Tindakan Polisi Hentikan Transaksi Saham Dinilai Berlebihan

Tindakan Polisi Hentikan Transaksi Saham Dinilai Berlebihan

NERACA

Jakarta - Pengamat keuangan menilai tindakan polisi menghentikan transaksi jual beli saham antara Goldman Sach International dan pengusaha BT terlalu berlebihan. Polisi seharusnya berkoordinasi terlebih dulu dengan pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK), karena menyangkut kepastian hukum di mata investor asing khususnya dari Amerika Serikat.

“Pihak polisi harusnya aktif berkoordinasi dulu dengan OJK sebelum mengambil tindakan penghentian transaksi saham tersebut. Jangan bertindak sepihak atas laporan pengusaha Indonesia tersebut,” tegas Uchok S. Khadafi, Koordinator Center for Budget Analysis (CBA) kepada pers di Jakarta, Selasa (25/4).

Dia mengingatkan, agar persoalan hukum sebaiknya dibahas secara terpadu antar lintas supaya menghasilkan keputusan win-win solution bagi kedua belah pihak yang bersengketa. Apalagi Indonesia saat ini membutuhkan iklim yang kondusif dan jaminan kepastian hukum bagi investor asing yang akan menanamkan modalnya di negeri ini.

Sebelumnya GSI, perusahaan investasi asal AS, membeli saham PT Hanson International Tbk (MYRX) secara sah dan legal."Kami mendapatkan saham yang sekarang dipersengketakan tersebut dari Platinum Partners Value Arbitrage Fund dalam transaksi yang dilakukan di Bursa Efek Indonesia (BEI)," kata Harjon Sinaga, Kuasa Hukum GSI di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Jelas, transaksi saham BEI tidak mungkin sebagai transaksi ilegal tanpa sepengetahuan pemilik saham. Karena mekanisme penyelesaian transaksi saham di BEI menggunakan perangkat kliring dan bank kustodian yang sudah tepercaya dan kredibel.

Patut diketahui, bahwa selama periode Februari 2015-Maret 2016 pihak GSI mengakuisisi saham PT Hanson International Tbk (MYRX) melalui Platinum Partners via sejumlah transaksi legal di BEI. Transaksi tersebut dilakukan sebagai bagian dari perjanjian lindung nilai (hedging). Adapun pengusaha BT sebagai pemilik 425 juta lembar saham MYRX sebelumnya telah menandatangani perjanjian Repo dengan Platinum Partners Arbitrage Fund pada Agustus 2014. 

Namun atas dasar laporan sepihak, Polda Metro Jaya pada Juni 2016 mengeluarkan surat perintah penghentian transaksi (blocking order) kepada PT GSI sehingga menyebabkan perusahaan investasi asal AS itu tidak dapat menjual kembali 425 juta lembar sahamnya ke pasar sekunder.

Kemudian pada Agustus 2016 PT Buana Ficomindo Registrar selaku biro administrasi efek melalui suratnya No 284/MYRX/FBR/VIII-2016 menyatakan perpindahan saham dari pengusaha Benny Tjokrosaputro (BT) kepada PT GSI adalah sah. Selanjutnya pengusaha itu mengajukan gugatan lewat PN Jakarta Selatan yang masih berjalan sampai saat ini.

BT menggugat Goldman Sach dan menuding perusahaan asing itu melakukan penjualan saham tanpa sepengetahuan dan persetujuannya. Dia juga mengklaim sebagai pemilik atas 425 juta lembar saham Hanson atau 2,125 miliar lembar saham setelah stock split pada 19 Agustus 2016 yang diperjual-belikan oleh Goldman Sach tersebut.

Atas apa yang dilakukan Goldman Sach tersebut, dalam surat gugatannya, Benny mengklaim mengalami kerugian materiil Rp 320 miliar dan kerugian immateriil mencapai Rp 5 triliun. Perkara ini terdaftar dengan Nomor 618/Pdt.G/2016/PN Jkt. Sel di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Selain itu, turut tergugat pula PT Citibank Indonesia Tbk sebagai turut tergugat I dan PT Ficomindo Buana Registar sebagai turut tergugat II.

Sengketa bisnis antara Goldman Sach International dengan Benny Tjokrosaputro, Direktur Utama PT Hanson International Tbk (MYRX) masih berlanjut. Goldman Sachs juga berencana menggugat balik pengusaha Indonesia tersebut.

Persepsi Investor

Secara terpisah, Ketua BKPM Tom Lembong pada 13 Februari 2017 mengirimkan surat kepada Ketua Pokja IV Kemenko Perekonomian dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly tentang kekhawatirannya mengenai dampak kasus sengketa antara Goldman Sach dan pengusaha BT terhadap persepsi investor di Indonesia. 

Sebelumnya pihak GSI sudah menghadap tim Pokja IV Kemenko Perekonomian dalam rapat yang dihadiri Deputi Komisioner Pasar Modal OJK  menyatakan transaksi GSI betul valid. Namun yang menjadi perhatian OJK sekarang adalah, apakah perjanjian Repo antara Platinum Partners dan BT adalah perjanjian Repo yang bersifat outright (sah via BEI) atau conditional.

Pihak OJK menyatakan tidak punya wewenang untuk membatalkan blocking order yang dikeluarkan oleh Polda Metro Jaya, namun OJK mengakui blocking order itu preseden buruk bagi investor yang bertransaksi di pasar modal, karena dapat menimbulkan rasa was-was terhadap masyarakat yang ingin bertransaksi saham lewat Bursa Efek Indonesia. Mohar

 

BERITA TERKAIT

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…