Andai Harga Premium dan Solar Naik

 

 

Oleh: Bhima Yudhistira Adhinegara

Peneliti INDEF

 

Pertamina tengah pusing akibat belum jelasnya sikap Pemerintah dalam menaikkan harga BBM bersubsidi jenis Premium dan Solar. Maklum penyesuaian harga jual Premium dan Solar seharusnya dijadwalkan sehabis Lebaran atau pada 1 Juli. Sebelumnya Pemerintah bersikukuh untuk mempertahankan harga BBM bersubsidi kendati harga minyak mentah telah naik lebih dari 68%. Keputusan Pemerintah untuk menunda kenaikan mengakibatkan laba bersih Pertamina anjlok 25% di triwulan I 2017 dari US$1,01 miliar menjadi US$760 juta.

            Alasan Pemerintah sebenarnya cukup berdasar, salah satunya untuk menjaga agar inflasi tidak naik terlalu tinggi. Ramalan IMF bahwa inflasi Indonesia di tahun 2017 menembus angka 4,5% cukup membuat gentar Pemerintah. Inflasi yang terlalu tinggi akan menghantam konsumsi rumah tangga. Jika konsumsi sebagai tumpuan utama perekonomian terus menurun sejak 2014 maka dapat dipastikan pertumbuhan ekonomi stagnan di 5%. Faktor utama inflasi tahun ini disumbang oleh harga yang diatur oleh Pemerintah atau administered prices seperti pencabutan subsidi listrik 900 VA, dan kenaikan harga BBM. Belakangan hari, ramalan IMF kemudian jadi kenyataan, inflasi di bulan Januari 2017 lebih dari 0,9% (mtm), salah satu yang tertinggi selama 3 tahun terakhir. 

            Kini Pemerintah dihadapkan pada dua pilihan. Pertamina disatu sisi terus merengek ke Pemerintah agar segera menyesuaikan harga keekonomian Premium dan Solar dengan tujuan laba bersih bisa naik. Disatu sisi jika per 1 Juli nanti harga BBM ikut naik maka dampak ke inflasi akan membahayakan. Hal ini berkaitan dengan momentum paska lebaran, dan tahun ajaran baru sekolah. Inflasi pangan pasti naik tinggi karena permintaan musiman dibuktikan dengan telur, ayam dan bawang putih yang meroket. Lebaran juga membuat biaya transportasi naik karena fenomena mudik, plus pencabutan subsidi 900 VA masih dirasakan dampaknya. Aneka faktor pendorong inflasi pasti memukul masyarakat, terutama menengah kebawah.

            Dalam menghadapi hal ini Pemerintah dituntut untuk lebih bijak. Jika Pemerintah dipaksa memilih antara penyelamatan laba Pertamina atau penyelamatan ekonomi rakyat, sudah jelas pilihannya jatuh ke opsi penyelamatan ekonomi rakyat. Laba Pertamina meskipun turun 25% toh tetap diatas US$760 juta dolar. Artinya, Pertamina masih punya kemampuan untuk menghasilkan laba. Ketika ekonomi sedang lesu, dan harga komoditas naik terlalu tinggi Pertamina punya tanggung jawab sebagai PSO (Public Services Obligation) untuk sedikit berkorban.

Sangat egois apabila langsung menaikkan harga BBM bersubsidi untuk penyelamatan BUMN, ketimbang memperhatikan dampak penyesuaian harga BBM ke harga-harga kebutuhan pokok. Sekali lagi, sebenarnya tidak ada konflik antara keputusan Pemerintah menunda kenaikan harga BBM dan kepentingan Pertamina jika kacamata yang dipakai adalah kepentingan masyarakat. 

BERITA TERKAIT

Produk Keuangan Syariah

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah   Selain bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh keberkahan dan ampunan, bulan yang suci…

Gejolak Harga Beras

  Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta   Ada pemandangan aneh ketika kemarin rakyat rela…

Risiko Fiskal dalam Pembangunan Nasional

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Risiko dapat dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya suatu kejadian yang…

BERITA LAINNYA DI

Produk Keuangan Syariah

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah   Selain bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh keberkahan dan ampunan, bulan yang suci…

Gejolak Harga Beras

  Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta   Ada pemandangan aneh ketika kemarin rakyat rela…

Risiko Fiskal dalam Pembangunan Nasional

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Risiko dapat dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya suatu kejadian yang…