Hukum vs Moral Hakim

 

Ada dua putusan yang menarik saat ini jadi sorotan masyarakat. Pertama, putusan Mahkamah Agung (MA) yang kontroversial melantik pimpinan DPD-RI versi Oesman Sapta Odang (OSO). Kedua, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan kewenangan Mendagri mencabut peraturan daerah (Perda) bermasalah. Memang di antara kedua keputusan lembaga tinggi hukum negara tersebut berbeda konteksnya, namun ada sisi lain yang tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan yuridis formal belaka.

Bagaimanapun, seorang hakim agung yang berdinas di MA maupun MK setidaknya telah memiliki kualitas keilmuan yang lebih handal ketimbang hakim biasa di pengadilan. Kita tentu masih ingat hakim dalam mengemban profesinya dituntut memegang teguh prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang mencakup 10 aturan perilaku sebagai berikut : (1) Berperilaku Adil, (2) Berperilaku Jujur, (3) Berperilaku Arif dan Bijaksana, (4) Bersikap Mandiri, (5) Berintegritas Tinggi, (6) Bertanggung Jawab, (7) Menjunjung Tinggi Harga Diri, (8) Berdisplin Tinggi, (9) Berperilaku Rendah Hati, (10) Bersikap Profesional.

Pada kasus kepemimpinan DPD-RI, kalangan akademisi hukum tata negara menilai MA melanggar keputusan yang dikeluarkannya sendiri saat melantik pimpinan DPD versi Oesman Sapta Odang (OSO), Nono Sampono dan Darmayanti Lubis.

Pada kasus Asosiasi Pemerintahan Kabupaten se-Indonesia (Apkasi) yang mengajukan uji materi terhadap UU No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, yang akhirnya Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Apkasi itu, yang akhirnya MK membatalkan kewenangan Menteri Dalam Negeri menghapus ribuan Perda yang bermasalah, yang dinilai menghambat investasi di dalam negeri.

Nah, mungkin saja secara hukum an sich, putusan MA dan MK tersebut dapat dianggap benar. Tetapi dalam persoalan negara yang saat ini membutuhkan figur kepemimpinan DPD yang solid dan kapabel, seharusnya MA tidak terburu-buru melantik pimpinan DPD-RI versi OSO dkk.

Hal yang sama juga seharusnya hakim MK dapat lebih jernih melihat persoalan kondisi ekonomi negara saat ini yang memprihatinkan, dan terbukti ada ribuan peraturan daerah (Perda) yang dinilai tidak kondusif, dan Mendagri atas perintah Presiden Jokowi sudah bertindak cepat. Namun kalangan pemerintahan daerah/kabupaten/kota tampaknya tidak berkenan melihat tindakan Mendagri tersebut, dan melalui Apkasi mengajukan permohonan uji materi terhadap UU No 23/2014, yang kemudian dikabulkan oleh MK.    

Dari gambaran tersebut, kita tentu miris melihat sikap hakim agung yang tidak lagi peduli dengan kondisi ekonomi negara, akibat perbuatan pejabat pemerintah daerah yang memanfaatkan kekuasaan melalui Perda, dapat memungut pungli sehingga membuat tidak kondusif iklim investasi di dalam negeri.  

Jelas, dalam kehidupan modern saat ini memunculkan pemahaman tertentu tentang moralitas, tetapi juga menghancurkan dasar-dasar untuk menganggap serius pemahaman tertentu. Sampai sejauh ini perdebatan seputar permasalahan tersebut masih menjadi bahan pembicaraan. Masyarakat yang atomistik, impersonal, dan penuh persaingan dalam dunia pasar dan kapitalisme, membuat hakim tidak lagi menemukan jati diri individualnya dalam jati diri sosial.

Apa yang secara tradisional dijadikan dasar material, objektif dan rasional untuk hidup bermoral, yakni kodrat kemanusiaan yang secara ontologis terarah pada yang Baik, kini rupanya dipertanyakan, karena dianggap tidak sesuai dengan tuntutan kebebasan eksistensial manusia.

Apabila dalam masyarakat itu banyak hakim  yang melakukan pelanggaran moral, dengan sendirinya hakim yang kurang iman tadi akan mudah pula meniru melakukan pelanggaran yang sama. Tetapi jika setiap hakim teguh keyakinannya kepada Tuhan serta menjalankan agama dengan sungguh-sungguh, tidak perlu lagi adanya pengawasan yang ketat, karena setiap orang sudah dapat menjaga dirinya sendiri, tidak mau melanggar hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan Tuhan.

Sebaliknya dengan semakin jauhnya masyarakat dari agama, semakin sudah memelihara moral orang dalam masyarakat itu, dan semakin kacaulah suasana, karena semakin banyak pelanggaran-pelanggaran, hak, hukum dan nilai moral. Kurang efektifnya pengawasan terhadap moral hakim yang dilakukan oleh pemerintah, lembaga, maupun masyarakat.

Pengawasan moral hakim yang dilakukan oleh masyarakat maupun Komisi Yudisial (KY) tampaknya tidak berjalan menurut semestinya. Apalagi ditambah adanya budaya materialistis, hedonistis dan sekularistis, dimana gejala degradasi moral hakim bisa terjadi karena pola hidup yang semata-mata mengejar kepuasan materi, kesenangan hawa nafsu dan tidak mengindahkan nilai-nilai agama dan nilai kepantasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…