Perikanan Budidaya - KKP Populerkan Inovasi Teknologi Lele Bioflok

NERACA

Jakarta- Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dituntut untuk terus mendorong peran yang lebih besar dalam menopang ketahanan pangan nasional. Produk pangan berbasis ikan saat ini menjadi andalan utama, seiring mulai terjadi pergeseran pola konsumsi masyarakat dari protein berbasis daging merah pada protein daging putih (ikan). KKP memproyeksikan sampai dengan tahun 2019 tingkat konsumsi ikan sebesar > 50 kg per kapita per tahun, dengan target tersebut setidaknya dibutuhkan suplai ikan sebanyak ± 14,6 juta ton per tahun, dimana angka ini diprediksi sekitar 60 persennya akan bergantung pada hasil produksi budidaya.

Sebelumnya dalam ajang Festival Kuliner Ikan Nusantara, Menteri Susi Pudjiastuti menghimbau masyarakat untuk mulai melirik  ikan sebagai sumber pangan dengan membiasakan mengkonsumsi ikan setiap hari. Susi menilai, tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia masih jauh lebih rendah dibanding negara lain bhkan di level Asean sekalipun, padahal menurutnya, ikan merupakan sumber protein yang berperan penting dalam meningkatkan kualitas kecerdasan generasi bangsa ini.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, dalam keterangannya di Jakarta menyampaikan, bahwa untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional yang semakin tinggi, maka langkah utama yang perlu dilakukan adalah melalui intensifikasi teknologi yang efektif dan efisien. Slamet menggarisbawahi, bahwa saat ini upaya mewujudkan ketahanan pangan mau tidak mau harus dihadapkan langsung dengan fenomena perubahan iklim dan penurunan kualitas lingkungan global, serta disisi lain perkembangan sector industri dan ledakan jumlah penduduk juga turut memberikan kontribusi dalam mereduksi lahan sector yang berbasis pangan. Ini perlu diantisipasi, karena secara langsung akan berdampak pada penurunan suplai bahan pangan bagi masyarakat.

“Semua pelaku perikanan budidaya harus berkreasi mengedepankan Iptek dalam pengelolaan usaha budidaya ikan. Intinya dengan kondisi saat ini, produktivitas budidaya harus bisa dipacu dalam lahan terbatas dan dengan penggunaan sumberdaya air yang efisien,” jelas Slamet dalam keterangan pers nya di Gedung KKP, Rabu (17/5).

Ditjen Perikanan Budidaya telah melakukan upaya pengembangan Iptek budidaya dan terbukti berhasil, salah satunya yaitu inovasi teknologi budidaya lele sistem bioflok. Teknologi system bioflok menjadi sangat popular saat ini, karena mampu mengenjot produktivitas lele yang tinggi, penggunaan lahan yang tidak terlalu luas dan hemat sumber air. Sebagai gambaran, teknologi ini merupakan bentuk rekayasa lingkungan yang mengandalkan suplai oksigen dan pemanfaatan mikroorganisme, yang secara langsung dapat meningkatkan nilai kecernaan pakan. “Bioflok ini menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, apalagi saat ini produk lele sangat memasyarakat sebagai sumber gizi yang digemari,” imbuh Slamet.

Sebagai perbandingan, untuk budidaya dengan sistem konvensional dengan padat tebar 100 ekor/m3 memerlukan 120-130 hari untuk panen, sedangkan untuk sistem bioflok dengan padat tebar 500-1000 ekor/m3 hanya membutuhkan 100-110 hari saja. Disamping itu penggunaan pakan lebih efisien, jika pada teknlogi konvensional FCR rata-rata 1,2, maka dengan teknologi bioflok FCR dapat mencapai 0,8.

Di banyak daerah teknologi lele bioflok terbukti sangat efisien, sebagai ilustrasi dengan rata-rata padat tebar 1.000 ekor/m3, maka dalam satu kolam bulat ukuran diameter 3 m, dapat ditebar benih lele sebanyak min. 3.000 ekor, dan mampu  menghasilkan  lele konsumsi mencapai > 300 kg per siklus (100-110 hari). Artinya jika dibanding dengan teknologi konvensional, budidaya system bioflok ini mampu menaikan produktivitas > 3 kali lipat. 

Begitupun secara itung-itungan bisnis, usaha ini juga sangat profitable. Sebagai gambaran dalam 1 (satu) unit usaha (25 lubang kolam diameter 3 m), akan menghasilkan produksi sebanyak 7,5 ton per siklus, dengan kata lain pembudidaya dapat meraup pendapatan sekitar 420 juta per tahun atau sekitar 35  juta per bulan. Salah satu kelebihan lain, bahwa pengembangan lele bioflok juga dapat diintegrasikan dengan system hidroponik, secara teknis air buangan limbah budidaya yang mengandung mikroba dapat dimanfaatkan sebagai pupuk  yang baik bagi sayuran.

“Tentunya ini adalah bentuk keberhasilan inovasi teknlogi budidaya, dan sekaligus menjadi jawaban tepat bagiamana memenuhi kebutuhan pangan masyarakat saat ini. Inovasi teknologi harus mampu menjawab tantangan dan masalah,  serta mampu  memanfaatkan peluang yang ada,” kata Slamet.

BERITA TERKAIT

Tingkatkan Ekspor, 12 Industri Alsintan Diboyong ke Maroko

NERACA Meknes – Kementerian Perindustrian memfasilitasi sebanyak 12 industri alat dan mesin pertanian (alsintan) dalam negeri untuk ikut berpartisipasi pada ajang bergengsi Salon International de l'Agriculture…

Hadirkan Profesi Dunia Penerbangan - Traveloka Resmikan Flight Academy di KidZania Jakarta

Perkaya pengalaman inventori aktivitas wisata dan juga edukasi, Traveloka sebagai platform travel terdepan se-Asia Tenggar hadirkan wahana bermain edukatif di…

HBA dan HMA April 2024 Telah Ditetapkan

NERACA Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah resmi menetapkan Harga Batubara Acuan (HBA) untuk…

BERITA LAINNYA DI Industri

Tingkatkan Ekspor, 12 Industri Alsintan Diboyong ke Maroko

NERACA Meknes – Kementerian Perindustrian memfasilitasi sebanyak 12 industri alat dan mesin pertanian (alsintan) dalam negeri untuk ikut berpartisipasi pada ajang bergengsi Salon International de l'Agriculture…

Hadirkan Profesi Dunia Penerbangan - Traveloka Resmikan Flight Academy di KidZania Jakarta

Perkaya pengalaman inventori aktivitas wisata dan juga edukasi, Traveloka sebagai platform travel terdepan se-Asia Tenggar hadirkan wahana bermain edukatif di…

HBA dan HMA April 2024 Telah Ditetapkan

NERACA Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah resmi menetapkan Harga Batubara Acuan (HBA) untuk…