MESKI TETAP MENGHORMATI PUTUSAN MK - Jokowi: Terus Hapus Izin yang Menghambat

Jakarta: Presiden Jokowi tetap mengupayakan penyederhanaan perizinan meski Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan berlakunya aturan terkait kewenangan Menteri Dalam Negeri dalam membatalkan peraturan daerah (perda). Sebelumnya MK mengabulkan permohonan Apkasi dkk terhadap pasal 251 UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.

NERACA

"Kita juga sangat menghargai apa yang diputuskan MK tapi apa pun kita memerlukan sebuah penyederhanaan perizinan, percepatan perizinan dalam rangka investasi sehingga akan memperbaiki pertumbuhan ekonomi di negara kita," kata Presiden seusai meninjau ruas tol Bawen-Salatiga di jembatan Tuntang, Bawen, Kabupaten Semarang. Sebelumnya Presiden melakukan groundbreaking atau peletakan batu pertama pembangunan kereta api Bandara Adi Soemarmo, Boyolali, Jawa Tengah, seperti dikutip Antara Sabtu (8/4).

Sebelumnya MK mengabulkan permohonan pemohon sepanjang pengujian Pasal 251 ayat (2), ayat (3), dan ayat (8) serta ayat (4). Pasal 251 ayat 1 UU Pemda menyatakan: Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri.

"Kita ini ingin menyederhanakan, ingin menghapus, ingin menghilangkan hambatan-hambatan dalam perizinan dan investasi baik pusat maupun daerah karena kita harus sadar bahwa kita adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tanggung jawab saya dari pusat sampai daerah itu semua harus diselesaikan," tambah Presiden.

Meski tidak menjabarkan secara rinci usaha pemerintah menyederhanakan perda-perda bermasalah, Presiden tetap yakin penyederhanaan itu akan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. "Ya akan terus kita lakukan, terus, yang paling penting kita tetap melihat payung hukum yang ada, tidak boleh berhenti tapi kita harus menghormati hasil MK tadi," tegas Presiden.

Dalam pertimbangannya, MK menilai bahwa perda merupakan produk hukum yang dibuat oleh eksekutif dan legislatif, yakni pemerintah daerah dan DPRD. Pembatalan produk hukum berupa peraturan di bawah UU itu bisa dibatalkan jika dilakukan melalui mekanisme uji materi di Mahkamah Agung.

Ketentuan ini sebagaimana diatur dalam Pasal 24 A ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa: "Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang".

Namun, putusan MK itu tidak bulat. Ada 4 hakim konstitusi yang tidak setuju, yaitu Arief Hidayat, I Dewa Gede Palguna, Maria Farida, dan Manahan Sitompul.

Namun, keputusan MK itu dinilai akan menghambat program deregulasi untuk investasi secara terpadu antara pemerintah pusat dan daerah . “Saya sebagai Mendagri jujur tidak habis pikir dengan putusan MK yang mencabut kewenangan Mendagri membatalkan perda yang jelasjelas menghambat investasi,” ujar Mendagri Tjahjo Kumolo menanggapi putusan MK itu, kemarin. Dia menilai pembatalan perda merupakan domain executive review.

Dengan demikian pihaknya sebagai representasi dari pemerintah pusat bisa melakukan evaluasi termasuk membatalkan perda. “Perda adalah produk pemerintah daerah yaitu antara kepala daerah dengan DPRD,” tuturnya. Proses pembatalan perda yang diserahkan ke MA, menurut Tjahjo, kurang efektif mengingat begitu banyak perda yang bermasalah.

Menurut Tjahjo, dengan intensitas kasus hukum di tingkat MA, maka proses pembatalan perda bisa memakan waktu lama. Bahkan bisa bertahun-tahun. “Di sisi lain, saya sebagai Mendagri juga sangat tidak yakin MA mampu membatalkan perda dalam waktu singkat. Pengalaman 2012, hanya ada dua yang dibatalkan oleh MA,” katanya.

Kendati demikian, menurut dia, setelah mencermati putusan MK No 137/PUUXIII/ 2015, Kemendagri masih mempunyai kewenangan untuk membatalkan perda. MK, menurutnya, hanya secara tegas melarang gubernur membatalkan perda kabupaten/- kota. “Yang penting Mendagri masih boleh membatalkan perda provinsi dan kabupaten/- kota,” ujarnya, pekan lalu.  

Kuasa hukum Apkasi sebagai pihak pemohon, Andi Syafrani mengatakan, putusan MK tetap membatalkan kewenangan Mendagri dalam membatalkan perda. Seperti diketahui uji materi terhadap Pasal 251 terdiri dari empat ayat yaitu ayat 1, 3, 8, dan 4. “Kewenangan Mendagri membatalkan perda kabupaten/kota ada Pasal 251 di ayat 3. Pasal tersebut inkonstitusional dan dibatalkan MK.  Kalau Mendagri bilang masih ada kewenangan, di mana kewenangannya,” katanya.

Menurut dia, selain terkait soal amar putusan, keputusan MK juga terdapat alasan hukum atau norma yang ingin ditegaskan oleh MK. Dalam hal ini adalah perda adalah produk legislatif. “Perda sama dengan UU tapi lebih rendah. Lalu perda hanya berlaku lokal. Ketiga, kontennya hanya terkait penerapan asas otonomi daerah. Itu yang ditegaskan,” ujarnya.

Mengingat sebagai produk hukum maka mekanisme pembatalannya tidak melalui executive review tapi judicative review . Hal ini normanya sesuai dengan konstitusi Pasal 24 tentang Kewenangan Mahkamah Agung (MA). Karena itu, meskipun uji materi hanya terkait dengan perda kabupaten/ kota, Andi menilai hal ini juga berlaku untuk perda provinsi.

“Iya, dibatalkan juga. Tidak ada lagi kewenangan Mendagri membatalkan perda provinsi. Saya kira perlu dibaca ulang dan diteliti. Jangan sampai Mendagri salah interpretasi. Coba Mendagri konsultasikan ke ahli hukumnya,” ujarnya.

Namun pakar hukum tata negara Universitas Kristen Satya Wacana, Umbu Rauta, mengatakan putusan MK secara tidak langsung menegaskan jika Mendagri tidak memiliki kewenangan apa pun terkait pembatalan perda.

Pembatalan perda merupakan domain dari MA. “Logika hukumnya, gubernur membatalkan perda kabupaten/ kota dalam kapasitas sebagai wakil pemerintah pusat. Itu sama saja Mendagri sebagai pemerintah pusat,” ujarnya.

Tingkatkan Komunikasi

Pemerintah diminta tidak berlebihan dalam menyikapi putusan MK yang mencabut kewenangan eksekutif membatalkan perda bermasalah. MK mengabulkan sebagian uji materi yang diajukan Apkasi terhadap UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah (Pemda). Berdasarkan putusan MK tersebut, pembatalan peraturan daerah (perda) bukan menjadi ranah eksekutif, melainkan ranah yudikatif dalam hal ini Mahkamah Agung.  

“Justru dengan adanya larangan hukum eksekutif membatalkan perda bermasalah, pemerintah pusat atau pemerintah provinsi harus me maksimalkan fungsi pendampingan penyusunan perda yang dilakukan pemkab/pemkot,” ujar Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng di Jakarta. Dia menjelaskan, pemerintah tidak perlu panik dan terancam dengan adanya putusan MK Nomor 135/PUU-XIII/ 2015.

Menurut dia, pemerintah tetap bisa mengontrol potensi munculnya perda bermasalah dengan meningkatkan komunikasi dengan pemkab/pemkot saat proses penyusunan perda. “Tentu kalau pemerintah hanya diam, kerugian investasi pasti terjadi. Pemerintah harus merespon secara positif putusan MK, jangan seperti kehilangan segalanya,” ujarnya. Menurut dia, sebenarnya pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri punya modal pengawasan baik preventif maupun represif.

Akan tetapi selama ini pemerintah hanya fokus di represif. “Di tahap rancangan tidak banyak disentuh. Pemerintah hanya membatalkan saja,” ujarnya. Dia menilai sudah saatnya pemerintah secara aktif melakukan pengawasan dan pembinaan pada proses perancangan perda. Apalagi di dalam UU Pemda diatur bahwa perda akan berlaku jika sudah memiliki nomor registrasi. “Ada proses pemberian nomor registrasi. Harus diambil pelajaran bahwa Kemendagri akan menjadikan tahap reviu rancangan perda sebagai tahapan krusial,” ujarnya.  

Robert juga menyoroti kesiapan MA yang di beri kewenangan membatalkan perda. MA harus diperkuat kapasitasnya, tidak saja berkaitan dengan legal drafting, tetapi juga secara substansi otonomi dae rah. “Bukan saja soal perspektif hukum. Isu daerah itu sangat di namis. MA harus punya keahlian untuk mencerna semua masalah yang akan muncul. Ini tantangan tersendiri bagi MA. Makanya kapasitas diperkuat,” ujarnya.  

Di sisi lain, putusan MA juga menuntut adanya keaktifan dari masyarakat dan dunia usaha dalam mencermati produk hukum di daerah. Jika selama ini bisa melaporkan langsung ke Kemendagri, kali ini harus mengajukan gugatan ke MA. “Tiada proses tanpa gugatan. Jika ada perda yang tidak sesuai, membebani usaha, pungutan banyak, izin berbelit harus di awasi dan diajukan gugatan,” ujarnya. Sementara itu Mendagri Tjahjo Kumolo mengakui putusan MK memang telah membatalkan post-control dari pemerintah pusat.

Namun masih ada ketentuan pre-control. “Peraturan daerah dapat direviu oleh pemerintah pusat (Kemendagri) apabila statusnya masih sebagai rancangan peraturan daerah (Raperda) yang belum mengikat untuk umum,” ujarnya. Dia mengatakan selepas putusan ini pihaknya akan melakukan pengetatan monitoring dan pengawasan rancangan perda. Dengan begitu perda bermasalah dapat diminimalkan. “Perlu dibuat aturan yang lebih memperkuat/memperketat,” ujarnya. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…