Taati Proses Hukum!

Kasus dugaan penistaan agama yang melibatkan Gubernur DKI (nonaktif) Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sudah selesai digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, pekan lalu. Majelis hakim telah memvonis Ahok dengan hukuman 2 tahun penjara dan memerintahkannya langsung ditahan.

Putusan majelis hakim itu merupakan hal yang mutlak harus diterima seluruh komponen bangsa. Semua pihak harus menghormati proses hukum tersebut. Negara kita adalah negara hukum. Artinya, hukum menjadi panglima dalam menangani kasus hukum, termasuk kasus Ahok. Semua orang berkedudukan sama di mata hukum dan harus tunduk pada hukum. Karena bila proses hukum sudah tidak diindahkan dan tidak dipatuhi, kondisi negara akan menjadi kacau dan muncul anarkisme.

Di sisi lain, kita juga harus menghargai sikap Ahok melalui pengacaranya mengajukan banding atas vonis hakim tersebut. Pihak Kejaksaan Agung pun mengajukan banding terhadap putusan hakim yang jauh lebih tinggi dari tuntutan jaksa.

Kita harus memahami bahwa kasus Ahok ini sangat sensitif karena menyangkut dugaan pelecehan agama Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk negara ini. Terkait dengan fakta ini, setiap proses hukum yang terjadi membawa konsekuensi yang sangat luas. Presiden Jokowi pun pascaputusan juga sudah mengimbau kepada seluruh masyarakat agar menghormati proses hukum.

Artinya, untuk menjadi hakim yang adil dalam mengadili kasus ini memang sangat sulit, dilematis sekaligus serba salah. Kenapa? Karena sudah bisa ditebak, apa pun putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan akan menimbulkan pro dan kontra.

Masyarakat yang pro Ahok meminta agar Gubernur DKI Jakarta nonaktif tersebut dibebaskan. Karena mereka percaya Ahok tidak bersalah. Sedangkan masyarakat yang kontra meminta agar Ahok dinyatakan bersalah dan dijebloskan ke tahanan karena dinilai telah melecehkan agama Islam.

Pendukung Ahok boleh saja kecewa terhadap putusan hakim tersebut. Namun, perlu diingat bahwa semua harus menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Tanpa itu, masalah ini tidak akan selesai dan kita akan terus terjebak dalam “konflik” yang terus berkepanjangan.

Bila mengacu kepada UU No 8 Tahun 1981 (KUHP) pasal 31 ayat 1 tentang Penangguhan penahanan yang berbunyi :  "atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan."

Menyimak KUHAP dan PP 27 Tahun 1983 tersebut, maka yang berhak mengajukan penangguhan penahanan adalah seseorang yang berada dalam status hukum sebagai Tersangka atau Terdakwa. Namun, Ahok telah divonis Majelis Hakim dengan vonis secara syah dan meyakinkan dinyatakan bersalah sesuai Pasal 156a KUHP dengan hukuman pidana penjara selama 2 tahun dengan perintah segera ditahan. Perintah penahanan ini bukan dalam proses pemeriksaan pengadilan, namun atas perintah vonis hukuman oleh pengadilan.

Dengan demikian, mengacu kepada KUHAP, PP 27 Tahun 1983 dan status hukum Ahok sekarang adalah Terhukum. Sementara KUHAP hanya mengatur penangguhan tahanan bagi Tersangka dan Terdakwa hingga selama proses pemeriksaan pengadilan.

Namun bagi yang sudah berstatus terhukum meski belum berstatus terpidana, Ahok wajib menjalani hukuman yang dijatuhkan oleh majelis hakim dan tidak bisa mengajukan penangguhan penahanan.

Terhukum harus menjalani hukuman yang dijatuhkan karena vonis menyertakan perintah untuk menempatkan terhukum didalam rumah tahanan negara. Kecuali vonis dijatuhkan tanpa perintah penahanan, maka Ahok tidak perlu masuk tahanan hingga keputusan berkekuatan hukum tetap.

Melihat kondisi demikian, kita sebagai bangsa yang taat hukum menyarankan agar Ahok dan tim pengacaranya secepatnya menempuh jalur banding, kasasi jika masih dihukum, dan segera mengajukan grasi kepada presiden. Ini supaya masyarakat tetap tenang dan kondusif di negeri ini.

Bagaimanapun, penyelesaian dengan mekanisme hukum jauh lebih baik ketimbang melakukan demo meski demo boleh dilakukan sepanjang mematuhi aturan yang berlaku saat ini. Ini merupakan tantangan bagi semua pihak untuk menyadari kondisi pasca putusan pengadilan. Kita tidak mau Jakarta atau negara ini dinodai oleh hal-hal negatif yang berpotensi merugikan bangsa ini ke depan.

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…