KEBIJAKAN PROGRAM PENGAMPUNAN PAJAK - Pengamat: Penolong Utama dari Jeratan Defisit

 

Jakarta-Pengamat ekonomi menilai program pengampunan pajak (tax amnesty) yang berakhir Maret 2017 hanya sebagai penolong utama kondisi pemerintah Indonesia dari jeratan defisit anggaran. Penilaian ini berdasarkan data Kemenkeu menyatakan bahwa sebagian dana repatriasi Rp 107 triliun digunakan untuk kepentingan menambal shortfall dan defisit anggaran tersebut.

NERACA

“Jika tidak ada tambahan pemasukan dari dana tebusan tax amnesty, maka defisit anggaran akan melewati batas aturan maksimum 3% dari PDB, dan pemerintah melanggar amanat UU Keuangan Negara,” tegas Prof. Dr. Didiek J. Rachbini, pengamat ekonomi yang juga pendiri Indef, dalam seminar bertema “Pengaruh Hasil Pengampunan Pajak Terhadap Perekonomian Indonesia”  yang diselenggarakan Ikatan Doktor (Ekonomi) Alumnus Universitas Pancasila di Jakarta, akhir pekan lalu.

Padahal menurut UU No 1/2016 Tentang Tax Amnesty, menurut Didiek, dalam pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa program pengampunan pajak bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan harta, yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar rupiah, penurunan suku bunga dan peningkatan investasi.

Selain itu, UU tersebut juga bertujuan meningkatkan penerimaan pajak yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan, serta mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif dan terintegrasi.

Selain itu, Didiek mengakui kondisi perekonomian nasional juga tidak terlepas dari pengaruh ekonomi global. Motor perekonomian yang tergantung pada ekspor bahan mentah, yang harganya menurun di pasar internasional berdampak pada penurunan penerimaan pajak. Penyebab utamanya, adalah menurunnya pertumbuhan sektor industri sehingga tidak dapat diandalkan lagi sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi.

Akibatnya lainnya, menurut dia, target penerimaan pajak dalam beberapa tahun terakhir juga menurun. Pada tahun 2012, 2013, dan 2014 target penerimaan tidak tercapai, tetapi rmasih rata-rata di atas 90%. Sedangkan pada tahun 2015 realisasi target penerimaan merosot mencapai 81,9%, bahkan pada 2016 menurun lagi hingga mencapai 81,4% meski sudah tertolong oleh program tax amnesty.

Didiek pun menyoroti rendahnya partisipasi peserta program pengampunan pajak. Total peserta program yang minim yaitu 965.983 orang, atau hanya 2,95% dari WP terdaftar 2016, akan berdampak pada database potensial WP ke depan.

“Program tax amnesty hanya dapat menggaet 50.385 WP baru atau 0,15% dari WP potensial 2016. Potret ini sekaligus mencerminkan bahwa selama ini sistem perpajakan (PPh) sangat lemah, terbukti adanya harta Rp 4.000 triliun lebih tidak terdeteksi oleh Ditjen Pajak,” ujarnya.

Transformasi Ketenagakerjaan

Pembicara lainnya, Prof. Dr. Bambang Purwoko, guru besar Universitas Pancasila, mengatakan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi nasional yang berkualitas, maka perlu dilakukan transformasi kebijakan di bidang ketenagakerjaan.

Bambang melihat jumlah angkatan kerja (AK) yang berjumlah 122,4 juta, diantaranya 36,7 juta orang bekerja di sektor formal dan 85,7 juta orang di sektor informal. Ini menggambarkan kondisi ketidakseimbangan. “Untuk meningkatkan kontribusi penerimaan pajak, maka perlu dilakukan dengan cara transformasi pekerja informal menjadi pekerja di perusahaan berbadan hukum yang dipastikan membayar pajak,” ujarnya.

Karena itu, Bambang mengingatkan solusi terhadap tantangan untuk menambah jumlah WP perlu diperbanyak pekerja di sektor formal. Hal ini dapat dilakukan pemerintah dengan menerbitkan kebijakan investasi langsung baik dari dalam maupun luar negeri untuk meningkatkan daya serap pencari pekerjaan.

Tidak hanya itu. Dalam upaya meningkatkan penerimaan pajak ke kas negara, pemerintah juga menerbitkan Perppu No 1/2017 yang memberikan akses kepada Ditjen Pajak untuk dapat membuka rekening wajib pajak (WP) yang memiliki saldo rekening di bak minimal US$250.00 atau setara Rp 3,3 miliar.  Perppu ini juga sebagai upaya mendukung pelaksanaan sistem pertukaran informasi Automatic Exchange of Information (AEoI) yang mulai diimplementasikan 2018.

"Perppu ini sudah menganulir pasal itu (kerahasiaan bank maupun data keuangan)," ujar Menko Bidang Perekonomian Darmin Nasution kepada pers di Jakarta, Rabu (17/5).

Penegasan tersebut dicantumkan di dalam Pasal 8 Perppu Nomor 1 Tahun 2017. Beberapa pasal dalam Undang-undang yang menyangkut kerahasiaan perbankan, sekarang tidak berlaku lagi dengan adanya Perppu tersebut. Pasal itu meliputi, Pasal 35 Ayat (2) dan Pasal 35A UU Nomor Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Selanjutnya Pasal 40 dan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Kemudian Pasal 17, Pasal 27, dan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi. Serta Pasal 41 dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Menurut Darmin, keterbukaan akses informasi dan data keuangan untuk kepentingan pajak ini menyasar nasabah lokal atau Warga Negara Indonesia (WNI) baik di dalam maupun luar negeri, serta warga asing yang berada di Indonesia. Namun di dalam aturan Perppu tersebut, sama sekali tidak menyebut berlaku bagi nasabah lokal maupun asing.

"Berlaku untuk keduanya (lokal dan asing). Memang tidak perlu dimasukkan di Perppu. Justru tadinya pernah ada aturan hanya asing, tapi kemudian dimasukkan semuanya. Jadi berarti asing dan dalam negeri," ujarnya.

Aturan tersebut memberikan keleluasaan kepada Ditjen Pajak untuk langsung mengakses rekening dan data keuangan nasabah tanpa perlu meminta persetujuan ke Menteri Keuangan (Menkeu) dan Bank Indonesia (BI). "Jadi sudah otomatis bisa dapat informasi rekening, misal dari bank. Kalau dari luar tentu harus ada yang minta, baru diproses tapi kalau Ditjen Pajak berarti dia tidak perlu minta persetujuan Menkeu dan BI, jadi langsung saja," tutur dia.

Dasar hukum keterbukaan informasi keuangan ini memang harus setingkat undang-undang, dan harus memiliki kekuatan sebelum 30 Juni 2017. Jika gagal memenuhinya, Indonesia akan dianggap gagal memenuhi komitmen. "Kerugiannya akan signifikan bagi Indonesia, seperti menurunnya kredibilitas RI sebagai anggota G20, menurunnya kepercayaan investor, dan berpotensi terganggunya stabilitas ekonomi nasional, serta dapat menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan penempatan dana ilegal," menurut isi Perppu itu. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…