakhirnya.
Organisasi mulai melakukan intropeksi diri besar-besaran, sehingga biasanya dilakukan analisis internal secara menyeluruh terhadap gejala maupun sumber masalah baik secara struktural dan non struktural serta melakukan upaya-upaya perbaikan total (reformasi) dengan membuat kebijakan-kebijakan strategis untuk memperbaiki keadaan sehingga pada tahap ini sering disebut sebagai tahap recovery atau self analysis. Pengawasan perbankan pada saat itu berarti juga gagal dalam mendekteksi kondisi akut.
Krisis pada tahap ini meskipun tidak dikategorikan sebagai awal mulanya krisis, namun dianggap suatu krisis dimulai dari sini karena gejala yang samar-samar atau sama sekali tidak jelas itu mulai kelihatan jelas. Dalam banyak hal, krisis akut ini sering disebut sebagai the point of no return, artinya, sudah tidak ada kesempatan lagi untuk kembali memperbaiki keadaan mengingat sinyal-sinyal yang muncul pada tahap peringatan (prodromal) tidak digubris atau diindahkan, sehingga tidak bisa kembali lagi.
Indikator munculnya krisis pada tahap ini adalah kerusakan sudah mulai bermunculan, reaksi mulai berdatangan, isu menyebar luas. Salah satu kesulitan besar dalam menghadapi krisis tahap akut ini adalah intensitas dan kecepatan serangan yang datang dari berbagai pihak. Kegagalan dalam menangani krisis juga akan terus berlanjut pada tahap kronis. Akhirnya bukan Suharto yang menyelesaikan krisis perbankan di Indonesia tetapi Suharto menyerahkannya kepada IMF.
Kemudian IMF segera melakukan tahap kunci dari penyelesaian krisis pengawasan perbankan yaitu dengan upaya perbaikan internal dan tahap resolusi penyembuhan. Apakah IMF memang hebat secara kualitas dibandingkan dengan ekonom Indonesia? Tidak. Suharto ibaratnya memberikan pisau bedah kepada IMF. Jika tidak berhati-hati Donald Trump dapat bernasib yang sama dengan Suharto yang dilengserkan dari kancah politik karena menganggap remeh pengawasan perbankan.
Ada baiknya melihat pertemuan Trump dengan Sri Paus di Vatikan beberapa waktu yang lalu dimana Trump diceramahi oleh Sri Paus tentang perdamaian dan perbaikan lingkungan hidup. Terbukti Trump yang selama ini merasa paling benar tunduk takluk dihadapan Sri Paus karena Trump sadar ia memang keliru!
Oleh: Naomi Leah Christine, Analis Sosial dan Politik Rekonsiliasi antar pihak pasca pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 menjadi…
Oleh : Nagita Salwa, Mahasiswa Jurusan Ekonomi dan Bisnis di PTS Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output…
Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP, CEO Narasi Institute Konflik gaza sejak Oktober 2023 kini berkembang menjadi kekacauan…
Oleh: Naomi Leah Christine, Analis Sosial dan Politik Rekonsiliasi antar pihak pasca pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 menjadi…
Oleh : Nagita Salwa, Mahasiswa Jurusan Ekonomi dan Bisnis di PTS Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output…
Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP, CEO Narasi Institute Konflik gaza sejak Oktober 2023 kini berkembang menjadi kekacauan…