Jaga Kualitas Demokrasi

Pilkada DKI Jakarta sudah berjalan aman dan damai. Inilah kontestasi politik dalam sejarah demokrasi elektoral kita yang amat "melelahkan". Rakyat Jakarta akhirnya memilih dan pasangan Anies-Sandi yang unggul di atas 10% dari pasangan Ahok-Djarot versi hitung cepat, memastikan DKI Jakarta memiliki pemimpin baru. Patut disadari, Jakarta adalah barometer pelaksanaan Pilkada yang sekaligus menjadi contoh buat kota/provinsi lainnya.

Meski demikian, sejarah akan mencatat bahwa perjalanan kontestasi politik DKI paling "keras" dimana intimidasi, politisasi agama, pengerahan massa dan  gelombang hoax yang masif, menjadi bagian yang tak terpisahkan. Anies-Sandi berada pada tanggung jawab yang tidak mudah. Pertama,  keduanya harus merangkul dan mempersatukan seluruh warga Jakarta yang masih terpolarisasi. Kedua, harus mewujudkan janji-janji mereka secara konsisten, dengan catatan kinerja yang  "lebih bagus" dari pada pemimpin sebelumnya. 

Lantas pertanyaannya, apakah setelah pilkada Jakarta ini keterbelahan politik akan selesai dan perangai kontestasi yang kesannya "brutal" ini juga akan berakhir? Beberapa elite politik setelah melihat kemenangan yang fantastis ini pasca hitung cepat, menyatakannya sebagai pemanasan menuju kontestasi 2019. Apalagi dalam waktu yang tidak terlalu lama ada pilkada serentak 2018 dan yang bakal menjadi sorotan nasional pula adalah kompetisi kekuasaan di Pilkada Jawa Barat dan Jawa Timur.

Karena itu, boleh jadi sejumlah elite politik yang berkepentingan dengan kekuasaan bisa jadi mewarisi tradisi buruk kompetisi politik ini pada helatan demokrasi elektoral di tempat lain atau pada level lebih tinggi. Sebagian elite yang haus kekuasaan akan merasa benar dan sah saja menggunakan cara yang sama dalam kontestasi selanjutnya. Padahal, saat ini isu agama sudah ketinggalan zaman alias usang karena dianggap tidak beradab

Hal yang pasti, apapun yang berkaitan dengan politik intimidasi,  provokasi dan politisasi SARA pada satu sisi memerosotkan kualitas demokrasi, pada sisi lain meniscayakan ketegangan dan perpecahan sosial. Kita masih sulit mewujudkan demokrasi elektoral berkualitas sebagai bagian dari konsensus sosial yang didasarkan pada kebebasan, persamaan dan partisipasi politik.

Bagaimanapun, bila model kompetisi politik dalam pilkada DKI Jakarta ini terbawa pada pilkada di tempat lain, atau Pilpres, maka kita sebenarnya semakin memantapkan apa yang disebut James Manor (Törnquist, 2014) sebagai post-clientelism dalam demokrasi. Post-clientelism yang merujuk pada pengalaman di Asia dan Afrika.

Penekanannya adalah bahwa para elite politik arus utama tidak bisa lagi menyandarkan dirinya hanya pada klientelisme, bosisme dan sumber finansial yang besar. Untuk memenangkan pemilihan mereka memerlukan alat-alat mobilisasi tambahan. Dengan demikian, banyak upaya ditambahkan dengan memasukkan cara-cara populis dan politik identitas.

Tak bisa dipungkiri apa yang terjadi dalam pilkada DKI kali ini merupakan bagian dari hasil kerja politik elite dalam membangun narasi populis dan mengawinkannya dengan politik identitas (agama dan etnis). Operasionalnya adalah memanfaatkan berbagai kelompok organisasi "ekstrem" sebagai mobilisator politiknya. 

Membayangkan hal itu, rasanya  kualitas demokrasi akan berjalan mundur atau tetap di tempat. Demokrasi hanya menjadi ruang kompetisi kekuasaan soal siapa yang menang dan berkuasa atau kalah dan tergeser. Padahal upaya pembangunan demokrasi yang berkualitas sepanjang sejarah bangsa ini tidak sedikit memakan biaya juga korban politik.

Kompetisi pilkada DKI Jakarta 2017, sudah memperlihatkan kondisi rakyat kepada keterbelahan, gesekan dan keresahan sosial, sudah harus menyadarkan elite. Mewarisi kompetisi Pilkada Jakarta 2017 justru tidak lagi menempatkan demokrasi berada di jalur konsolidasi yang tepat menuju demokrasi substantif. Pada satu sisi hak sipil (kebebasan, kesetaraan, keadilan dan keberagaman) tersandung, pada sisi lain kualitas dan integritas kepemimpinan politik sebagai prasyarat terwujudnya keadilan sosial dan kesejahteraan bukan lagi yang utama. 

Jadi, untuk merajut kembali warga Jakarta kembali keutuhan seperti semula adalah, pasangan Anies-Sandi dapat merealisasikan janji-janji manisnya saat kampanye, dan melanjutkan program Gubernur lama (Ahok) yang sudah banyak manfaatnya bagi sebagian besar masyarakat Jakarta.

Kita juga sangat berharap terutama kepada elite parpol untuk tidak mewarisi tradisi kompetisi politik yang buruk ini pada kontestasi di daerah lain, karena tidak ada manfaatnya bagi kepentingan rakyat, melainkan lebih banyak mudharatnya.                

 

BERITA TERKAIT

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…