Masalah Ketimpangan yaitu Mendapatkan Pekerjaan

 

 

 

NERACA

 

Jakarta - International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) melansir hasil survei tentang ketimpangan pada tahun 2016. Koordinator tim peneliti, Bagus Takwin, menyatakan hasil survei menunjukan ketimpangan dalam hal kesempatan mendapatkan pekerjaan menempati peringkat pertama. "Diikuti dengan (ketimpangan) penghasilan dan harta benda," kata ucap Bagus di Jakarta, Selasa, (23/5).

Bila melihat lokasi, menurut Bagus, responden asal Indonesia timur merasa lebih timpang dibandingkan dengan responden dari Indonesia barat. Sebanyak 44,4 persen warga di Indonesia timur menilai penghasilannya kurang layak dibandingkan dengan 38,2 persen warga di Indonesia barat. "Tujuh dari sepuluh warga merasakan adanya ketimpangan,” jelasnya.

Dalam survei yang dilakukan sepanang Juli-September 2016 ada 10 aspek ketimpangan yang menjadi penilaian. Kesepuluh aspek ketimpangan itu meliputi kesempatan dapat pekerjaan (persepsi ketimpangan 28,6 persen, penghasilan (28 persen), harta benda yang dimiliki (19,8 persen). Selain itu ada aspek rumah (18,9), pendidikan (21,2 persen), kesejahteraan keluarga (17,5 persen), hukum (21,5 persen). Kemudian aspek lainnya adalah keterlibatan politik (17 persen), lingkungan tempat tinggal (14,8 persen), dan kesehatan (14,3 persen).

Riset dilakukan di 34 provinsi dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Sampling dilakukan dengan multistage random sampling terhadap 2010 responden. Secara keseluruhan besaran nilai ketimpangan terhadap 10 aspek penilaian itu mencapai 4,4. Menurut Bagus, nilai ketimpangan itu berarti setidaknya terdapat empat ketimpangan dari 10 ranah yang dinilai.

Program Manager INFID Siti Khoirun Ni'mah mengusulkan dibuatnya paket penyelamatan untuk memperkecil jurang ketimpangan. Beberapa di antaranya ialah penciptaan lapangan kerja, membuat program pelatihan sektoral. "Berikan insentif untuk penciptaan lapangan kerja di kota/kabupaten," kata dia

Sementara itu, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bersama Pemerintah Australia melalui kegiatan Knowledge Sector Initiative (KSI) meluncurkan Indonesia Development Forum (IDF) untuk mengatasi masalah ketimpangan di Indonesia. IDF adalah sebuah forum berskala internasional yang mengundang seluruh pemangku kepentingan, baik lokal maupun internasional, untuk membahas dan mencari solusi ketimpangan pendapatan dan wilayah di Indonesia.

"Indonesia Development Forum juga merupakan suatu wadah untuk mendiskusikan berbagai terobosan yang telah dilakukan oleh Bappenas dan berbagai pihak dalam mengatasi permasalahan ketimpangan," kata Kepala Bappenas Bambang Brodojonegoro.

IDF memiliki lima tujuan utama yaitu mempromosikan tata kelola pemerintahan yang baik dan berkelanjutan, mempromosikan kohesi sosial dan pertumbuhan inklusif, menghasilkan 'platform' kolaborasi antara para pemangku kepentingan, menjadi arena pertukaran gagasan dan pengalaman untuk keberhasilan program pembangunan, dan mendorong pelibatan publik dalam wacana kebijakan. IDF menghadirkan pembicara dari berbagai latar belakang keahlian baik dari dalam maupun luar negeri.


"Kami mengundang semua aktor pembangunan terbaik Indonesia, baik peneliti, birokrat, aktivis, budayawan, inovator, juga pengusaha untuk berpartisipasi aktif dalam dialog yang sangat penting ini," ujar Bambang. Penurunan ketimpangan memang menjadi salah satu prioritas pembangunan yang terus mendapatkan perhatian dari pemerintah dalam dua tahun terakhir. Setelah krisis ekonomi, ketimpangan ekonomi yang ditunjukkan melalui rasio gini terus meningkat. Bahkan sampai 2013, rasio gini mencapai nilai tertinggi dalam sejarah Indonesia yaitu 0,41.

Melalui berbagai program yang terus menyasar dan memihak kepada masyarakat tingkat ekonomi menengah ke bawah, dalam dua tahun terakhir terlihat bahwa rasio gini mulai mengalami penurunan yaitu mencapai 0,394 pada 2016 lalu. Bambang mengatakan meski penurunannya relati kecil, namun terlihat adanya harapan, bahwa telah terjadi perbaikan tingkat konsumsi yang cukup stabil pada masyarakat kelompok ekonomi menengah.

"Meskipun demikian, pekerjaan rumah untuk menurunkan rasio gini masih cukup banyak karena meskipun tingkat konsumsi masyarakat ekonomi 40 persen terbawah tidak mengalami penurunan, pertumbuhan konsumsi masyarakat ekonomi 40 persen terbawah perlu terus ditingkatkan untuk mengejar ketertinggalan," ujar Bambang.

 

BERITA TERKAIT

Jokowi Resmikan Sejumlah Infrastruktur di Sulawesi Tengah Pasca Bencana, Termasuk Huntap yang Dibangun Waskita

Jokowi Resmikan Sejumlah Pembangunan Infrastruktur di Sulawesi Tengah Pasca  Bencana, Termasuk Huntap yang Dibangun Waskita NERACA Jakarta - Jokowi Resmikan…

Jadilah Individu Beretika di Dunia Nyata Maupun Digital

Jadilah Individu Beretika di Dunia Nyata Maupun Digital NERACA Banyuwangi - Dalam rangka mewujudkan Indonesia Makin Cakap Digital, Kementerian Komunikasi…

Bijak Bermedia Sosial, Bebas Berekspresi Secara Bertanggung Jawab

Bijak Bermedia Sosial, Bebas Berekspresi Secara Bertanggung Jawab  NERACA Probolinggo - Dalam rangka mewujudkan Indonesia Makin Cakap Digital, Kementerian Komunikasi…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Jokowi Resmikan Sejumlah Infrastruktur di Sulawesi Tengah Pasca Bencana, Termasuk Huntap yang Dibangun Waskita

Jokowi Resmikan Sejumlah Pembangunan Infrastruktur di Sulawesi Tengah Pasca  Bencana, Termasuk Huntap yang Dibangun Waskita NERACA Jakarta - Jokowi Resmikan…

Jadilah Individu Beretika di Dunia Nyata Maupun Digital

Jadilah Individu Beretika di Dunia Nyata Maupun Digital NERACA Banyuwangi - Dalam rangka mewujudkan Indonesia Makin Cakap Digital, Kementerian Komunikasi…

Bijak Bermedia Sosial, Bebas Berekspresi Secara Bertanggung Jawab

Bijak Bermedia Sosial, Bebas Berekspresi Secara Bertanggung Jawab  NERACA Probolinggo - Dalam rangka mewujudkan Indonesia Makin Cakap Digital, Kementerian Komunikasi…