Konsumen Senang, Petani Merana

Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menduga harga gula yang kelewat murah adalah skenario untuk membuka kembali keran impor. Jika harga gula pasir murah maka petani gula makin tidak diuntungkan. Ujung-ujungnya, mereka tidak lagi bertani sehingga terjadi kelangkaan gula pasir.

 

NERACA

 

Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengharuskan industri ritel modern menjual tiga jenis bahan pokok dengan harga murah. Ketiganya yaitu minyak, gula, dan daging beku. Ketiganya diwajibkan dijual dengan harga Rp12.500 per kilogram untuk gula, Rp11.000 per liter untuk minyak, dan Rp80.000 per kg untuk daging beku. Toko ritel modern wajib memasang banner Harga Eceran Tertinggi (HET) tersebut.

Petani pun mulai ketar-ketir lantaran harga gula pasir eceran di pasar ritel dipatok Rp 12.500. Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) meminta Kementerian Perdagangan lebih bijak dalam membuat program. Jika bertujuan menguntungkan konsumen petani jangan sampai malah dirugikan. Pemerintah diminta adil karena petani tebu juga rakyat.

Ketua Umum APRTI, Soemitro Samadikoen mengungkapkan harga gula pasir eceran yang dipatok pemerintah keterlaluan. Dia melihat jika harga tersebut berlangsung lama maka bukan tidak mungkin jumlah petani gula akan punah. Soemitro menyebut sebagian besar produsen tebu adalah industri kecil yang mempekerjakan masyarakat kecil. “Saya yakin sekali nanti gula malah tidak menarik lagi bagi produsen ataupun petani, kalau harga murah sekali mau untung apa kita,” katanya. kemarin.

Dia menduga harga gula yang kelewat murah ini adalah skenario untuk membuka kembali keran impor. Jika harga gula pasir murah maka petani gula makin tidak diuntungkan. Ujung-ujungnya mereka tidak lagi bertani sehingga terjadi kelangkaan gula pasir. “Kalau kondisi sudah begitu maka akan dibuka impor, kalau sudah impor petani yang ada lebih rugi yang untung segelintir importir,” tutur Soemitro.

Dia menepis anggapan Mendag yang menyebut harga gula Rp 12.500 tidak berdampak ke petani. Hal itu salah besar justru dengan gula murah petani saat ini sudah mulai gusar. Apalagi bulan depan gula sudah mulai panen, bisa jadi harga gula di tingkat petani bisa lebih murah. Dia menyarankan harga gula di pasaran dipatok jangan keterlaluan. Menurut dia, harga yang pas Rp 14 ribu.  “Saya nggak ngerti hitungan menteri perdagangan pakai rumus apa ya, saran saya Rp 14 ribu di pasaran itu sudah pas,” katanya.

Dia menyebut harga beli gula di petani saja, termasuk lewat lelang, sekarang sudah Rp 11.000/kg. dia mempertanyakan bagaimana bisa pedagang kalau dengan ditambah margin dan biaya logistik dan lainnya lalu mau menjual Rp 12.500/kg. “Mana ada yang mau jual harga pasaran dengan harga yang sangat dekat dengan harga lelang, kalau begini nanti kita ini petani yang ditekan," ucap Sumitro.

Diungkapkannya, dengen kalkulasi rendemen 7 persen maka Harga Pokok Produksi (HPP) petani setiap 1 kg gula sebesar Rp 10.600-10.700/kg. Rendemen tebu sendiri adalah kadar kandungan gula di dalam batang tebu yang dinyatakan dengan persen.

Dia menyarankan juga agar pemerintah mengupayakan penurunan harga dengan menekan distributor yang bisa merembet pada harga di petani tebu.  Harga gula bisa rendah kalau rendemen naik. Supaya rendemen bisa naik maka perlu ada peremajaan pabrik. “Lebih baik pemerintah melakukan revitalisasi atau bangun pabrik gula baru agar rendemennya bisa naik,” terangnya.

Dia minta jangan samakan kenapa harga gula di Thailand bisa murah, kemudian solusinya harganya ditekan. Mereka gula bisa murah karena infrastrukturnya bagus, pabrik gulanya rendemen tinggi, lahan tebunya juga luas dan sudah perkebunan.

Sekjen Dewan Pimpinan Nasional APTRI, Nur Khabsyin mendesak pemerintah memperbaiki nilai patokan Harga Eceran Tertinggi (HET) gula agar lebih menguntungkan petani tebu. "Untuk penetapan harga eceran gula saat ini, secara tidak langsung belum berdampak pada perolehan petani," kata Khabsyin.

Menurut Khabsyin, nilai HET itu masih rendah sebab harga lelang gula yang terbentuk di pasaran biasanya akan berada di bawah patokan itu. Apalagi, pemerintah juga mematok nilai pembelian gula dari produsen maksimal sebesar Rp10.900 per-kilogram. "Dengan demikian, harga lelang gula di level petani (tebu) bakal berada di bawah angka Rp10.900 per-kilogram," kata Khabsyin.

Ditambah lagi, Khabsyin melanjutkan, petani harus menghadapi puncak panen di tahun ini sehingga harga gula berpeluang besar semakin melandai dan harga lelang juga bisa merosot jauh lebih rendah.

Sebaliknya, menurut Khabsyin, biaya pokok produksi yang ditanggung para petani tebu saat ini semakin tinggi akibat kenaikan harga beberapa bahan pokok.

Dengan kondisi ini, ongkos biaya produksi petani tebu berdasarkan perhitungan APTRI bisa mendekati patokan pemerintah untuk harga pembelian gula dari produsen. Akibatnya, keuntungan petani tebu bertambah seret. "Perhitungan biaya pokok produksi oleh APTRI menunjukkan sebesar Rp10.697 per-kilogram. Ditambah keuntungan sebesar 10 persen sehingga (idealnya) harga patokan petani untuk gula (produsen) menjadi Rp11.767 per-kilogram," kata dia.

Khabsyin menjelaskan juga bila saat gula petani dihargai Rp10.900 per-kilogram saja sudah rugi, apalagi kalau harga yang terbentuk berada di bawah angka itu.

Oleh karena itu, Khabsyin meminta pemerintah mempertimbangkan kebutuhan perlindungan bagi para petani tebu dalam penentuan patokan harga gula. Hal ini agar keberlangsungan usaha industri gula berbasis tebu secara jangka panjang tetap terjaga.

 

Petani Tak Rugi

 

Sementara itu, Menteri Perdagangan (Mendag), Enggartiasto Lukita, menyatakan kebijakan menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) gula pasir sebesar Rp 12.500/kg tidak akan merugikan petani tebu.

Intervensi pemerintah pada harga gula pasir tersebut hanya akan mengurangi keuntungan di tingkat distributor dan ritel modern, bukan menyentuh harga di petani.  "Petani tebu tidak akan tertekan. Tidak ada korelasi dengan petani tebu, yang untung dan rugi yakni pengusaha. Mengembalikan harga gula ke harga normal tidak ada hubungannya dengan petani," ujar Enggar.

Selain itu, jelas dia, selama ini naik dalam lelang gula yang dilakukan pabrik gula BUMN, petani tebu juga hampir semua gula yang dihasilkan itu sudah diborong lebih dulu oleh distributor gula besar.  "Petani katanya lelang itu tidak punya gula. Jadi sudah diijon yang milik petani, karena sudah diijon. Petani tidak pernah mendapatkan benefit karena yang ikut lelang dia-dia juga (pengusaha distributor besar)," ungkap Enggar. (iwan)

BERITA TERKAIT

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…

BERITA LAINNYA DI

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…