Akademisi: Intervensi Peradilan Masih Sulit Dihilangkan

Akademisi: Intervensi Peradilan Masih Sulit Dihilangkan

NERACA

Medan - Ketua Forum Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah Trisno Raharjo mengatakan intervensi terhadap dunia peradilan masih sulit dihilangkan di Tanah Air karena selama ini masih tergantung dalam bidang anggaran.

Hal ini diungkapkan Trisno dalam seminar nasional dengan tema "Independensi dan Akuntabilitas Peradilan di Indonesia" di kampus Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) di Medan, Selasa (25/4).

Menurut Trisno, ada fenomena yang terkesan membingungkan dalam penerapan hukum di Tanah Air. Di satu sisi, kata dia, sistem dan materi hukum yang diterapkan di Indonesia memang masih meniru hukum yang digunakan di Belanda dan negara Eropa lain. 

Pola administrasi dan pengangaran juga masih relatif sama, yakni disiapkan pemerintah melalui kementerian terkait, kata Trisno. Namun dalam beracara, lanjutnya, peradilan di Indonesia jauh berbeda dengan Belanda dan negara Eropa lainnya yang bebas dari intervensi, terutama dari eksekutif.

"Meski eksekutif menyusun anggaran peradilan, tetapi tidak bisa mengintervensi. Itu yang belum dapat dilakukan dengan baik di Indonesia," kata dia.

Ia menilai indikasi "mengkristalnya" intervensi tersebut masih terdapat dalam RUU Jabatan Hakim yang sedang disiapkan pemerintah dan DPR. Kekhawatiran itu muncul karena adanya isi dalam RUU tersebut yang menyatakan hakim sebagai pejabat negara.

Pihaknya menilai diperlukan penegasan mengenai ketentuan tersebut guna memastikan hakim sebagai profesi independen atau pejabat negara seperti Aparatur Sipil Negara (ASN). Penegasan tersebut sangat dibutuhkan untuk menghasilkan hakim yang independen dan mampu menghasilkan kinerja yang akuntabel.

Anggota Komisi III DPR RI Raden HM Syafii mengatakan akuntabilitas merupakan salah satu syarat penting untuk menghadirkan peradilan yang dipercaya rakyat."Independensi saja tidak cukup, tapi harus ada akuntabilitas," kata politisi Partai Gerindra itu.

Menurut dia, independensi hakim memang penting, tetapi tidak cukup karena masih ada peluang untuk dimanfaatkan oleh kelompok mafia peradilan. Dari penelitian yang dilakukan selama ini, mafia peradilan itu memang ada dan pengaruhnya sangat luas di berbagai lini peradilan.

"Mulai dari panitera, panitera pengganti, hakim, hingga jaksa, semuanya bisa dimasuki (mafia peradilan)," kata politisi yang sering dipanggil Romo itu.

Karena itu, kata dia, muncul UU 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang menuntut adanya akuntablilitas peradilan di Indonesia. Ant

 

BERITA TERKAIT

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…